Royalti Timah untuk TPP ASN: Pengkhianatan Seperempat Abad Perjuangan Bangka Belitung

Ujang Supriyanto --Foto: ist
Oleh: Ujang Supriyanto
Tokoh Muda Presidium Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
___________________________________________
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tak lahir dari kemurahan hati pusat. Ia lahir dari tetes keringat perjuangan rakyat pesisir, dari mimpi anak muda, dari jerit nelayan, dan dari semangat kolektif masyarakat Bangka Belitung yang mendambakan kendali atas tanah dan kekayaan alamnya sendiri.
Namun, menjelang usia ke-25 tahun provinsi ini berdiri, kita dipaksa menyaksikan kenyataan yang pahit dan ironis. Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengalokasikan dana royalti timah sebesar Rp106 miliar bukan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, bukan untuk masyarakat lingkar tambang, bukan untuk pendidikan, pertanian, atau nelayan—melainkan untuk Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN Pemprov.
Sebagai salah satu yang terlibat langsung dalam barisan muda perjuangan pemekaran provinsi ini, saya merasa kebijakan ini tidak hanya keliru, tapi juga mengkhianati cita-cita sejarah. Ini adalah bentuk nyata dari pembelokan arah perjuangan rakyat menjadi kepentingan birokrasi.
BACA JUGA:BUMDes dan Ekonomi Lokal: Kunci Ketahanan Fiskal Daerah
BACA JUGA:2025: Tahun Ketika Keajaiban Ekonomi Indonesia Diuji
Menginjak-injak Prinsip Dasar Pemekaran
Tujuan utama pemekaran Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah agar hasil tambang dan kekayaan alam daerah ini tidak lagi terserap ke luar, melainkan kembali ke tanahnya sendiri dan dinikmati oleh rakyatnya sendiri.
Tapi kenyataannya, ketika royalti timah turun, justru bukan rakyat yang menerima manfaat, melainkan ASN yang sudah digaji negara setiap bulan.
Apakah pemerintah lupa bahwa di balik setiap ton timah, ada tanah petani yang rusak? Ada laut nelayan yang tercemar? Ada desa-desa yang hancur karena tambang inkonvensional? Mengapa ketika uangnya turun, rakyat tidak dianggap?
Bertentangan dengan UUD 1945
Konstitusi Republik ini jelas menyatakan bahwa kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka, jika kebijakan ini tetap dijalankan, Pemprov Babel dengan sadar melanggar semangat konstitusional.
Royalti adalah kompensasi atas eksploitasi. Maka kompensasi itu harus dialokasikan untuk memperbaiki apa yang rusak: lingkungan, sosial ekonomi rakyat, dan pembangunan wilayah terdampak.
BACA JUGA:QRIS Solusi Tingkatkan Penerimaan Daerah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: