PESTA, SIMULACRA DAN DEMOKRASI

PESTA, SIMULACRA DAN DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur eksekutif LKiS

Penulis Buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Kekuasaan

____________________

INI fase yang tidak mudah, mengingat perang tanding dalam budaya modern kian kencang, menghipnotis berbagai unsur dalam ruang yang sulit untuk diterka dan diraba. Ini ibarat menjaring semut diatas batu. Sulit, tetapi harus dilakukan, walau hasilnya tidak maksimal. Kondisi ini diciptakan, sehingga raung budaya terlihat ada dan tidak musna pada waktunya. Shock culture, adalah peristiwa budaya, yang bisa saja mengubur budaya klasik dengan memaksa budaya modern-kontemporer.

Jean Baudrillard dalam bukunya : The Agony of Power” tentang Dominasi, Hegemoni dan Teror Dalam buku ini, Jean Baudrillard mengambil celah terakhir pada situasi membingungkan yang saat ini kita hadapi, yaitu saat kita keluar dari sistem “dominasi” dan memasuki dunia generalisasi “hegemoni” di mana setiap orang menjadi sandera dan kaki tangan pasar global. Ini bisa disebut sebagai kejahatan dalam politik dengan dominasi tapi menyandera yang lain. Absurd.

Pada market kebebasan politik dan seksual, ketika kemungkinan revolusi (dan pemahaman kita tentangnya) menghilang, Jean Baudrillard melihat proses hegemonik sebagai satu-satunya permulaan. Begitu dikeluarkan, kenegatifan kembali dari dalam diri kita sebagai kekuatan antagonis—paling jelas dalam fenomena terorisme, tetapi juga sebagai ironi, ejekan, dan likuidasi simbolis semua nilai kemanusiaan. Pada fase ini nilai-nilai yang menabur pada skala sosial “jatuh” dan terkubur karena ambigu. Collaps said ; Dawkins.

BACA JUGA:Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Menyelamatkan Keberlangsungan Sekolah Swasta

BACA JUGA:Pemilu 2024: Aksi dan Asa Generasi Muda Menentukan Arah Politik Indonesia

Semua itu adalah dimensi hegemoni yang ditandai oleh sirkulasi tak terkendali—kapital, barang, informasi, atau bangunan sejarah—yang mengakhiri konsep pertukaran itu sendiri dan mendorong kapital melampaui batasnya: ke titik di mana ia menghancurkan kondisi keberadaannya sendiri. Dalam sistem hegemoni, mereka yang teralienasi, tertindas, dan terjajah menemukan diri mereka berada di pihak sistem yang menyandera mereka. Aleinasi (keterasingan) adalah karena dominasi dan hegemoni pada kelompok tertentu atas yang lainnya. Dan itu tidak fair dalam demokrasi(isme), sebab ada pengabaian bagi yang lainnya. Konsep kesetaraan menjadi nisbi.

Pada situasi yang paradoks di mana sejarah telah berubah menjadi lelucon, dominasi itu sendiri tampak sebagai kejahatan yang lebih ringan. Tesis ini mengumpulkan tiga esai makalah Jean Baudrillard: “Dari Dominasi ke Hegemoni”, “Teror Putih Tatanan Dunia”, “Di Mana Kebaikan Tumbuh”, dan ini adalah sama halnya menterjemahkan ketakutan pada ruang demokrasi dimana hak-hak itu dijamin oleh negara.

Lebih jauh dari itu, Jean Baudrillard dalam Simulation (1983) merancang sebuah tesis yang memprediksi realitas pada akhirnya telah mati. Dunia baru yang Baudrillard sebut sebagai “galaksi simulacra”, ternyata melanda seluruh aspek kehidupan tidak terkecuali demokrasi. Galaksi simulakra adalah ; ruang peng-acakan situasi tentang siapa yang benar, siapa yang salah, siapa yang menang, siapa yang kalah.

BACA JUGA:THE POWER OF “TUKANG ULON” DALAM MERESILIENSI KRISIS MINAT BERORGANISASI

BACA JUGA:Kelindan Etika Lingkungan dan Tobat Ekologis dalam Sastra

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: