Reformasi Birokrasi dan Peluang AI dalam Perencanaan di Sekretariat Daerah Bangka Selatan

Fabel Akbar Riyanto --Foto: ist
Oleh: Fabel Akbar Riyanto
Mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Publik, Institut Pahlawan 12
___________________________________________
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “reformasi birokrasi” terus menjadi bagian dari percakapan publik, regulasi, dan agenda prioritas nasional. Namun di tengah rutinitas kerja harian sebagai bagian dari unsur perencana di Sekretariat Daerah Bangka Selatan, saya mulai menyadari bahwa reformasi tidak selalu datang dalam bentuk program besar atau regulasi baru. Terkadang, reformasi itu hadir dalam hal yang lebih sederhana: cara kita berpikir dan merespons perubahan.
Sebagai aparatur perencana dan pengelola keuangan di lingkup Setda, saya melihat bahwa tantangan terbesar reformasi bukan hanya soal perubahan sistem, tetapi tentang mengubah kebiasaan, mindset, dan keberanian untuk mencoba pendekatan baru.
Salah satu hal yang semakin menarik perhatian saya belakangan ini adalah bagaimana kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi bagian dari reformasi birokrasi, terutama dalam konteks perencanaan dan keuangan daerah. Dulu, proses penyusunan dokumen perencanaan seperti Renstra, RKPD, dan laporan kinerja membutuhkan waktu yang cukup panjang dengan beban administrasi yang tidak sedikit. Hari ini, kita sudah bisa memanfaatkan AI untuk membantu menyusun draft awal dokumen, menganalisis data, bahkan melakukan simulasi anggaran secara cepat dan akurat.
AI tidak hadir untuk menggantikan manusia, tapi untuk mempercepat proses berpikir, memberi alternatif, dan membantu kita fokus pada hal yang lebih strategis. Sebagai contoh, saya pribadi mulai menggunakan teknologi pemrosesan bahasa alami (natural language processing) untuk menyusun kerangka laporan kinerja perangkat daerah. Dengan input data yang valid, AI mampu memberikan draft awal yang cukup solid untuk kemudian saya evaluasi dan sempurnakan secara manual.
Hal ini sejalan dengan semangat reformasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025, di mana disebutkan bahwa tujuan utama reformasi birokrasi adalah menciptakan birokrasi yang bersih, akuntabel, kapabel, serta pelayanan publik yang prima. Inovasi digital seperti AI bisa menjadi salah satu instrumen penting dalam mencapai visi tersebut, terutama dalam hal efisiensi dan efektivitas kerja.
BACA JUGA:SEKOLAH RAKYAT: LANGKAH MEMUTUS RANTAI KEMISKINAN
BACA JUGA:Pendidikan yang Gagal Merawat: Bullying, Trauma, dan Nyawa yang Terenggut
Selain itu, dalam Permenpan RB Nomor 3 Tahun 2023 tentang Roadmap Reformasi Birokrasi 2020–2024, disebutkan bahwa birokrasi harus adaptif terhadap perubahan, termasuk pemanfaatan teknologi informasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Ini menjadi pengingat bahwa modernisasi birokrasi tidak bisa dilepaskan dari kesiapan SDM dalam mengadopsi teknologi.
Tentu saja, penerapan AI dalam birokrasi masih menghadapi tantangan, terutama terkait dengan literasi digital aparatur, keamanan data, dan kesiapan infrastruktur. Meski begitu, saya meyakini bahwa lambat laun, kita akan mulai melihat AI sebagai mitra kerja, bukan sekadar alat bantu.
Reformasi birokrasi bukan hanya tentang menyederhanakan struktur atau memangkas prosedur. Reformasi sejati terjadi ketika setiap aparatur memiliki keberanian untuk terus belajar, mencoba, dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Dan mungkin, salah satu bentuk paling nyata dari reformasi hari ini adalah ketika seorang perencana daerah di Bangka Selatan mulai memanfaatkan AI, bukan untuk menggantikan tugasnya, tapi untuk memperkuat perannya sebagai pemikir kebijakan yang lebih tajam, efisien, dan visioner.
BACA JUGA:Bukan Deep Learning, Pendidikan Indonesia Butuh Perbaikan Supervisi dan Kompensasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: