LIBIDO POLITIK DAN KATARSIS PUBLIK

LIBIDO POLITIK DAN KATARSIS PUBLIK

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Kekuasaan

___________________________

DEMOKRASI memang begitu mahal, bukan hanya menyangkut mahar politik saat kontekstasi dimulai, tetapi demokrasi acapkali demokrasi di kebiri dengan dalih atas nama rakyat walau diketahui bahwa ada intrik terselubung dibalik kata “demokrasi atas nama rakyat”, demokrasi mengalami pemakzulan oleh sebagian mereka yang tamak kekuasaan. Debat dan politik retorika yang mewarnai media semakin memberikan penafsiran tersendiri bahwa politik kita sementara dalam suasana “dibincangkan” bukan di praktekkan.

Narasi yang di ikuti tepuk tangan seakan membawa mata publik bahwa ia yang terbaik. Sebab yang asyik untuk di dengar adalah siapa yang banyak menebar kebencian dan kesalahan. Politik dan demokrasi tidak berada lagi diruang kesadaran kritis yang baik, bahkan melompat melewati nalar politik itu sendiri.

Sebuah negara dengan banyak pulau dan masyarakatnya yang plural adalah surga bagi berkembangkan sistem politik. Adalah menjadi hal yang biasa ketika banyak partai politik tumbuh di dalamnya, tetapi menjadi hal yang tidak biasa manakala partai politik hanya menjadi kendaraan politik tanpa ada landasan konstitusi yang mengaturnya dengan baik dan benar.

Perkembangan politik di Indonesia akhir-akhir ini sangat menyita perhatian publik. Tidak seharusnya publik ikut menanggung dosa-dosa para politisi tamak yang hanya bisa menghisap darah dan keringat rakyat. Dari persoalan konflik internal partai, saling mencaci antara para elite politik, hilangnya moral dan etika dengan pergi bersenang-senang ke klub malam, menyaksikan video porno saat sidang paripurna, hingga korupsi dan manipulasi untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan.

Perhelatan kian diwarnai dengan berbagai ujaran yang tidak memberikan ruang pencerdasan bagi rakyat di dalam memasuki era transformasi demokrasi yang lebih baik. Cacian dan kebencian semakin mewarnai jejak-jejak berdemokrasi kita.

BACA JUGA:DARI ANTAGONISME KE AGONISME DEMOKRASI

BACA JUGA:PEREMPUAN, POLITIK MELAWAN MITOS

Beberapa partai politik baru, tapi dengan wajah lama mulai muncul berlomba-lomba untuk mencuri hati publik saat pemilu mendatang. Partai Berkarya yang dikomandoi oleh Hutomo Mandala Putra. Partai Perindo yang di nahkodai bos MNC, dan Partai Solidaritas Indonesia yang di ketuai Kaesang Pangarep (putra kedua presiden Jokowi) yang sesungguhnya lahir ditengah gelombang demokrasi dan runtuhnya trusting public. Dalam situasi demikian ini fenomena itu bukanlah sesuatu yang beralasan salah, tetapi lebih kepada bahwa kemunculan partai baru ini adalah wujud perkembangan trans demokrasi yang cukup baik dari tahun ke tahun, walau sistem pengkaderan partai politik belum maksimal dalam proses edukasi politik kepada masyarakat.

Praktek Libido Politik

Alkisah seorang Raja yang tamak di sebuah negeri yang subur dan kaya. Raja tersebut selalu berbicara hal-hal yang baik dan mengharuskan rakyatnya melakukan hal-hal yang baik, tetapi Sang Raja tidak memberi contoh seperti yang dia ucapkan pada rakyatnya. Dengan mata telanjang, rakyat menyaksikan sendiri bagaimana Sang Raja menyusun rencana agar kekuasaan yang dimilikinya itu bisa tetap aman bahkan dapat diturunkan kepada sanak keluarganya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: