DARI STOCKHOLM 1972 HINGGA RAJA AMPAT (BUMI MASIH SATU)

DARI STOCKHOLM 1972 HINGGA RAJA AMPAT (BUMI MASIH SATU)

Saifuddin --Foto: ist

Pada tahun 1972, Apollo 17 mengambil foto berwarna pertama Bumi. Foto itu memperlihatkan dunia kita sebagai kelereng biru yang berlatar belakang hamparan hitam. Kita bersama-sama memahami bahwa Bumi kita yang satu ini adalah sistem yang tertutup, terbatas, dan satu-satunya rumah kita. Merupakan tanggung jawab kita untuk merawat kelereng biru kita [atau Satu Bumi] “sebagai mekanisme yang utuh dan rumit yang mendukung jaringan kehidupan yang saling berinteraksi dan terhubung yang sangat rumit” (Engfeldt, 2009, hlm.26). 

Selama dekade sebelumnya, serangkaian bencana lingkungan memicu kesadaran dan perhatian tentang lingkungan alam. Tujuh ratus lima puluh orang tewas dalam kabut “sup kacang” yang disebabkan oleh polusi udara di London pada tahun 1962. Tumpukan limbah tambang batu bara runtuh pada tahun 1966, mengubur 116 anak-anak dan 28 orang dewasa di Aberfan, Wales. Pada tahun 1967, kapal tanker minyak Torrey Canyon menumpahkan jutaan liter minyak di Selat Inggris. 

Pada tahun 1969, sebuah kereta api yang lewat tanpa sengaja memicu serpihan-serpihan puing yang mengapung dan terkena tumpahan minyak di Sungai Cuyahoga, Ohio. Tumpahan minyak di lepas pantai Santa Barbara, California, menewaskan sekitar 3.500 burung laut. Eropa dikejutkan oleh keracunan ikan massal di Sungai Rhine. Kekeringan melanda Sahel, menyebabkan kelaparan di antara sebagian orang termiskin di dunia. Jepang berduka atas 2.265 korban keracunan merkuri yang disebabkan oleh perusahaan kimia yang melepaskan racun tersebut ke Teluk Minamata. Nama tempat itu kemudian digunakan untuk menyebut penyakit Minamata, penyakit saraf yang disebabkan oleh keracunan merkuri.

BACA JUGA:Profesi Akuntansi Naik Kelas, Kini Jadi Pengawal Keberlanjutan

BACA JUGA:Pulau Tujuh Bukan Sekadar Gugusan Karang, Dukung Langkah Gubernur Babel ke Mahkamah Konstitusi

Silent Spring, yang ditulis oleh Rachel Carson, menangkap momen publik dan ilmiah. Carson mengungkap dampak buruk pestisida dan zat kimia lainnya terhadap manusia dan lingkungan. Para ilmuwan mulai mempelajari dampak negatif dunia industri terhadap lingkungan dan masyarakat. Para ilmuwan dan pemimpin negara berkembang mengecam eksploitasi bahan baku yang terus berlanjut di negara mereka oleh mantan penjajah mereka.

Di tengah Perang Dingin dan banyak negara berjuang untuk membebaskan diri dari kolonialisme, jelas bahwa respons kolektif diperlukan. Beberapa pemerintah menyerukan perluasan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke bidang lingkungan. Perjanjian dasar PBB, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertujuan untuk meningkatkan kondisi kehidupan semua orang, dan mempromosikan perdamaian, stabilitas, pembangunan ekonomi, dan hak asasi manusia. Namun, perjanjian tersebut tidak membahas masalah lingkungan. Pada akhirnya, “inisiatif sebuah negara kecil di Skandinavia yang meletakkan dasar bagi kerja sama internasional dalam masalah lingkungan” (Grieger, 2012).

Isu lingkungan tidak pernah bebas dari perselisihan dan pertentangan. Perdebatan ini membentuk Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup Manusia tahun 1972 dan, pada gilirannya, pengelolaan lingkungan selama 50 tahun berikutnya. Gagasan-gagasan utama, seperti pembangunan berkelanjutan, dan lembaga-lembaga, seperti Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), ada saat ini karena diskusi-diskusi yang dipicu oleh konferensi tersebut. Konferensi Stockholm menunjukkan bahwa, dengan kepemimpinan dan mendengarkan keprihatinan semua pihak, kerja sama dalam isu-isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan adalah mungkin.

Pada akhir tahun 1960-an, Swedia menjadi negara menengah yang disegani, mampu menantang Amerika Serikat dan Uni Soviet serta status quo Perang Dingin mereka. Para diplomat Swedia mencoba mengalihkan agenda global ke arah pembangunan internasional dan perlindungan lingkungan (Grieger, 2012). Pada tahun 1967, Swedia mengusulkan untuk menyelenggarakan konferensi PBB tentang lingkungan manusia, dengan alasan bahwa waktunya sudah tepat untuk diskusi serius dan substantif di tingkat global tentang masalah lingkungan. Swedia bahkan menyarankan bahwa ini bisa menjadi isu yang konstruktif untuk kerja sama global di tengah suasana Perang Dingin yang menegangkan (Engfeldt, 2009, hlm.34).

Tema “Bumi Masih Satu” dapat ditafsirkan, bahwa isu lingkungan bukan hanya soal-soal locally (isu-isu lokal), tetapi perkara lingkungan adalah soal kemanusiaan yang bersifat universal. bahwa bumi masih satu sekaligus menegasikan kalau merawat  lingkungan hidup berarti sudah mengambil peran menjaga bumi dari kerusakan. Dari 28 rekomendasi dari Konferensi Stockholm 1972 isu lingkungan menjadi prioritas utama. 

BACA JUGA:QRIS Antarnegara: Menembus Batas, Membangun Jembatan Ekonomi

BACA JUGA:Cyber Crime: Tantangan Hukum Chip Domino di Era Digital

Bagaimana isu lingkungan di Indonesia

Mem-breakdown dari sejarah konferensi lingkungan hidup pertama di Stockholm-Swedia tahun 1972 tentu Indonesia mengambil peran yang cukup strategis ebagai bagian dari negara berkembang. Potensi sumber daya alam Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan kandungan mineral seperti batu bara, nikel, minyak. emas, bauksit, hutan, biodiversity, flora dan fauna, menjadi amgnet sekaligus atmosfer bagi Indonesia untuk dunia. Cadangan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia menjadi “medan perang” pangsa pasar global terkait kebutuhan dunia akan energi yang terbarukan. 

Indonesia dianggap sebagai negara yang memiliki cadangan untuk kebutuhan energi dunia, sehingga berbagai persoalan lingkungan kemudian menyeruak dipermukaan. Pembalakan hutan untuk perkebunan sawit, perumahan, pertambangan menjadi isu yang tak pernah selesai disuarakan oleh kelompok civil society (aktivis lingkungan). Kerusakan lingkungan di bangka Belitung beberapa tahun yang lalu yang disuarakan oleh aktivis lingkungan, menuai kriminalisasi. Kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal di daratan Kalimantan juga mengalami kerusakan yang parah. Laut, sungai, danau tempat ikan bermain dengan indahnya kembali tercemari karena limbah industri baik limbah pertambangan maupun perkebunan. Bahkan habitus laut pun terkesan diusir dari tempatnya, seperti pagar laut di tangerang beberapa waktu yang lalu. Dan demikian banyak daftar kerusakan lingkungan yang pernah terjadi dan akan terjadi. 

Merawat Raja Ampat, berarti menjaga Indonesia

Hari ini tentu kita semua kaget dan tidak percaya, akibat keberadaan tambang nikel di Raja Ampat yang kita kenal dengan istilah surga terakhir. Raja Ampat yang dikenal juga sebagai kawasan pariwisata dan geopark yang telah diterimanya dari UNESCO. Raja Ampat tentu bukan hanya sekedar destinasi wisata yang mendunia saat ini. tetapi raja Ampat memiliki deskripsi historis, Raja Ampat yang berasal dari bahasa Indonesia yang berarti “Empat Raja” nama tersebut berasal dari legenda lokal yang menceritakan tentang empat raja yang muncul dari telur dan memerintah empat pulau di kawasan tersebut seperti pulau; Walgeo, Salawati, Misool dan Batanta. Dan ini sekaligus mencerminkan struktur sosial dan politik di pulau tersebut. Tetapi juga memiliki makna simbolik yang terkait dengan sejarah dan budaya masyarakat adat. Dengan story telling yang dimiliki Raja Ampat menjadikan daya tarik tersendiri sebagai destinasi budaya dan pariwisata di Indonesia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: