Timah, Regulasi, Nurani, & WPR?
Oleh: Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup --
PERTUMBUHAN ekonomi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang tertinggi se-Sumatera dan nomor 4 se Indonesia --sesuai data BPS--, dalam beberapa tahun terakhir, tentu tak lepas dari peran timah.
Timah masih menjadi 'garda terdepan' dalam pertumbuhan ekonomi daerah ini, jika tak mau menyebut masih sebagai 'panglima ekonomi' Babel.
Dan, hal yang harus diakui pula, timah ini juga menjadi penentu 'ekonomi keluarga'. Berbeda dengan komoditas tambang lain, keterlibatan rakyat dalam menambang timah di Babel ini sangat dominan.
Dan angka keterlibatan rakyat dalam penambangan timah juga berada di posisi terbesar, ketimbang jumlah kolektor, pengusaha/smelter.
Persoalannya memang, ketika wacana aturan dan regulasi yang dibuat atau diterapkan terhadap kolektor dan pengusaha/smelter, maka rakyat penambanglah yang terlebih dahulu menjerit.
Karena otomatis kolektor dan pengusaha/smelter menjadi takut bergerak selagi regulasi dan legaltitas mereka masih dipertanyakan.
Persoalannya, timah rakyat akan disalurkan kemana?
Memang, persoalan pertimahan di Babel ini selalu berkutat dengan regulasi. Mulai dari regulasi kewenangan Kabupaten/Bupati, lalu ditarik ke Provinsi/Gubernur, lalu ke Pusat/Menteri.
Bahkan beberapa tahun lalu pernah ada regulasi bolak-balik, antara kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM?
Intinya di sini adalah, jika persoalan pertambangan timah ini harus menunggu regulasi dan aturan baru bisa bergerak, maka yang terkena imbas pertama adalah rakyat penambang.
Rakyatlah yang pertama menjerit. Bukan kolektor atau pengusaha.
Karena pertambangan rakyat itu langsung berurusan dengan dapur, bukan dengan harta kekayaan, apalagi pundi-pundi deposito dan tabungan.
Memang sebaliknya, jika rakyat dipersilahkan bergerak sembari menunggu regulasi, tambang-tambang ilegal akan merajalela.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: