HANNAH ARENDT, UNTUK DEMOKRASI

HANNAH ARENDT, UNTUK DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

Sehingga dalam hal ini Hannah Arendt menolak manusia sebagai mahkluk sosial karena dalam arti itu manusia semata-mata diorganisasikan dalam asosiasi alamiah untuk memenuhi kebutuhan diri. Ia juga tidak menyetujui konsep ruang sosial yang menurutnya menyamarkan batas-batas antara ruang privat dan ruang publik. Pikiran Hannah Arendt pada wilayah ini tentu sangat berseberangan dengan Foucault terutama pada analisis ruang publik. 

BACA JUGA:MAHAR POLITIK DI PILKADA ; ANCAMAN BAGI DEMOKRASI

BACA JUGA:BE WISELY IN USING SOCIAL MEDIA: BIJAK DALAM BERSOSMED

Public Sphere (Ruang sosial) memang bersifat publik, namun sifat-sifat pengaturannya tetap bersifat privat. Ruang sosial sebenarnya merupakan manifestasi rumah tangga yang berukuran besar dan berskala nasional dan direalisasikan sesuai sistem pemerintahan, yang kemudian diterjemahkan dalam politik lalu disebut sebagai bangsa (nation). 

Berbicara politik bukan sekadar mengumbar persuasifitas dihadapan orang lain, melainkan juga mengakui keberadaan struktur konstitusional. Mengapa? Karena konstitusi adalah merupakan ruang antara yang menjembatani juga memisahkan semua orang.

Dalam pemerintahan yang demokratis, konstitusi merupakan cara yang baik untuk pembuka komunikasi dan juga pembatas bagi hak-hak asasi setiap warga. Hannah Arendt selaku seorang filsuf kontemporer, menempatkan politik sebagai wadah dan wacana perjuangan untuk mengadakan perlawanan terhadap determinasi keniscayaan. Mengacu Slavoj Zizek yang melihat politik adalah metode untuk mengintervensi ketidakmungkinan. Artinya Zizek percaya dengan intervensi politik ketidak-mungkinan akan menjadi mungkin. Jean Baudrillard memandang kemungkinan-kemungkinan itu akan terjadi karena adanya dominasi dan hegemoni sebagaimana yang dituliskannya dalam The Agony Of Power.

Perihal ini disebabkan atas dasar hipotesa politik bahwa politik dimulai dari membayangkan kemungkinan-kemungkinan tentang hal-hal yang tidak mungkin. Sedangkan Alan Badiou mengatakan bahwa politik tidak lain merupakan perlawanan terhadap hal-hal yang mustahil, yang unpredictable. Semua hal yang mitos dalam politik dianggap sesuatu yang masih mungkin berubah dan terpola. 

Hannah Arendt lebih lanjut menegaskan bahwa proses penyelengaraan kekuasaan seperti birokasi, legislasi dan administrasi pemerintahan perlu harus disiapkan sebagai kondisi situasi prapolitik. Sedangkan bentuk-bentuk seperti penguasaan, kontrol, pengaturan itu berada di luar kategori politis. Tetapi dalam kerangka membangun demokrasi setidaknya fungsi-fungsi kontrol sosial yang berada diluar arena politik (praktis) juga sangat dibutuhkan. Davia Esaton (the political system) mensyaratkan pentingnya kontrol politik untuk mengimbangi dominasi kekuasaan. 

BACA JUGA:CARA (KITA) MEMBUNUH DEMOKRASI

BACA JUGA:REFORMASI, & PENGHINATAN KAUM INTELEKTUAL

Pada perspektif yang lain, Hannah Arendt menyatakan juga tentang pentingnya politik perwakilan dan federasi. Ia menyadari demokrasi ala polis Yunani kuno tidak mungkin diterapkan dalam era modern saat ini. Di samping Hannah Arendt sebenarnya juga tidak sepenuhnya yakin dengan sistem demokrasi perwakilan karena seringkali tidak menghasilkan kondusifitas bagi keotentikan politik warga.

Membreak-down perspektif ini ; fakta-fakta politik juga banyak kita temukan berbagai situasi yang merusak tatanan demokrasi (tetapi mengatasnamakan demokrasi), seperti kecurangan pemilu, kekerasan politik, konflik horizontal, perusakan hukum, politik dinasti, politik kolegialisme, korpotokratisme yang semua itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip dasar berdemokrasi. Walaupun pada akhirnya Hannah Arendt juga tidak memberikan alternative ideal sebagai jawaban atas problematik semacam itu, mungkin karena menurutnya yang bersifat partikular tentu tidak sama.

Disinilah kita dibawa ke ranah teori tindakan Hannah Arendt dalam pemikiran politiknya. Argumen Hannah Arendt tentang tindakan, kebebasan dan pluralitas: Tindakan adalah satu- satunya aktivitas manusia yang berhubungan langsung tanpa diperantarai oleh sesuatu atau benda yang sesuai dengan kondisi pluralitas manusia. Pluralitas secara khusus merupakan sebuah keniscayaan -yang bukan hanya conditio sine qua non, namun juga conditio per quam- bagi semua kehidupan politik. Dan dua hal tersebut di negara notabene demokrasi justru masih sering terjadi pelanggaran terutama pada hal-hal yang bersifat prosedural dan hukum demi memenuhi kebutuhan politik kolegialisme tadi. 

Maka merujuk pada politik tindakan dalam pikiran Hannah Arendt dalam perkembangan demokrasi modern dengan berbagai macam sineas yang menyertainya bukan tidak mungkin politik akan mengalami distrust dan penggerusan akan nilai-nilai termasuk konstitusi negara.

 BACA JUGA:MODIFIKASI SISTEM TATA KELOLA SAMPAH, DEMI PANGKALPINANG YANG BERSIH, ASRI, DAN TERJAGA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: