DARI STOCKHOLM 1972 HINGGA RAJA AMPAT (BUMI MASIH SATU)

DARI STOCKHOLM 1972 HINGGA RAJA AMPAT (BUMI MASIH SATU)

Saifuddin --Foto: ist

Selain itu Raja Ampat, secara geografis berada di sebuah kabupaten yang terletak di Timur Indonesia Raja Ampat ini sendiri. Bila berbicara mengenai kekayaan laut Raja Ampat, tidak perlu diragukan lagi bahwa kabupaten yang 85% daerahnya berupa perairan ini sangat kaya. Terdapat sekitar 559 spesies karang keras, 699 moluska, 1346 jenis ikan dengan 828 jenis merupakan spesies ikan karang serta lamun dan rumput laut yang belum terlalu dieksplorasi. Terumbu karangnya pun dalam keadaan baik sehingga tak heran bila kawasan Raja Ampat ini masuk dalam coral triangle.

Masyarakat Raja Ampat mengenal budaya “Sasi”. Budaya Sasi ini sebenarnya berasal dari Maluku dan turun temurun sampai ke berbagai daerah di Indonesia termasuk Raja Ampat. Sasi ini merupakan suatu cara konservasi tradisional untuk melindungi keanekaragaman hayati. Keberhasilan konservasi di Raja Ampat tidak lepas dari peran dan pengaruh sasi yang cukup kuat di kawasan ini.

Sasi menjadi bagian yang sangat penting dalam peningkatan populasi sumberdaya alam hayati, dan sangat membantu masyarakat Raja Ampat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Sasi berpatokan pada pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional serta larangan panen pada sumberdaya darat maupun laut.

Tidak hanya sasi, dikenal juga “Balobe”, cara unik masyarakat di Distrik Teluk Mayalibit Kabupaten Raja Ampat dalam menangkap ikan kembung jantan. Balobe dapat dilakukan saat bulan gelap, dengan mengandalkan cahaya petromaks yang diletakkan di ”kepala” sampan untuk menstimulus ikan naik ke permukaan dan mengikuti arah sampan, sampan diarahkan ke tepian pantai yang telah dibuatkan tanggul menggunakan batu. 

Dengan kekuatan budaya tersebut, maka Raja Ampat tidak cukup mengandung potensi sumber daya alam, tetapi juga akar sejarah dan budaya menjadi perekat utama untuk sampai kepada dunia internasional. Di tengah maraknya penambangan nikel di wilayah Raja Ampat memunculkan berbagai aksi dan reaksi komponen masyarakat. Berbagai spekulasi pun muncul, dipermukaan. 

BACA JUGA:MENJERNIHKAN KALDU TIMAH BANGKA BELITUNG

BACA JUGA:Pentingnya Kata Sandi Kuat: Tameng Utama di Era Keuangan Digital

Dalam studi geneologi kapitalisme yang pernah ditulis oleh Dede Mulyanto yang menggaris bawahi “Antropologi dan Ekonomi Politik, Pranata Eksploitasi kapitalistik” secara gamblang ditegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan memunculkan berbagai problematik, diantaranya; kerusakan lingkungan, kemiskinan kultural karena menggeser penghidupan habitus manusia, flora dan fauna, serta lebih berorientasi pada market oriented ketimbang daripada humanisme oriented. 

Oleh karena itu, Save Raja Ampat bukanlah slogan belaka, tetapi ini wujud kepedulian terhadap potensi yang tak terbaharukan untuk terus dipelihara dan dijaga sebagai warisan leluhur dan adat budaya yang kemudian menjelma menjadi destinasi pariwisata yang mendunia. Jangan karena keserakahan manusia dan korporasi sehingga melegalkan penghancuran manusia dengan cara merusak alam. 

Ingat, dari Stockholm, BUMI MASIH SATU, dan raja Ampat adalah Bumi yang Masih Satu itu. Menjaga Raja Ampat, juga menjaga Indonesia. Demikian juga dengan daerah yang lain, bila pertambangan hanya sekedar eksploitasi maka di situ terjadi pembunuhan massal dari semua habitus lingkungan hidup yang ada. Sehingga ketika pembunuhan massal itu terjadi maka apa artinya eksistensi BUMI. Dan bila dirusak tentu tidak ada lagi bumi yang lain—kecuali memang BUMI tetap satu. 

Semoga bermanfaat.

BACA JUGA:Efek Domino Rakusnya Kapitalis Terhadap Kemakmuran Warga Kepulauan Bangka

BACA JUGA:Royalti Timah untuk TPP ASN: Pengkhianatan Seperempat Abad Perjuangan Bangka Belitung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: