PAHLAWAN DUABELAS (Bagian Empat)

PAHLAWAN DUABELAS  (Bagian Empat)

Akhmad Elvian--

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan

PEMBENTUKAN TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dilakukan pemerintah, mengingat terjadinya berbagai kontak senjata di berbagai wilayah, karena Bangsa Indonesia melihat adanya upaya-upaya tentara sekutu yang ingin menyerahkan kembali wilayah Indonesia kepada Pemerintah Belanda.

------------------

PERJANJIAN Potsdam yang ditandatangani pada Bulan Juli 1945 menyatakan antara lain bahwa “Occopied areas” harus dikembalikan kepada penguasanya semula. Jika hal ini dikaitkan dengan Indonesia, berarti bahwa Indonesia harus dikembalikan kepada Belanda. Sebagai tindak lanjut dari perjanjian ini Inggris dan Belanda mengadakan pertemuan rahasia di Chequers yang terletak di bagian Selatan Kota London, dan menghasilkan persetujuan yang disebut “Civil Affairs Agreement”. Di antara kesepakatan yang diperoleh, dinyatakan bahwa Inggris/sekutu harus mengikut sertakan pasukan-pasukan Belanda dan aparat NICA dalam setiap pendaratan yang mereka lakukan di Indonesia dan melindungi mereka di daerah-daerah pendudukan Inggris nantinya (Suherly, 1971:9). Dalam persetujuan ini juga disebutkan, bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama Pemerintah Belanda. Dalam pelaksanaan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan sipil, pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA di bawah tanggung jawab komando Inggris. Kekuasaan itu kemudian akan dikembalikan kepada Kerajaan Belanda (Kartasasmita, dkk, 1977:34).

BACA JUGA:PAHLAWAN DUABELAS (Bagian Satu)

Pada Tanggal 10 September 1945, panglima balatentara Jepang di Jawa mengeluarkan pengumuman yang menyatakan, bahwa pemerintahan akan diserahkan kepada sekutu dan tidak kepada Indonesia. Kedatangan pasukan sekutu di pulau Bangka dan pulau Belitung yang di dalamnya membonceng tentara NICA Belanda sangat penting artinya bagi NICA dan Pemerintah Belanda. Tentara sekutu dan NICA Belanda, tidak saja bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang, dan melakukan pembebasan tawanan perang atau interniran sekutu, akan tetapi dengan alasan yang lebih penting lagi karena pulau Bangka dan pulau Belitung letaknya sangat menguntungkan dari sisi geopolitik dan geostrategis serta Bangka Belitung adalah daerah yang kaya akan hasil tambang Timah, dan Timah menjadi komoditas penting pasca Perang Dunia Kedua. Tujuan utama kedatangan NICA Belanda ke pulau Bangka dan pulau Belitung adalah dalam rangka mengamankan aset-aset penambangan Timahnya. Mereka percaya, bahwa tambang Timah di pulau Bangka akan bisa dioperasionalkan kembali dan akan membawa banyak keuntungan bagi negaranya, terutama untuk menutupi biaya Perang Dunia Kedua, oleh sebab itu ketika kedatangan tentara sekutu di pulau Bangka, di samping membonceng tentara NICA Belanda, juga ikut serta tenaga-tenaga administrasi dan tenaga-tenaga teknik penambangan Timah.

BACA JUGA:PAHLAWAN DUABELAS (Bagian Dua)

Berdasarkan rencananya, bahkan pulau Bangka akan dijadikan tempat penampungan interniran Belanda, sebagaimana dikutip Sujitno (1996:166, 168): Dari dokumen Departement van Justice No.1174/DP/VI.a.o. 7 Januari 1946. Bangka Belitung akan menjadi tempat penampungan sekitar 20.000-30.000 orang Belanda bekas tawanan Jepang. Alasannya adalah karena di pulau Bangka separuh dari penduduknya adalah orang Tionghoa yang Tiga per-Empatnya adalah peranakan, sedangkan orang-orang Jawa dan Sumatera hanya 400 orang; sisanya sebagian besar orang Melayu “yang cinta damai dan lebih cocok dengan Tionghoa Peranakan daripada orang Jawa dan Sumatera”. Dengan yakin dikatakan dalam laporan bahwa: ”pendudukan ini (di Bangka Belitung) tidak akan terjadi pertumpahan darah barang setetespun”. Perkiraan yang ternyata meleset, sehingga upaya untuk pemindahan para bekas tawanan Jepang ke Bangka dan Belitung itu dibatalkan. Di luar dugaan ternyata daerah yang terisolir ini menunjukkan potensi menentang Belanda. Informasi mengenai mudahnya Bangka dan Belitung untuk “diamankan” terbukti dikemudian waktu tidak semudah yang diperkirakan.

BACA JUGA:PAHLAWAN DUABELAS (Bagian Tiga)

Organisasi TKR kemudian diubah namanya menjadi TRI. Peresmian keberadaan TRI di pulau Bangka dilaksanakan setelah dilakukan pembenahan dan reorganisasi dalam tubuh organisasi TKR dan peresmian perubahan TKR menjadi TRI di pulau Bangka dilaksanakan pada pertengahan bulan Februari 1946. Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Bangka Belitung diresmikan dengan nama Resimen TRI Bangka Belitung, terdiri dari Tiga Batalion yaitu; Batalion Bangka Barat dan Bangka Utara bermarkas di Kota Mentok, Batalion Bangka Tengah dan Bangka Selatan bermarkas di Kota Pangkalpinang dan Batalion Persiapan pulau Belitung. Khusus untuk Batalion Persiapan pulau Belitung keanggotaan pertama batalion, direkrut dari personil TRI dari Kompi Koba dan Kompi Toboali.

BACA JUGA:Gunong Muntai (Mountain)

Pasukan TRI Resimen Bangka Belitung inilah yang pada awal kedatangan tentara sekutu dan NICA Belanda ke pulau Bangka seolah tanpa perlawanan akan tetapi kemudian secara mengejutkan telah melakukan perlawanan yang heroik dan berhasil menghambat lajunya gerakan pasukan sekutu yang di dalamnya membonceng pasukan NICA Belanda untuk menguasai kembali Bangka Belitung, walaupun dengan sarana prasarana militer dan persenjataan yang serba terbatas namun TRI memiliki semangat patriotisme yang tinggi untuk berjuang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sehingga berhasil menewaskan belasan pasukan sekutu dan NICA Belanda.

BACA JUGA:Pelirang Basah

Setelah terjadinya berbagai kontak senjata antara pasukan sekutu dan NICA Belanda di berbagai wilayah Republik Indonesia termasuk di pulau Bangka, kondisi keamanan negara menjadi terganggu. Kota Jakarta sebagai ibukota negara dan tempat proklamasi dicetuskan pada waktu itu, juga dalam kondisi berbahaya dan tidak aman. Pada Tanggal 4 Januari 1946, Presiden dan Wakil Presiden memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta. Kepindahan ini yang kemudian berakibat, ibukota Negara Republik Indonesia juga turut dipindahkan ke Yogyakarta. Di Stasiun Tugu Yogyakarta rakyat menyambut mereka termasuk para pejabat penting. Di antara pejabat tersebut hadir Sri Sultan Hamengkoeboewono IX, Sri Pakoe Alam VII dan pejabat Kesultanan Yogyakarta lainnya (Atmakusumah, 1982:211). Tampaknya setelah mulai meredanya konflik bersenjata antara TRI dan pasukan sekutu dan NICA Belanda, arah perjuangan Bangsa Indonesia kemudian lebih ditempuh dengan jalur diplomasi melalui berbagai perundingan.

BACA JUGA:Pijawang Petjah

Awal perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan atas inisiatif Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), Letjend. Christison. Dimulailah serangkaian perundingan pendahuluan dengan inisiator seorang penengah dari Inggris, seorang diplomat Inggris Archibald Clark Kerr dan kemudian dilanjutkan oleh diplomat Lord Killearn, pada Tanggal 10 Februari 1946. Setelah beberapa kali diadakan penjajakan perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan H.J. van Mook (Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pemimpin NICA), dilaksanakanlah perundingan di Hooge Veluwe, negeri Belanda pada Tanggal 14-25 April 1946, akan tetapi perundingan di Hooge Veluwe tersebut mengalami kegagalan. Selanjutnya dilakukan perundingan gencatan sejata antara Indonesia, sekutu dan Belanda dilaksanakan di Jakarta, berlangsung dari Tanggal 10 September 1946 hingga Tanggal 30 September 1946, akan tetapi perundingan tidak juga mencapai hasil.

BACA JUGA:Aik Mangkok

Diplomat terkemuka Inggris, Lord Killearn akhirnya berhasil membawa wakil-wakil Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada Tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri, Sutan Sahrir dan pihak Belanda diwakili oleh suatu Komisi Umum yang dikirim dari Belanda di bawah pimpinan Prof. Schermerhorn. Dalam perundingan ini disetujui untuk membicarakan masalah gencatan senjata yang gagal dirundingkan di Jakarta pada Tanggal 30 September 1946.

BACA JUGA:Hollands-Chinese School (HCS) dan SMP 1 Pangkalpinang

Jalan buntu atau kegagalan beberapa kali penjajakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.J. van Mook, terjadi karena H.J. van Mook hanya bersedia memberikan status sebagai salah satu anggota negara federal kepada Republik Indonesia, yaitu negara bagian di bawah pemerintahan penjajahan Belanda, dan ini tentu saja ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai negara yang secara de facto telah merdeka dan berdaulat. H.J. van Mook mencoba membentuk negara-negara federal di wilayah Republik Indonesia dengan menggandeng elit-elit politik lokal di daerah, khususnya daerah di luar pulau Jawa dan pulau Sumatera dengan memanfaatkan isu kedaerahan atau primordialisme.

BACA JUGA:Jalan Trem, Trem Seberang dan Kampung Puput

Dalam rangka membentuk negara federasi dan upaya pembentukan negara-negara federal di wilayah negara Republik Indonesia, atas prakarsa dari H.J. van Mook (Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pemimpin NICA) dilaksanakan konferensi federal pertama di Malino, Satu kota kecil di Sulawesi Selatan, pada Tanggal 15 Juli 1946. Hadir pada saat Konferensi Malino di Sulawesi Selatan, utusan dari pulau Bangka, Belitung dan Riau, yaitu dr. Liem Tjae Le, seorang dokter dan pernah menjadi penasehat SKB (Serikat Kaum Buruh) di pulau Bangka. dr. Liem Tjae Le pada saat pelaksanaan Konferensi Malino diangkat menjadi salah satu Dewan Kepala-kepala Departemen (Raad van Departementshooden) untuk urusan kenegaraan Bangka, Belitung dan Riau. Setelah Konferensi Federal Malino dilaksanakan Konferensi Federal Pangkalpinang pada Tanggal 1-12 Oktober 1946 di Societeit Harmonie/ Concordia yang sekarang menjadi gedung Panti Wangka Pangkalpinang (Habis).

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: