Gunong Muntai (Mountain)

Gunong Muntai (Mountain)

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

SEBAGAI pulau yang “tua (moha)”, “Bangka (wangka)” memiliki pusaka saujana berupa bukit atau gunong dalam posisi imajiner yang melintang dan membentang dari Barat ke Timur, ibarat penyeimbang atau bandul pulau Bangka yang posisinya membujur dari arah Utara ke Selatan. 

Dengan kearifannya para leluhur di pulau Bangka memberikan nama bukit-bukit atau gunong tersebut dalam bahasa Melayu Bangka mulai dari Bangka Barat secara berurutan gunong-gunong  tersebut yaitu Doelang Petjah, Menoembing, Koekoes, Moeroet, Ketoekoel, Penadjang, Asam, Maras dan Mengkoeloel. Sementara itu terdapat beberapa gunong sebagai pasak atau paku bumi di bagian Tengah pulau Bangka yaitu gunong Pading dan gunong Mangkoel serta pada bagian Bangka Selatan sebagai penyeimbang atau bandul yaitu gunong Moentai dan gunong Permis (Permisang). Salah satu keunikan Gunong atau bukit di pulau Bangka adalah posisinya yang selalu beririsan dengan wilayah pesisir pantai sehingga tampak jelas, bahwa gunong atau bukit di pulau Bangka di samping berfungsi sebagai bandul atau penyeimbang juga berfungsi sebagai paku atau pasak bumi dan kemudian menjadi bentang dan benteng alam bagi pulau Bangka serta berfungsi juga sebagai penanda alam petunjuk bagi pelayaran.

Dalam peta-peta lama Eropa, beberapa gunung ditulis dengan gunung (G) dan ada juga yang ditulis dengan bukit (Bt). Penulisan nama gunung dan bukit pada peta Eropa tentu berdasarkan toponimi yang pelapalannya berasal dari masyarakat pribumi Bangka (Bankanese). Berdasarkan hukum adat, bahwa wilayah hukum adat Bangka berdasarkan pada wilayah tempat tinggal atau teritorial. Masyarakat hukum adat teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Para anggota masyarakatnya merupakan anggota-anggota yang terkait dalam kesatuan yang teratur baik ke luar maupun ke dalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk waktu sementara masih tetap merupakan anggota kesatuan teritorial itu. Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat setempat.

Dalam kaitannya dengan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur, upacara-upacara ritual adat tradisional di Bangka ada yang dilaksanakan di wilayah laut atau pesisir, pulau-pulau kecil dan ada yang dilaksanakan di daratan (kampung, hutan, gunung, sungai) serta ada yang dilaksanakan di wilayah daratan dan di lautan atau pesisir secara bersamaan. Umumnya pemujaan atau upacara ritual adat terhadap roh-roh leluhur merupakan tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak hanya ditujukan kepada kegiatan sehari-hari, akan tetapi juga mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia (supranatural power) (Yunus, 1992;4). Kekuatan supranatural itu berupa roh-roh dan makhluk halus yang diyakini keberadaannya oleh masyarakat. Manusia demi keselamatannya mengadakan hubungan dengan kekuatan supranatural tersebut dalam bentuk upacara. Dengan demikian, upacara tradisional terhadap roh-roh leluhur sesungguhnya tidak saja sebagai referensi sosial budaya, tetapi juga sebagai stimoli of emotion dan petunjuk tentang kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. 

Berdasarkan pandangan kosmologis masyarakat, bahwa gunong adalah salahsatu wilayah tempat tinggal rohaniah dan tempat pelaksanaan ritual adat yang sifatnya sakral, misalnya pada masyarakat Mapur di dusun Aikabik, Bangka, masyarakat memakamkan orang yang meninggal dengan posisi jenazah menghadap ke Gunong Maras dengan penanda Empat Nisan. Selanjutnya ada tradisi di pulau Bangka tentang Taber Gunong dan Ngarak Ketupat Gong seperti yang dilakukan di Gunong Ninek dan Batu Kepale (pegunungan Permisan). Selanjutnya Gunong merupakan wilayah bermukimnya roh nenek moyang yang dianggap baik untuk melindungi kampung.  Pada saat ritual Taber Kampung di kampung Tempilang Bangka, pada malam hari dukun darat atau dukun kampung dan dukun laut melaksanakan upacara Penimbongan. Upacara ini bertujuan memanggil roh nenek moyang yang bersemayam di gunong di pulau Bangka untuk melindungi kampung dan isinya, dari gangguan makhluk halus yang berperangai jahat. Beberapa roh nenek moyang yang dianggap berperangai baik tersebut bermukim di Gunong Panden, yaitu Akek Sekerincing Besi, Akek Simpai, Akek Bejanggut Kawat, Datuk Segenter Alam, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, dan beberapa roh nenek moyang yang bermukim di Gunong Mares atau Maras, yaitu Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin. Begitu juga dengan Gunong Muntai di Bangka Selatan, dan Gunong Pading di Bangka Tengah menjadi pusat kosmologis dan pusat wilayah spiritual, tempat tinggal rohaniah dan tempat pelaksanaan ritual adat yang sifatnya sakral. 

Salah satu gunong yang unik di pulau Bangka adalah Gunong Muntai. Toponimi Muntai berasal dari kata dalam Bahasa Inggris “Mountain” yang berarti “Gunung”. Dalam Kaart van het Eiland Banka (cartographic material) volgens de topographische opneming in de jaaren 1852 tot 1855, L. Ullman (seorang ahli topografi Belanda), disebut dengan G. Montaye (maksudnya Gunung Muntai). Sementara itu berdasarkan peta yang lebih tua yaitu pada Kaart van het Eiland Banka zamengesteld in 1845 en 1846 H.M. Lange, terdapat hal yang menarik yaitu penamaan gunung di distrik Toboali ini ditulis oleh H.M. Lange dengan “St. Paulusberg of Pajang 1000” (gunung St. Paulus atau Pajang dengan ketinggian 1000 kaki). Dalam bukunya Het eiland Banka en zijne aangelegenheden.’s-Hertogenbosch: Gebr.Muller, 1850, Lange menjelaskan bahwa: “sementara lebih jauh ke Selatan, terutama dalam pertimbangan datang (maksudnya terlihat ketika datang), puncak terisolasi dekat Toboali, Qoenong-pajang atau disebut pegunungan St. Paulus, bahwa tingginya 1000 kaki”. Tampaknya masyarakat pribumi Bangka awalnya menyebut gunung ini dengan nama “Gunong Pajang”, Pada masa Inggris disebut dengan “Mountain Pajang” akan tetapi pada masa Belanda diubah namanya menjadi Berg St. Paulus dan karena kesulitan melapalkan kata Berg St. Paulus kemudian pada saat pemetaan resmi oleh ahli tofografi Belanda L. Ullman atas informasi masyarakat, dilapalkan dengan muntai (montaye) dari kata Inggris “mountain” dan nama specific Pajang menjadi hilang. Berdasarkan peta yang lebih muda yaitu peta Res. Bangka en Onderh. Opgenomen door den Topografischen Dienst in 1932-1933, Blad 36/XXVIIi, Gunong Moentai terletak di Tenggara Kampung Rindik dengan ketinggian 323 meter (1059.71 kaki). Terdapat beberapa gunong di sekitar Gunong Moentai yaitu pada sisi Tenggaranya terdapat Gunong Batoe Penjaber (179 meter), pada sisi Timur Laut terdapat Bukit Tagen dan Bukit Lingkoek, sementara itu pada sisi Utara Gunong Moentai terdapat Bukit Telang, Bukit Mentangor, Bukit Kaboeng dan Bukit Persoeng. Pada sisi Barat Laut Gunong Muntai terdapat Bukit Panjang dan Bukit Niak, serta disisi Baratnya terdapat Gunong Toboali (234,8 meter) yang sering disebut dengan small peaked hill (bukit kecil berpuncak).

Sebagai salah satu wilayah teritorial rohani, masyarakat mempercayai bahwa Gunung Muntai merupakan salah satu tempat tinggal makhluk halus. Menurut kepercayaan, makhluk-makhluk halus tersebut dari atas angin meniti awan, meniti angin, meniti guntur, meniti arus, turun ke Gunong Muntai di Toboali. Dari Gunung Muntai di Toboali turun ke daerah yang disebut dengan Lawang Puri, dan setelah di Lawang Puri kemudian turun menjadi penguasa di sungai Kepoh. Makhluk halus ini terdiri dari tiga bersaudara yaitu yang tertua bernama raja Jinggut berdiam di kuala, yang tengah bernama Raden Kesnen diam di bagian tengah sungai dan yang bungsu berkelamin perempuan bernama Ratu Jeria berdiam di tumbek (bagian dari sungai sebagai sumber dari mata air). Eksistensi makhluk-makhluk supranatural tersebut di atas menjadi sesuatu yang nyata. Oleh karena itu pemahaman mengenai makhluk supranatural harus dikaitkan dengan sistem pengetahuan budaya (Steven, 1990;125), dalam hal ini sistem kosmologi pada suatu masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: