Aik Mangkok

Aik Mangkok

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

DALAM laporan Thomas Horsfield, Report on the Island of Banka, Journal of the Indian Archipelago, Tahun 1848, halaman 797 dan 802, disebutkan Ayer-Mangkok sebagai salah satu tambang timah kecil (small mines) di distrik Pangkalpinang yang berada dalam wilayah divisi ketiga atau divisi Tenggara (In the South-east division) pada saat kerajaan Inggris berkuasa di pulau Bangka (Tahun 1812-1816).

TAMBANG-tambang kecil lainnya di distrik Pangkalpinang selain Ayer-Mangkok adalah Krassak, Krassak-Ulu, Bakung-bawa, Tahapsawun, Bankwang, Henglie, Butshak, Tshuntshit, Samwey, Hunseng, Tshing-peng, Tshin, Kayu-hessie, Suymouw, Siema, Kwang-tsie, Bakung, Bulu, Ayer-Udang, Gomuru, Wang-sing, Pangkul, Sungai-kurouw. Distrik Pangkalpinang pada saat Inggris berkuasa di pulau Bangka merupakan salah satu distrik penambanganTimah yang produktif disamping distrik Peesang (distrik Pisang) dan distrik Dshoorook (distrik Jeruk) di Western Division (divisi Barat); distrik Soongie-Boolo (distrik Sungai Bolo) di Northern Division (divisi Utara). Dari penamaan atau toponomi lokasi lokasi tambang tersebut dapat dipastikan, bahwa tambang tersebut dibuka oleh pekerja pekerja tambang orang Tionghoa dan penduduk pribumi Bangka (Bangkanese). Pada masa kekuasaan Inggris di pulau Bangka, produktivitas pusat penambangan Timah secara berurutan meliputi wilayah Jebus, Pangkalpinang, Sungailiat,Klabat, Merawang, Sungai Buluh, Blinyu dan Lumut.

Tambang-tambang timah kecil (small mines) di distrik Pangkalpinang merupakan bagian paling penting dan produktif di pulau Bangka. 24 tambang di atas tersebar melalui bagian wilayah Messu, Bakung, Kayu-Bessie, Ayer-Mankok dan Bangkwang, dengan memperkerjakan sekitar 63 orang penambang (baik penambang pribumi Bangka maupun penambang orang-orang Tionghoa). Wilayah distrik Pangkalpinang walaupun sudah ditambang hampir 30 tahun berturut-turut, maksudnya sudah ditambang sejak masa Sultan Ahmad Najamudin I Adikusumo (Tahun 1757-1776 Masehi) dan pada masa Sultan Muhammad Bahaudin (1776-1803 Masehi), wilayah ini masih kaya akan kandungan biji Timah. Wilayah distik Pangkalpinang bila ditambang oleh orang yang cakap dengan pengawasan yang baik diperkirakan akan menghasilkan sekitar 4.000 batang logam Timah (ingot) pertahun. Penambangan Timah sudah dimulai di wilayah Distrik Pangkalpinang terutama sejak didirikannya pangkal-pangkal tempat kedudukan demang-demang di Pulau Bangka yang bertugas mengatur distribusi Timah dari parit parit penambangan ke pangkal –pangkal yang didirikan hingga sampai ke Kesultanan Palembang Darussalam. Pada masa Sultan Ahmad Najammudin I Adikusumo didirikan sekitar 13 Pangkal di pulau Bangka, termasuk Pangkalpinang. Masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikusumo dalam catatan laporan Thomas Horsfield merupakan masa atau priode paling makmur di pulau Bangka. Beberapa tahun sebelum naik takhta antara Tahun 1750 dan tahun 1775, telah diproduksi sekitar 60.000 pikul timah atau sekitar 120.000 batang Timah (ingot), sementara yang sampai ke Batavia tidak sampai 25 000 pikul.

Tambang Timah atau parit penambangan baru yang dapat menghasilkan lebih banyak Timah (ingot), terutama di wilayah subdivisi penambangan Bakung, Bulu, Ayer-udang dan Gomuru (maksudnya Aik Gemuruh), sedangkan tambang yang tidak produktif yaitu di Pangkul dan Sungi-Kurouw. Akan tetapi dua wilayah tambang yang tidak produktif ini apabila dikerjakan dengan intensif dan tekhnologi yang tepat dapat dikerjakan kembali dengan prospek yang menguntungkan dan diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi Timah sebesar 2.000 batang logamTimah (ingot). Tentu saja untuk peningkatan produksi Timah diperlukan penambahan pekerja tambang baru.

Penambangan Timah di pulau Bangka pada awalnya, terutama sejak masa sultan kesultanan Palembang Darussalam, Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (Tahun 1724-1757 Masehi) dilakukan dengan teknologi pribumi Bangka orang Gunung yaitu teknik “Toboali” (pelubangan/Tebok berpindah/alih). Teknik penambangan Timah pada masa itu sebagaimana dijelaskan (Heidhues, 2008:16) dilakukan dengan teknik pelubangan. Penduduk asli menggali lubang kecil (sistem tebuk/tebok atau tobo) sedalam enam kaki, terkadang dihubungkan dengan terowongan. Satu atau dua orang pria bekerja di lobang dan terowongan, mengangkut tanah berisi bijih Timah di keranjang untuk dicuci dan dipisahkan di sungai terdekat dengan menggunakan alat yang disebut dulang atau limbang (di wilayah Bangka Utara bahkan ada sungai yang diberi nama sungai Mendulang). Dulang yang kemudian dibuat agak datar difungsikan sebagai alas atau wadah mengangkut penganan pada tradisi nganggung di pulau Bangka. Ada pepatah yang mengatakan “enak di Dulang payah di Tulang”. Penggalian atau pelubangan dilakukan berpindah-pindah atau dialihkan (Melayu: “alih” berarti pindah atau geser) bila tidak dijumpai lagi Timah dalam jumlah atau deposit yang banyak. Sejak awal ditemukan deposit, Timah ditambang dengan cara ini dan berlangsung berkisar 12 tahun sampai Palembang di bawah Sultan Mahmud Badaruddin I (Lange, 1850:16). Maksud Lange disini adalah masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (1724-1757 Masehi).

Penambangan Timah dengan teknologi pelubangan atau berpindah menyisakan lubang-lubang yang berisi air seperti air yang berada di dalam mangkok atau mangkuk. Wilayah bekas penambangan Timah di distrik Pangkalpinang tersebut kemudian diberi nama geografi (toponomi) “Ayer Mangkok atau Air Mangkok atau Aik Mangkok”. Kawasan bekas penambangan ini kemudian berkembang menjadi pemukiman penduduk hingga sekarang dan dikenal masyarakat dengan sebutan “kampung Air Mangkok”.

Setelah teknologi pelubangan berpindah berakhir, kemudian Timah di pulau Bangka ditambang dengan teknik Kulit (teknologi yang dibawa orang Cina) dan teknik Kolong. Teknologi awal penambangan Timah dengan sistem pelubangan (tebuk/tebok/tobo dan alih/ale) adalah kearifan lokal yang merupakan kekayaan intelektual masyarakat Bangka. Dalam berbagai literatur lama baik dari catatan Boggart, Horsfield, Court, Epp, dan Lange teknologi ini selalu disebut dengan Teknologi Pelubangan pribumi Bangka orang Gunung. Karena Timah yang dihasilkan diangkut ke Palembang dan kemudian baru dibawa ke Batavia dengan kapal-kapal angkut Palembang, maka dalam literatur kemudian pada abad 20 sering disebut dengan Timah Palembang yang dihasilkan melalui sistem atau teknik pelubangan yang disebut sumur Palembang (Palembang Putjes).

Pada masa akhir pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo, dalam wilayah yang luas, kegiatan pertambangan hampir tertutup dilakukan oleh penduduk asli, kegiatan peleburan atau penyempurnaan (pemurnian) dari bijih Timah sedikit mengadopsi teknologi yang diperkenalkan oleh orang Cina. Berdasarkan catatan Lange meskipun cara dan pengolahan sederhana mereka lakukan, dengan hasil yang luar biasa, sehingga produk Timah pada Tahun 1740 sudah mencapai sebesar 25.000 pikul (Lange, 1850:16)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: