Pelirang Basah

Pelirang Basah

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

SALAH satu sebab khusus perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir pada Tahun 1848-1851 Masehi, adalah karena Pemerintah Hindia Belanda menuduh Depati Amir sebagai dalang pengrusakan dan beberapa perampokan terhadap parit-parit penambangan Timah dan perampokan terhadap tuan-tuan kongsi di distrik Merawang dan Sungailiat serta disertai tuduhan kepada Depati Amir karena telah melakukan pemerasan. 

Perkara sebenarnya ialah, bahwa Djambil, seorang anak Batin Mendo Timur telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 30, hukum Adat Sindang Mardika yang berlaku di pulau Bangka, yaitu tentang “Pelirang Basah”. Djambil telah “mengganggu” saudara Depati Amir bernama Ipah, sehingga Amir memandang perlu mengawinkan Djambil dengan saudaranya. Tetapi Djambil menolak perkawinan, sehingga Amir menuntut kepada Djambil, agar membayar denda 24 ringgit, sesuai dengan adat istiadat rakyat setempat (Bakar, 1969:32). 

Pemerintah Hindia Belanda kemudian berusaha menangkap Depati Amir dengan berbagai tipu muslihat. Cara-cara yang licik dan keji untuk menangkap Depati Amir pada tanggal 17 Desember 1848 Masehi dilakukan oleh pasukan militer Belanda dipimpin oleh Letnan Campbell, Administratur distrik Pangkalpinang De Bley dibantu oleh Hoofd Jaksa Abang Arifin, di rumah Demang Abdurrasyid yang berdekatan dengan sungai Rangkui mengalami kegagalan. Depati Amir berhasil meloloskan diri dari kepungan dan penyergapan walaupun makanan dan minumannya sudah dibubuhi racun, dengan lari melalui sungai Rangkui yang membelah distrik Pangkalpinang. Akan tetapi beberapa hari kemudian ibunya Dakim, putera angkatnya Baudin (Baidin) dan saudaranya Ipah serta empat orang pengikutnya berhasil ditangkap oleh Empat orang batin dari distrik Pangkalpinang yaitu Batin Mendobarat, Batin Mendotimur, Batin Merawang dan Batin Penagan. Beberapa batin dari distrik Pangkalpinang berhasil menangkap keluarga dan beberapa pengikut Depati Amir setelah mereka mendapat persenjataan dari Hoofd Jaksa Abang Arifin. Peristiwa penangkapan atas dirinya yang gagal dan penangkapan atas keluarganya serta penjajahan Belanda yang menyengsarakan rakyat Bangka kemudian dijadikan Depati Amir sebagai alasan yang kuat untuk melakukan perlawanan bersenjata melawan Pemerintah Hindia Belanda. Dalam Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 27 Januari 1852, Nomor 5, Batin Mendobarat dianggap oleh pemerintah hindia berjasa dan diberikan penghargaan sebesar f 300 (gulden) sebagai imbalan atas jasanya selama perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir dan sebagai ganti rugi yang dideritanya serta sebagai imbalan kesetiaan yang ditunjukkannya kepada Pemerintah Hindia Belanda.

Penjelasan arti tentang pasal “Pelirang Basah” oleh F. S. A. De clercq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), menyatakan: ”Palirang; denkelijk beter pawirangan dan „wat schaamte berokkent" of „schending der eerbaarheid". Palirang; "Palirang kering is „schending der eerbaarheid door woorden" en paIirang basah hetzelfde „door daden" (De clercq, 1895:141). Maksud dari De clercq adalah: “Pelirang mungkin maksudnya pawirangan lebih baik daripada "apa yang membuat malu" atau "pelanggaran ketidaksenonohan”. Palirang kering adalah "ketidaksenonohan dengan kata-kata" dan palirang basah sama dengan "perbuatan". Dalam Perkara 30, Hukum Adat di pulau Bangka De clercq menyatakan: “Ingeval van palirang basah, als een man overspel pleegt met een vrouw die in den echt moet treden, en zij zwanger wordt, maar zij niet genegen zijn te trouwen, wordt degene die niet wil huwen beboet met 16 tot 26 rijksdaalders ten voordeele van het hoofd. Wil echter de vrouw huwen en de man niet, dan komt de boete ten bate der vrouw; maar zij kunnen vrijgesteld worden van de boete als ieder naar eigen goedvinden in het huwelijk treedt, in welk geval aan het hoofd 6 gulden wordt betaald. Bij een gedwongen huwelijk blijft de boete van kracht: de vrouw krijgt dan de helft en het hoofd de andere helft; is echter de vrouw eerst daartoe genegen en moet zij er later toe gedwongen worden, zoo komt de geheele boete aan het hoofd”. Dan selanjutnya pada Perkara 31dijelaskan oleh De clercq: “Ingeval van palirang-kering, als iemand eens anders vrouw en kinderen of wel een vrijgezel onbehoorlijke dingen verwijt, wordt hij beboet met 8 tot 12 rijksdaalders ten voordeele van den klager; maar als zulks geschiedde tegenover de vrouw en kinderen van een hoofd, zoo stijgt de boete van 12 tot 24 rijksdaalders”. Menurut E.P. Wieringa, dalam bukunya Carita Bangka Het Verhaal Van BangkaTekstuitga Ve Met Introductie en Addenda, Vakgroep Talen en Culture van Zuidoost-Azië en Oceanië Rijksuniversiteit te Leiden, 1990, Pelirang Basah dinyatakan pada pasal Tigapuluh: “Laki-laki bermain sundal dengan perempuan yang harus nikah sampai jadi bunting, maka dia orang tidak mau berkawin, maka didenda kepada siapa yang tidak mau berkawin dari 16 sampai 26 ringgit dapat kepalanya. Tetapi jikalau perempuan mau berkawin itu laki-laki tidak mau, maka itu denda dapat kepada perempuan tetapi boleh lepas denda yang tersebut jikalau dia berkawin keduanya dengan sukanya melainkan bayar 6 ringgit kepada kepalanya tetapi jikalau ia berkawin itu dengan dipaksa, maka tidak boleh hilang denda yang tersebut tadi dendanya separuh dapat kepada perempuan dan separuh kepada kepalanya itu pun jikalau itu perempuan suka dengan tidak dipaksa tetapi jikalau kemudian dengan dipaksa semuanya dapat kepada kepalanya”. Selanjutnya tentang Pelirang Kering pada Pasal Tigapuluh Satu: “Jikalau orang mengeluarkan perkataan kepada istri orang yang maksudnya mau kepadanya dengan jalan yang keji, maka didenda dari 3 sampai 12 ringgit, dapat oleh yang mendakwa. Jika istri dari kepalanya yang dibuat demikian itu, didenda dari 12 sampai 24 ringgit”. 

      Depati Amir sendiri menjelaskan bantahan terkait tuduhan, bahwa Ia telah melakukan pemerasan, melalui surat yang dikirimkannya kepada  Kapitan Mayor Tionghoa di Mentok bernama Tan Kong Tian.  Berikut Surat Depati Amir kepada Kapten Mayor Cina di negeri Mentok tertanggal 22 Januari 1850 (7 Rabiulawal 1266 H): “Saia Amir kirim tabek serta dengan hormat dan selamat barang disampekan Allah soebhanahoe wata Allah apalah kiranja dateng kepada sahabat saia kapiten major die dalem bandar negerie Mentok jang dapat selamat hoemoer pandjang dieatas pangkat jang kabesaran moeliaan adanja. Sahadan maka adalah saia kirim sepotong soerat kepada sahabat saia kapiten major dari perkara saia dengan djaksa tempo djaksa di Pangkalpinang itoe djaksa bilang maoe bitjara betoel ada perkara sadikit ada orang nama Djamiel ada dapat selalu sama saia poenja saoedara prempoean iatoe orang tiadalah maoe kawin sama saia punja soedara  die dalem saia peonja adat orang toea-toea dahoeloe moestie bajar adat ampatliekoer ringgit iatoe perkara habies lantas saia toeroen die Pangkalpinang ietoe djaksa kasie saia makan mabok ietoe djaksa dan batin-batin di Pangkalpinang kerdja soeroe djaksa tangkap saia poenja anakh dan saia poenja soedara satoe luka dan satoe matie dipotong, dia dalam saia punja masalah tiada apa apa saia punja kesalahan, saia punja anak atawa saia punja saudara ietoe djaksa maoe memboeat roesoe hendak meroesakan Tanah gouvernement dan dengan tjoema toean kongsie Selan dan sahabat saia kapiten major jang maoe membetoelkan tanah gouvernement dan keroegian die atas governement dan timbangan jang betul dan sekarang toean besar dan kepala-kepala Raad di Mentok tiada poenja timbangan lagie denger orang poenja adoean karija Djabar dan doea kamoe moeloat djadie roesoe tanah governemen. Tersoerat kepada 7 hari bulan Rabioelawal 1266 (22 Januari 1850)”. 

Surat ini berisi penjelasan secara khusus Amir kepada mayor Cina di Mentok, kenapa beliau sampai melakukan perlawanan bersenjata secara terbuka kepada pemerintah Belanda. Perlakuan yang licik ingin menangkapnya (Amir) dengan cara menggunakan racun yang ditaruh di makanannya dan pemerintah Belanda campur tangan serta tidak mengakui hukum adat yang berlaku di pulau Bangka pada masa itu terkait pelanggaran adat kesusilaan atau "pelanggaran ketidaksenonohan” yang dilakukan Djambiel terhadap saudara perempuannya.

Seharusnya pihak yang bersalah membayarkan denda yang oleh Belanda tuntutan denda oleh Amir tersebut dianggap sebagai upaya pemerasan oleh Amir. Upaya penangkapan terhadap Amir gagal akan tetapi anaknya (anak angkat) ditangkap dan dua saudaranya, satu orang mengalami luka-luka dan satu orang mati.

Mayor Tionghoa di Mentok tersebut adalah Tan Kong Tian, yang kemudian menerima sebuah penghargaan perak dari pemerintah atas usahanya mencoba menghentikan pemberontakan Amir melalui perundingan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: