LIBIDO POLITIK DAN KATARSIS PUBLIK

LIBIDO POLITIK DAN KATARSIS PUBLIK

Saifuddin --Foto: ist

Kondisi tersebut menimbulkan proses inisiasi berkembangnya libido-libido politik dari individu-individu yang akhirnya mencontoh sikap Sang Raja. Individu-individu ini berlomba-lomba agar dapat memperoleh kekuasaan seperti Sang Raja. Segala cara ditempuh bahkan menghisap darah rakyat pun akan dilakukan untuk memenuhi libido politik yang muncul. Sehingga dari sinilah “politik keturunan” dimulai yang kemudian melahirkan istilah “Politik Dynasti”.

BACA JUGA:Green Leadership untuk Generasi Mendatang

BACA JUGA:Optimalisasi UMKM Keberlanjutan

Seorang Freudian yang mendalami teori Sigmund Freud mengenai perubahan personality individu pasti memahami bagaimana proses libidonisasi dalam diri seseorang itu mampu menguasai orang tersebut sehingga melakukan hal-hal yang unconscious dan irasional. Ketika libido itu muncul dan menguasai diri seseorang, maka kondisi kognitifnya akan mengalami disonansi, tak dapat membedakan lagi mana hal yang boleh dilakukan dan tak boleh dilakukan, mana yang halal dan yang haram, dan jika dibiarkan maka akan merusak seluruh sendi-sendi kehidupan dari individu tersebut. Dan disinilah kadang publik mengalami kegoncangan psikologis yang kuat, termasuk dalam menentukan pilihan politiknya.

Katarsis publik

Katarsis atau Catharsis, merupakan proses melepaskan segala hal yang mengganggu tingkat emosional individu, Sigmund Freud menjelaskannya pada teori Psikoanalisis. Dalam konteks tulisan ini, katarsis merupakan proses di mana publik telah amat sangat muak terhadap semua situasi dan kondisi politik negeri ini, publik perlu cara untuk melepaskan segala hal yang membuat frustasi.

Bagaimana tidak, di saat banyak TKI bermasalah di negeri orang, pengangguran dan kemiskinan bertambah, kekayaan alam banyak dikuasai asing, korupsi merajalela, para elite politik banyak menggunakan topeng kemunafikan, pelanggaran hukum, etika, moral, kecurangan dalam pemilu, serta kebohongan para elitis yang dipolitisasi---semua itu mendorong katarsis publik dengan protes, makian dan sarkasme diruang demokrasi.

BACA JUGA:PESTA, SIMULACRA DAN DEMOKRASI

BACA JUGA:Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Menyelamatkan Keberlangsungan Sekolah Swasta

Katarsis publik sering kita temui akhir-akhirini, publik melepaskan semua hal yang membuat frustasi dan depresi dengan cara bermacam-macam datang berduyun-duyun ke panggung-panggung dangdut pada perhelatan pemilu, bahkan sampai membuat rusuh, melakukan demo yang cenderung bersifat anarkis, mencorat-coret gedung wakil rakyat, dan lain-lain. Seharusnya fenomena katarsis publik ini merupakan lecutan bagi para elite negeri ini, karena semakin banyak katarsis yang terjadi di wilayah publik, maka semakin bobrok kondisi sebuah negara dan kita sedang mengalaminya saat ini.

Padahal ruang publik adalah satu ruang ekspektasi dimana arus demokrasi bergerak sebagaimana ungkapan Jurgen Habermas tentang publik yang demikian penting dalam sistem politik. Tekanan psikologis manusia dengan antipati terhadap proses politik dalam demokrasi itu sangat di pengaruhi oleh “rusaknya demokrasi” ditangan elitnya. Seperti ketidakpuasan rakyat terhadap hasil pemilu—ditambah lagi dengan perilaku elit yang membodohi rakyatnya.

Oleh karena itu, segeralah menyingkirkan semua libido politik yang menguasai diri kalian wahai para politisi dan pejabat publik yang terhormat, karena jika dibiarkan akan sangat berbahaya bagi keadaban bangsa ini. Publik yang diterpa informasi negatif terus menerus dari para pemimpinnya, suatu saat pasti akan meledak, karena akumulasi katarsis yang kronis, dan secara psikologis sangat menyengsarakan hati dan jiwa rakyat.

BACA JUGA:Pemilu 2024: Aksi dan Asa Generasi Muda Menentukan Arah Politik Indonesia

BACA JUGA:THE POWER OF “TUKANG ULON” DALAM MERESILIENSI KRISIS MINAT BERORGANISASI

Anthonio Lasardo Darocha dalam bukunya “Pembangkangan Civil Society, dengan tegas menyatakan bahwa pemberontakan dan revolusi kadang meledak apabila penguasa dan elit sudah tuli dan buta. Karena itu, untuk membangun demokrasi yang bernarasi nurani hendaknya politik dibangun dari lapis terdidik dengan kesadaran yang kritis sehingga lahir kedewasaan berpolitik yang baik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: