MAHAR POLITIK DI PILKADA ; ANCAMAN BAGI DEMOKRASI

MAHAR POLITIK DI PILKADA ; ANCAMAN BAGI DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi

___________________________________________

MUNGKIN ini adalah jawaban terhadap pernyataan sebagaian kita bahwa demokrasi itu mahal. Kenapa? sebab dalam setiap event politik baik dilevel lokal maupun nasional gejala perusakan demokrasi kian massif dan nampak.Dalam proses penjaringan dalam kontekstasi politik cendrung diwarnai tawar-menawar politik yang berujung pada “mahar politik” yang demikian besar. Tak mengherankan kalau kemudian sebagian partai politik tak lagi mampu menjaga etika dalam mengemban amanah kepartaian. Pragmatisme kian muncul diera demokrasi yang serba terbuka ini, apakah ini kemudian menjadi asumsi bahwa tak ada makan siang yang gratis. 

Berbagai kasus politik yang pernah digelar dipilkada sejak 2005 yang lalu, bukan tak menyisakan duka dan luka yang bukan hanya pada rakyat pemilihnya, tetapi “proses politik” justru telah meninggalkan “borok demokrasi” dengan perilaku jual beli partai dengan mahar yang fantastis. Demokrasi terbuka, sepertinya salah dipahami yang berakibat bahwa politik hanya membincangkan tentang kalah dan menang tanpa harus mempertimbangkan etika dan moralitas. Menjaga demokrasi sebagai nilai bukan sebagai alat kekuasaan. Karena itu, dalam event politik yang dikenal dengan Pilkada serentak sejak tahun 2017, 2018, 2020, bahkan 2024 kali ini seakan tidak akan menyudahi praktek “bargaining crime” dengan dalih demokrasi, padahal sesungguhnya jalur demokrasi itu ditutupinya dengan politik dinasti dan poltiik kolegial. 

Max Weber dalam bukunya “The Protestan Etic, Spirit Kapitalisme”, dia menyebutkan bahwa dinastokrasi (politik dinasti memiliki beberapa kelemahan sekaligus ancaman bagi demokrasi. (1) Dinastokrasi berkecendrungan tidak akan memutus mata rantai korupsi karena sirkulasi kekuasaan hanya diputar ditengah keluarga dan kolega. (2) Dinastokrasi cendrung menghambat proses jalannya demokrasi. (3) Cendrung menafikkan ketokohan, apalagi tokoh tersebut tidak memiliki financial yang cukup. (4) Egosentris, selalu dibawa keruang publik untuk membangun pencitraan keluarga. Oleh sebab itu, Weber begitu mengkhawatirkan fenomena ini kalau kemudian masuk dalam jualan atas nama demokrasi.

Sehingga berdampak pada fenomena mahar politik ataupun sejenisnya seperti money politic bukan hal baru dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kandidat atau calon kepala daerah baik kader internal parpol maupun non kader yang potensial harus membayar sejumlah uang atau mahar untuk mendapatkan tumpangan “kendaraan” dalam tahapan pemilukada. Sehingga tidak heran kalau kemudian, tidak sedikit kader partai terpental jauh karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli partai politik. Dan disatu sisi partai politik pun kian tak percaya diri sehingga dengan alasan demokrasi dan elektabilitas, maka sebagian partai politik terjebak pada “pelacuran” dengan melamar non kader dengan mahar yang cukup besar. Ketidakpercayaan diri partai politik sangat membuka terjadinya konflik internal dipartai dengan asumsi partai politik lebih memilih non kader karena mereka memiliki finansial yang besar. 

BACA JUGA:BE WISELY IN USING SOCIAL MEDIA: BIJAK DALAM BERSOSMED

BACA JUGA:ERZALDI DARI RAKYAT UNTUK BABEL

Realitas ini bukan saja dalam hal pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden, pada pemilihan legislatif pun hal serupa sering terjadi. Tak sedikit calon legislatif kita harus menjual harta benda dan merogoh kocek demi nomor urut teratas. Yah inilah wajah politik kita. Politik busuk. Politik yang diwarnai dengan uang. Budaya politik transaksional telah merobek demokrasi baik itu secara struktural maupun kultural. Sebab masyarakat pemilih pun di giring kearah untuk merusak tatanan demokrasi. 

Dari tulisan Delia Wildianti (Peneliti Puskapol UI) menguraikan beberapa hal menurutnya, minimal terdapat empat sumber pengeluaran yang menyebabkan tingginya ongkos politik pilkada. Pertama biaya pencalonan (ongkos perahu politik) yang lazim disebut sebagai “mahar politik”. Kedua, dana kampanye yang meliputi atribut kampanye, tim pemenangan, serta penggunaan media elektronik dan cetak. Ketiga, ongkos konsultasi dan survey melalui pelbagai lembaga konsultan dan lembaga survey. Keempat, politik uang yang masih marak dilakukan oleh calon kepala daerah meliputi “serangan fajar”, sumbangan ke kantong pemilih, dan lainnya. Selain itu, dana yang cukup besar adalah perihal keberadaan saksi pada hari perhitungan suara.

Dalam mengikuti kontestasi politik, adalah sebuah keniscayaan bagi calon untuk mengikuti seluruh mekanisme pemilihan secara “demokratis” baik mekanisme internal partai maupun mekanisme eksternal sesuai dengan aturan yang berlaku dalam UU. Mekanisme pemilihan calon kepala daerah di dalam partai ini yang seringkali sulit diawasi dan belum adanya transparansi karena bersifat internal atau sekedar formalitas belaka. Sehingga hal ini membuka peluang untuk adanya transaksi “jual-beli” antara para elit partai dengan bakal calon yang akan diusung oleh partai tersebut.

Persoalan mahar politik merupakan salah satu yang membuat proses pencalonan membutuhkan waktu yang cukup lama, banyak partai yang mengambil injury time untuk mendaftar ke KPU yang sebenarnya menyiratkan adanya tarik menarik seberapa besar “mahar” yang dikeluarkan dan bahkan ada calon yang batal dicalonkan di detik-detik terakhir. Hal ini menjadi momentum yang penting untuk melihat bahwa ada persoalan serius dalam mekanisme pemilu yang membuat tarik menarik politik menguat yang ujungnya bisa menghadirkan praktik yang koruptif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: