HANNAH ARENDT, UNTUK DEMOKRASI

HANNAH ARENDT, UNTUK DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS (Lembaga Kaji Isu-Isu Strategis)

Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi

___________________________________________

“Dizaman kita, pidato dan tulisan politik sebagian besar, merupakan pembelaan terhadap yang tidak dapat dipertahankan”----(George Orwell)

Dalam studi politiknya Hannah Arendt yang dijuluki sebagai pemikir dan penulis yang kontroversial, complicated dalam kancah filsafat politik dunia, walaupun banyak tulisannya yang kurang sistematik. Tetapi membaca tulisan- tulisannya tampak jelas Arendt tidak saja membatasi diri dalam filsafat kontemporer tetapi ia juga jauh menembus pemikiran- pemikran sebelumnya bahkan sampai pada filsafat Yunani kuno atau Yunani klasik. 

Hannah Arendt terinspirasi pemikir- pemikir seperti Aristoteles, Agustinus, Immanuel Kant, Nietzsche, Jaspers serta para eksstensialis lainnya, dan tentu Heidegger sang kekasih. Semacam kebiasaan Hannah Arendt selalu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian ia berusaha menjawabnya. Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak Yunani kuno oleh Socrates yang kemudian metode ini diabadikan oleh Plato dalam bentuk karya-karyanya dalam academos Platonik. 

Posisi filsafat politik Hannah Arendt ini amat strategis untuk dimanfaatkan sebagai refleksi kehidupan politik kongkrit. Menurut Hannah Arendt, manusia politik adalah manusia tindakan. Berbicara, bertindak dalam sebuah ruang publik yang pluralistik, di mana seluruh anggota berada pada sebuah tataran equality, setara. Namun tentunya manusia tidak akan bisa bertindak apabila ia tidak bebas. Tentang manusia politik, ucapan ini dikemukakan oleh Soctares tahun 335 SM “Mans by nature a political animal” yakni secara alamiah manusia itu adalah mahluk politik. Sehingga Plato mendiagnosa posisi manusia sebagai mahluk politik yaitu ; manusia sebagai zoon politikon dan zoon society. 

BACA JUGA:JOKOWI & POLITIK THE AGONY OF POWER JEAN BAUDRILLARD

BACA JUGA:Komitmen POLRI Tidak Anti Kritik Bertajuk

Dari sisi ini Hannah Arendt mengatakan bahwa makna politik sebenarnya adalah kebebasan. Bebas dari pengendalian mekanisme alamiah, bebas dari dominasi hirarkis, lalu masuk ke dalam ruang publik sebagai orang yang otentik, otonom. Jadi, berpolitik adalah tindakan politis yang dilakukan dalam ruang publik. Walaupun faktanya tidak semua politi(si) bisa bebas, lepas dari dominasi, lepas dari ikatan secara hierarkhis dan bisa bertindak otonom. Karena perangkat undang-undang atau sistem politik yang kemudian menyebabkan ketidak-bebasan itu secara otentik maupun secara oyonom. 

Bagi Hannah Arendt sebuah refleksi pemikiran tanpa dimensi tindakan pastilah sia-sia, namun tindakan tanpa melibatkan pemikiran terlebih dahulu juga merupakan hal yang naif. Memang, kita kenal Hannah Arendt ini sangat Aristotelian, maka baginya tindakan mendapat porsi lebih daripada refleksi pemikiran yang soliter ala dunia Idealnya Plato. Aristotelian lah yang banyak membentuk cara pandang politik hannah Arendt dalam melihat politik itu sebagai suatu tindakan. 

Hannah Arendt juga berpendapat tentang teologi, dalam tradisi Kristen, individu didorong untuk hidup soliter dalam meraih telos arête religiositasnya. Dalam agama-agama monoteisme manusia adalah ciptaan Tuhan melalui cara penciptaan yang sama. Manusia adalah Imago Dei, manusia adalah image, citra Allah.

Hannah Arendt berkilah, padahal politik adalah masalah bagaimana cara mengorganisir orang-orang yang berada dalam ruang publik dimana secara nota bene jelas-jelas setiap orang unik dan berbeda- beda. Justru politik harusnya menghubungkan sekaligus memisahkan antar manusia, layaknya Dewa Janus yang memiliki dua muka di kepalanya, di dalam integrasi terdapat konflik dan begitu pula sebaliknya. Artinya politik yang berkepala dua akan cendrung “instability” dan konflik interestnya sangat berpengaruh---sehingga dalam fakta-fakta politik hal ini seringkali menuai kontroversi dan sorotan publik. Sekalipun menurut Michel Foucault “poblik sphere” adalah kubangan bagi jalannya demokrasi secara terbuka. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: