Timah, Regulasi, Nurani, & WPR?
Bahkan --untuk menghindari lupa--, penulis dengan beberapa pimpinan media membentuk sebuah organisasi khusus guna menindaklanjuti agar WPR dan IPR yang menjadi impian rakyat Babel itu benar-benar terwujud.
Penulis dan rekan-rekan saat itu menghadap ke Dirjend di Kementerian Perdagangan, juga ke Kementerian ESDM.
Ternyata, apilkasi IPR dan WPR tak semudah yang dibayangkan. Meski itu sudah perintah Presiden? Sampai sekarang impian itu tak pernah terwujud, malah regulasi yang turun semakin memberatkan.
Gubernur Rustam Effendi saat itu tahu penulis dan kawan-kawan kecewa, namun kami juga memaklumi, Rustam juga sudah berjuang sesuai dengan kewenangan yang ada padanya.
Dengan fakta-fakta yang ada inilah,. secara tidak langsung akhirnya melahirkan tambang-tambang ilegal di daerah ini.
Karena sekali lagi, tambang rakyat adalah urusan perut, bukan hanya sebatas aturan.
Kondisi ini juga kadang melahirkan dilematis bagi aparat hukum. Rakyat yang menambang di Daerah Aliran Sungai (DAS), Hutan Lindung, atau di sekitaran objek vital --seperti bandara--, mungkin bukan masalah yang berat bagi aparat untuk menindak.
Tapi ketika tambang itu berada di daerah 'abu-abu', di sini kadang nurani dan kepentingan berbicara?
Timah & Nurani?
Sekedar mengingatkan, suatu ketika sebelum memandu acara debat Calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang digelar KPU Babel beberapa tahun silam, penulis sampaikan ke Bupati Bangka H Eko Maulana Ali (almarhum) yang juga salah satu kandidat Cagub ketika itu. Karena Perda Kabupaten Bangka --selaku Kabupaten Induk-- adalah menjadi dasar pertambangan timah saat itu.
Sindiran ditujukan ke Eko karena konflik pertambangan di Babel saat itu banyak yang mencuat. Warga Babel yang terkesan bebas menambang, bak terseret dalam gelombang kegembiraan tanpa batas, pasca timah ketat karena dulunya sering berhadapan dengan Satgas.
''Kalau disuruh memilih, memimpin dengan aturan atau memimpin dengan hati nurani? Maka saya memilih memimpin dengan hati nurani. Silahkan rakyat menambang, aturan yang kita buatkan jadi pegangan,'' ujar Eko.
Dan saat itu UU Otonomi Daerah masih begitu kuat.
''Jadi, ketika aturan sudah jadi, lalu ada pelanggaran di situ, maka kita tertibkan secara persuasif. Masih nakal, kita serahkan ke aparat untuk menindak,'' ujarnya.
''Santai bener Pak?'' sindir penulis sembari tertawa lepas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: