PAHLAWAN DUABELAS (Bagian Dua)

PAHLAWAN DUABELAS  (Bagian Dua)

Akhmad Elvian--

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan

 

KEDATANGAN tentara sekutu dan NICA di Kota Pangkalpinang disambut oleh Po On To atau TKT dengan meriah.

--------------

TENTARA Keamanan Tionghoa (TKT) atau Po On To adalah sekelompok orang Tionghoa di pulau Bangka yang tidak mendukung Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan mereka masih berharap Belanda akan kembali berkuasa di pulau Bangka. Po On To atau TKT membentuk organisasinya dengan pusat perkumpulan atau barisan di Kota Pangkalpinang. Sebelum kedatangan tentara sekutu dan NICA, berbagai kontak fisik bersenjatapun terjadi antara TKR dan TKT atau Po On To. Kontak senjata terjadi di beberapa kampung di Pangkalpinang, terjadi juga di kampung Celuak, Belinyu, Lumut, Toboali dan Payung. Kontak bersenjata TKR dan TKT berlangsung sampai dengan berdirinya TRI (Tentara Republik Indonesia) dan berakhir sejak kedatangan tentara sekutu di pulau Bangka, pada pertengahan bulan Februari Tahun 1946.

BACA JUGA:PAHLAWAN DUABELAS (Bagian Satu)

Tentara Keamanan Tionghoa (TKT) atau Po On To yang dibentuk di pulau Bangka  merupakan bagian dari organisasi Hwa Kio Koeng Hwui, mirip seperti organisasi “Poh An Tui”. Organisasi Poh An Tui didirikan oleh kaum Tionghoa di Indonesia pada Tanggal 1 Januari 1946, Satu milisi yang terdiri dari pemuda Tionghoa yang bertujuan melindungi warga Tionghoa dari hal-hal yang tidak diinginkan, yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, namun dalam kenyataannya mereka mendukung aksi tentara sekutu dan hadirnya Belanda kembali (Gunawan, dkk, 2015:113). Tentara Keamanan Tionghoa (TKT) di Bangka umumnya berasal dari bekas pekerja-pekerja (koeli) Tambang Timah perusahaan Tambang Timah Belanda BTW (Bankatinwinning), dan mereka mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan sekutu dan pasukan NICA Belanda di pulau Bangka dengan melakukan latihan baris berbaris di sekitaran pusat pasar (pasarloodsen) Kota Pangkalpinang. Po On To atau TKT adalah salahsatu kelompok masyarakat di Keresidenan Bangka Belitung yang tidak mau menerima berita Kemerdekaan Republik Indonesia. Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di pulau Bangka secara umum, juga tidak diterima oleh orang Timur Asing atau golongan minoritas serta para pekerja yang bekerja pada instansi pemerintah Hindia Belanda di pulau Bangka, walaupun sikap penentangan atau ketidaksetujuannya tidak begitu ditampakkan seperti yang dilakukan oleh Po On To atau TKT.

BACA JUGA:Sejarah Hubungan Antar Etnik di Bangka (Bagian Satu)

Sebelum tentara sekutu dan NICA Belanda datang ke pulau Bangka, pihak sekutu juga melakukan propaganda dan adu domba antara orang Tionghoa dan penduduk pribumi, dalam catatan Lieutnant Langky pada Tanggal Mentok, 3 Desember 1945, yang ditulis dalam bahasa Inggris sekenanya dengan judul: Native to establishing Banka Island as Banka self rulling government cooperated with Banka born Malay and the Banka born Chinese in Malay called Banka-Cjina Merdeka (Sujitno, 1996:163). Propaganda tersebut berisi keinginan mendirikan pemerintahan sendiri bagi rakyat pulau Bangka yang dinamakan dengan Pemerintah Banka China Merdeka atau Banka Chinese Malay Merdeka. Tidak dipahami maksud propaganda tersebut, mengingat bahwa orang Bangka secara historis adalah terbentuk dari Empat etnic group yaitu orang Darat, orang Laut, orang China dan orang Melayu yang secara kultural telah melebur melalui asimilasi dan akulturasi dalam Satu identitas yaitu orang Bangka. Semangat patriotisme orang Bangka telah terbangun sejak masa awal kekuasaan Inggris di pulau Bangka Tahun 1812 dan kemudian sejak Belanda mulai berkuasa di pulau Bangka Tahun 1816 (Traktat London) dengan melakukan berbagai perlawanan bersenjata hingga Tahun 1851, ketika berakhirnya perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dengan pembuangannya ke Keresidenan Timor.

BACA JUGA:Sejarah Hubungan Antar Etnik di Bangka (Bagian Dua)

Masa revolusi kemerdekaan di pulau Bangka memang agak menarik untuk dipelajari, bahwa pulau Bangka adalah tempat dimana orang-orang Tionghoa Bangka diuji kesetiaan dan pandangannya terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sepanjang sejarah perjuangan di pulau Bangka, telah begitu banyak orang Tionghoa Bangka yang dibuang Belanda ke Banyuwangi, Ambon, Menado dan pulau Timor, karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Depati Amir (Elvian, 2018). Selanjutnya ada pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda di pulau Bangka yang dilakukan penambang Timah orang Tionghoa, dipimpin oleh Liu Ngie. Awal pemberontakan terjadi pada akhir abad 19 (Tahun 1899 Masehi) di distrik Koba. Liu Ngie dan saudaranya tertangkap di distrik Merawang pada bulan Februari 1900, kemudian dihukum gantung di pasar Mentok pada Tanggal 11 September 1900. Pemberontakan Liu Ngie juga terinspirasi dari perlawanan yang telah dilakukan oleh pendahulunya orang pribumi Bangka yaitu Depati Bahrin dan Depati Amir (Elvian, 2020). Pada masa era revolusi kemerdekaan terdapat juga orang Tionghoa Bangka yang membantu perjuangan revolusi kemerdekaan melalui penyelundupan. Bangka adalah lokasi yang tepat untuk ini (penyelundupan). Bulan November 1945 hingga November 1946 merupakan priode puncaknya penyelundupan melalui kapal laut. Banyak kapal lewat, banyak juga yang melalui Bangka. Kabar angin menyebutkan, bahwa pulau Kelapa (maksudnya pulau Kelapan) dan Pongok (maksudnya pulau Liat/Leat) di Bangka Selatan adalah pos untuk perdagangan senjata antara Singapura dan Banten, wilayah Republik. Dua orang dari Bangka dikenal namanya sebagai penyelundup selama Revolusi. Mereka adalah Tony Wen dan Lie Kwet Tjeng. Keduanya membantu Republik memperdagangkan persediaan candunya untuk mendapat senjata di Singapura (Heidhues, 2008:195).

BACA JUGA: KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Tiga)

Di antara semua itu, peran Tony yang paling vital bagi Republik Indonesia tak lain adalah sebagai penyelundup candu. Pada Tahun 1948, Republik Indonesia yang baru berdiri membutuhkan dana untuk membangun perwakilannya di luar negeri dan untuk mempersenjatai pasukan dalam melawan Belanda. Padahal kala itu, keuangan negara sulit karena perdagangan luar negeri Indonesia sedang diblokade Belanda. Sebagai solusinya, Menteri Keuangan A.A Maramis mengusulkan untuk menjual sekitar 22 ton candu yang direbut dari Belanda. Dalam sidang kabinet, Perdana Menteri Mohammad Hatta menyetujui usul itu. Ia menunjuk sebuah tim yang terdiri dari Empat orang untuk menjalankan operasi ini, termasuk Tony (Theo & Lie, 2014:33). Tony Wen sempat ditahan di Singapura akibat aktivitas pembelian senjata yang dilakukannya untuk revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada Tahun 1954-1956, Tony Wen, terpilih menjadi anggota konstituate mewakili Partai Nasional Indonesia (Elvian, 2007:97).

BACA JUGA:BRIEVENBUS DI PANGKALPINANG

Setelah Tentara Belanda (NICA) bersama dengan tentara sekutu memasuki Kota Pangkalpinang, mereka langsung menguasai dan menduduki pusat-pusat strategis pemerintahan di Kota Pangkalpinang termasuk menguasai Lapangan Udara Kampung Dul dan Pelabuhan Pangkalbalam. Pasukan sekutu dan NICA Belanda juga melakukan penyisiran mencari tempat-tempat persembunyian TRI di Pangkalpinang dan sekitarnya. Pada waktu itu pasukan TRI ada yang  bermarkas di daerah Titi Rengas, Kampung Cengkong Abang, ada di Desa Air Duren dan di Hutan Larang, Air Kepala Tujuh, Kampung Tuatunu (antara bukit, bulur air, Air Kepala Tujuh). Begitu mencekamnya peristiwa pada masa itu, menyebabkan banyak masyarakat Tuatunu yang mengungsi ke kebun/hutan di sekitarnya, sementara TRI yang bermarkas di hutan larang Tuatunu bersiaga penuh, dengan mencurigai setiap gerak gerik orang yang datang ke Tuatunu, baik laki-laki maupun perempuan yang dianggap sebagai mata-mata Belanda dan mereka dibunuh. Lokasi pembantaiannya terletak di Gang Air Dalam, sekarang sudah menjadi rumah dan warung, posisinya di pinggir jalan berseberangan dengan tempat pemandian orang Tuatunu sekarang. Mayat-mayat orang yang dibunuh tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sumur penduduk di kampung yang sudah ditinggalkan penghuninya. Sumur inilah yang sekarang oleh masyarakat Tuatunu disebut dengan Perigi Pekasem. Sumur dengan diameter (lingkarannya) 1,5 meter dan dengan kedalaman sekitar 20 meter (Elvian, 2005:75) (Bersambung/***).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: