Pendidikan yang Gagal Merawat: Bullying, Trauma, dan Nyawa yang Terenggut

Handika Yuda Saputra --Foto: ist
Oleh: Handika Yuda Saputra, S.Pd., M.Pd.
Akademisi dan Pengamat Pendidikan
___________________________________________
Kasus perundungan (bullying) yang berujung pada kematian peserta didik merupakan realitas tragis yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Fenomena ini tidak lagi dapat dipandang sebagai kejadian insidental atau kesalahan individu semata, melainkan sebagai hasil dari ketidakmampuan institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat untuk membentuk ekosistem pembelajaran yang aman, inklusif, dan humanis. Ketika seorang peserta didik kehilangan nyawa akibat kekerasan psikososial yang dideritanya di lingkungan sekolah, pertanyaan mendasar patut diajukan: sejauh mana negara dan institusi pendidikan telah menjalankan fungsinya sebagai agen proteksi dan emansipasi peserta didik?
Perundungan bukan sekadar tindakan agresi interpersonal, melainkan ekspresi dari relasi kuasa yang timpang, bias norma sosial, dan kegagalan sistem pengasuhan dalam membentuk etika komunal. Dalam kerangka sosiologis, perundungan merupakan bentuk kekerasan struktural yang diproduksi dan direproduksi melalui praktik pendidikan yang mengabaikan dimensi afektif dan moral. Ia sering kali dilegitimasi oleh budaya senioritas, glorifikasi kekuatan fisik, serta stereotip sosial yang memarjinalkan perbedaan. Maka ketika perundungan berujung pada kematian, yang tampak bukan semata-mata kekejaman pelaku, tetapi juga absennya sistem intervensi yang mampu mencegah, mendeteksi, dan menangani akar persoalan sejak dini.
Ironisnya, banyak institusi pendidikan masih menjadikan pencapaian kognitif dan capaian akademik sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Fokus pada penguasaan kurikulum dan performa nilai telah menggeser perhatian terhadap kesejahteraan psikologis siswa. Pendidikan karakter, yang sering digaungkan dalam kebijakan pemerintah, cenderung dipahami secara superfisial, terfragmentasi dalam bentuk ceramah atau seremoni moral, tanpa integrasi yang substansial ke dalam proses pembelajaran dan pembentukan budaya sekolah. Akibatnya, sekolah gagal menjadi ruang aman, justru menjadi arena di mana praktik diskriminasi, pengucilan sosial, dan kekerasan simbolik kerap terjadi secara laten.
BACA JUGA:Diduga Menjadi Korban Bullying di Sekolah, Seorang Siswa SD di Toboali Meninggal Dunia
BACA JUGA:Bukan Deep Learning, Pendidikan Indonesia Butuh Perbaikan Supervisi dan Kompensasi
Dalam sejumlah kasus perundungan yang menyebabkan kematian, respons institusi pendidikan kerap kali bersifat reaktif dan defensif. Pihak sekolah cenderung menutup diri, menormalkan tindakan kekerasan sebagai “candaan antar teman”, atau lebih buruk lagi, menyalahkan korban dengan narasi bahwa yang bersangkutan terlalu lemah secara mental. Pendekatan ini tidak hanya mencederai rasa keadilan korban dan keluarganya, tetapi juga merefleksikan nihilnya perspektif hak anak dalam tata kelola pendidikan. Padahal, dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, negara berkewajiban melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk di lingkungan pendidikan.
Kondisi ini diperparah oleh ketidaksiapan sebagian besar satuan pendidikan dalam menyediakan layanan psikososial yang memadai. Keberadaan guru Bimbingan dan Konseling sering kali masih dianggap sebagai pelengkap administratif, bukan bagian integral dari ekosistem perlindungan peserta didik. Dalam praktiknya, fungsi konselor di sekolah masih terbatas pada penanganan pelanggaran disiplin atau konseling karier, belum optimal dalam mengidentifikasi risiko kekerasan psikis dan sosial yang dialami siswa. Ketika peserta didik mengalami tekanan mental akibat perundungan, sangat sedikit dari mereka yang tahu harus melapor kepada siapa, dan bagaimana. Lebih ironis lagi, pelaporan kerap kali dianggap sebagai bentuk kelemahan atau pengaduan yang justru memperparah stigma.
Sistem pelaporan dan penanganan kasus perundungan di sekolah belum memiliki standar operasional prosedur yang baku, transparan, dan berpihak pada korban. Dalam banyak kasus, keberpihakan institusi cenderung terdistorsi oleh relasi kuasa, terutama jika pelaku berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh sosial atau ekonomi. Sikap kompromistis semacam ini bukan hanya menghambat proses keadilan, tetapi juga memperkuat impunitas terhadap pelaku dan menormalisasi kekerasan dalam kultur sekolah. Akibatnya, peserta didik kehilangan kepercayaan terhadap sistem, dan merasa terisolasi dalam penderitaannya.
Dalam konteks ini, penting untuk menyoroti minimnya literasi emosional dan empatik di kalangan peserta didik dan pendidik. Pendidikan Indonesia belum secara serius mengintegrasikan pembelajaran mengenai kecerdasan sosial dan emosional (Social and Emotional Learning/SEL) ke dalam kurikulum inti. Padahal, studi-studi mutakhir menunjukkan bahwa kemampuan mengenali emosi diri, memahami perspektif orang lain, dan membangun relasi positif memiliki korelasi yang kuat dengan kesejahteraan psikologis dan kemampuan beradaptasi sosial. Absennya pelatihan semacam ini menyebabkan peserta didik tumbuh dalam ekosistem yang miskin empati dan toleransi, sehingga perbedaan sering kali dipersepsi sebagai ancaman alih-alih kekayaan.
BACA JUGA:Transformasi Ekonomi Bangka Belitung
BACA JUGA:MSP, Babel Dikeruk, Batam Dapat Untung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: