Pijawang Petjah

Pijawang Petjah

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

SALAH satu ketentuan (pasal) di dalam Hukum adat Sindang Mardika yang berlaku di Pulau Bangka adalah tentang “Pijawang Petjah”. 

F. S. A. De clercq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895 halaman 138 menyatakan, bahwa pijawang petjah adalah salah satu pasal dari 45 pasal ketentuan-ketentuan (kewenangan) yang diperlukan oleh kepala kepala rakyat pribumi Bangka dalam pembinaannya (kepada masyarakat) yaitu kepada para Patih, Batin-Pasirah dan Batin-Pengandang atau Batin Ketjil (Vervolgens werden de noodige bepalingen gemaakt voor de Patih's, de Batin-Pasirah en de Batin-Pengandang of Batin Ketjil, te weten). Pengertian Pijawang petjah menurut De clercq adalah: Pijawang is het „hoofd van een vereeniging of gemeenschap", b. v. pijawang poekat=kapal a poekat; ook „degene , die vertrouwd wordt". In deze uitdrukking is weggelaten timba; het zou moeten zijn: pijawang  petjah timba d. i. „een hoofd, die de bepalingen overtreedt en dus het in hem gestelde vertrouwen schendt". Pengertiannya kira kira: Pijawang adalah "ketua perkumpulan atau masyarakat", misalnya pijawang poekat=kepala poekat; Pijawang juga berarti "orang yang dipercaya". Dalam ungkapan ini kata timba dihilangkan; seharusnya: pijawang petjah timba, d.i. "seorang kepala yang melanggar ketentuan dan dengan demikian melanggar kepercayaan yang diberikan kepadanya". Pijawang Petjah merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan pada Pasal Empatpuluh Tiga (Pasal 43) hukum adat Sindang Mardika yang berbunyi: “Jikalau kepalanya melanggar undang yang tersebut, kena hukum terlipat dan segala denda kepada yang mendakwa serta dibagikan setengah segala orangnya segala denda yang kepalanya tidak dapat tetapi dia dapat uang memutus 2 sampai 12 ringgit dibahagi dengan orang di bawahnya yang memutuskan perkara itu” (Dalam versi E.P. Wieringa, Carita Bangka Het Verhaal Van BangkaTekstuitga Ve Met Introductie en Addenda, Vakgroep Talen en Culture van Zuidoost-Azië en Oceanië Rijksuniversiteit te Leiden, 1990). Makna dari Pasal ini adalah bahwa Kepala kepala rakyat (Patih/Depati, Batin-Pasirah dan Batin-Pengandang atau Batin Ketjil/Gegading dan Lengan) di Pulau Bangka bila melanggar ketentuan ketentuan pada 45 pasal yang tercantum dalam Sindang Mardika akan kena hukuman berlipat karena melanggar kepercayaan atau tanggungjawab yang diberikan kepadanya („een hoofd, die de bepalingen overtreedt en dus het in hem gestelde vertrouwen schendt"). Dalam versi F. S. A. De clercq, “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895, dinyatakan pada pasal 42 yaitu: Ingeval van pijawang-petjah, als een hoofd de genoemde wetten overtreedt, wordt hij gestraft met al de boeten voor de klagers en worden deze onder zijn lieden verdeeld, terwijl hij niets ontvangt; voor zijn moeite krijgt de ondergeschikte, die de beslissing neemt, 2 tot 12 gulden. (dalam kasus pijawang-petjah, jika seorang kepala rakyat melanggar undang-undang tersebut, ia dihukum dengan semua denda untuk pengadu dan dibagikan kepada rakyatnya, sementara ia tidak menerima apa-apa; atas usahanya, bawahan yang mengambil keputusan menerima 2 sampai 12 gulden).

Empat puluh lima pasal ketentuan atau wewenang pada hukum adat Sindang Mardika yang diberikan kepada Kepala kepala rakyat (Patih, Batin-Pasirah dan Batin-Pengandang atau Batin Ketjil/Gegading dan Lengan) untuk membedakan dengan Sepuluh pasal ketentuan (kewenangan) yang diberikan kepada Rangga di Pulau Bangka dalam pembinaan kepada masyarakat (Aan den Rangga werd de navolgende bevoegdheid gegeven). Rangga adalah wakil sultan kesultanan Palembang Darussalam di pulau Bangka masa Sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikromo (Tahun1724-1757), pada masa sultan Ahmad Najammuddin 1 Adikusumo (Tahun 1757-1776), jabatan Rangga di pulau Bangka diganti dengan jabatan Tumenggung, dan jabatan patih digantikannya dengan jabatan depati.  Menurut Husni Rahim (1998) sebagaimana dikutip Fakhriati, Pulau Bangka adalah salah satu daerah sindang yaitu daerah perbatasan dengan daerah Kepungutan. Daerah Sindang ini mengakui sultan, tapi mereka diberi kebebasan mengatur daerahnya sendiri. Daerah Sindang disebut juga daerah sekutu dipimpin oleh seorang depati (raja kecil) yang bebas (vryheren), tidak diberi pajak dan tidak pula membayar upeti, tetapi berkewajiban melindungi perbatasan daerah kesultanan dari serbuan orang luar. Baru kemudian, kepada daerah Sindang diwajibkan tiban-tukon sebagai tanda raja. Dalam peraturan hukum, daerah Sindang diperkenankan memiliki peraturan perundang-undangan sendiri, misalnya “Úndang Undang Sindang Mardika” (Fakhriati, 2010:94).

Catatan tentang hukum adat Sindang Mardika yang berlaku di pulau Bangka dapat dijumpai pada buku E.P. Wieringa, Carita Bangka Het Verhaal Van Bangka Tekstuitga Ve Met Introductie en Addenda, Vakgroep Talen en Culture van Zuidoost-Azië en Oceanië Rijksuniversiteit te Leiden, 1990, dan pada buku F.S.A. De Clercq, “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895. De clercq dalam bukunya pada halaman 141, menyatakan, bahwa banyak istilah istilah hukum adat yang telah hilang dan berubah dan sulit diterjemahkan dalam kamus, selengkapnya De clercq mengatakan: Een nauwgezette vertaling der nu volgende artikelen was niet altijd gemakkelijk, omdat de tekst hier en daar minder duidelijk is door het gebruik van rechtstermen, die bij de sedert gewijzigde toestanden verloren gingen en in de woordenboeken ook niet worden verklaard. Aan de welwillend heid van den controleur van Toboali, de heer J. J. Van Huffel, dank ik eenige inlichtingen, die het hem gelukt is van bejaarde inlanders  omtrent enkele woorden te krijgen en welke hierbij volgen, maksudnya kira kira: Penerjemahan yang akurat dari pasal-pasal berikut tidak selalu mudah, karena teks di sana-sini kurang jelas akibat penggunaan istilah-istilah hukum, yang telah hilang dalam keadaan yang berubah dan tidak dijelaskan dalam kamus. Atas kebaikan hati Kepala Distrik Pertambangan Timah (tinmijn)/Pemerintahan(bestuur) Toboali (controleur)  J. J. Van Huffel dan penduduk asli lanjut usia tentang beberapa kata, dan yang mengikuti di sini. Penulis sendiri saat ini sedang berupaya untuk menghimpun dan menyusun hukum adat yang terserak tersebut dalam satu buku berjudul: “Sejarah Hukum Adat Sindang Mardika”.

Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven dalam salah satu tulisannya sebagaimana dikutip Dr. H. Abdoerahman, S.H., M.H., seorang Hakim Agung Pada Mahkamah Agung RI, mengatakan, bahwa Hukum Adat itu laksana Padi yang berkembang dari mulai tumbuh, berkembang dan akhirnya layu. Karena itu Ia menyatakan ada bagian hukum adat yang sudah berlalu (het afstervende), bagian yang sedang berlaku sekarang ini (het hedendaag) dan bagian yang baru terbentuk (het we dende nieuw) (Ibrahim,Syarif,dkk,2005;36). Hukum Adat Sindang Mardika adalah bagian dari hukum adat yang sudah berlalu (het afstervende), terutama ketika Depati Amir, seorang depati (raja kecil) yang bebas (vryheren) sebagai pembina hukum adat di pulau Bangka, karena berperang melawan Pemerintah Hindia Belanda ditangkap dan dihukum dengan dibuang ke Keresiden Timor hingga akhir hayatnya (Tanggal 28 September 1869), dan salah satu  sebab khusus perlawanan rakyat Bangka melawan pemerintah Hindia Belanda adalah karena tidak diakuinya hukum adat (khususnya Pasal 31 tentang Pelirang Kering). Akan tetapi bila dilihat relevansinya dengan kondisi sekarang, banyak subtansi dari pasal pasal hukum adat Sindang Mardika, baik yang secara tersirat maupun tersurat masih bisa berlaku pada kondisi saat ini (het hedendaag), termasuklah ketentuan tentang Pijawang Petjah. Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya yang meliputi nilai kebaikan, nilai keberhargaan dan nilai keteraturan dalam kehidupan kemasyarakatan. Hukum adat merupakan hasil dari cipta, karsa, dan rasa manusia yang positif dan diyakini dapat membawa kesejahteraan lahir dan batin bagi masyarakat. Dalam arti bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi dari peradaban manusia yang adiluhung dan selalu menjaga marwah. Selain itu hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat. 

Keberadaan hukum adat dijamin oleh negara melalui UUD 1945. Pasal 18B Ayat 2 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: