MENUJU OTORITARIANISME

MENUJU OTORITARIANISME

Saifuddin --Foto: ist

BACA JUGA:Tips Perencanaan Keuangan dan Penganggaran Bulan Ramadan

Demokrasi memang meniscayakan setiap individu secara leluasa untuk menuliskan setiap peristiwa publik tanpa adanya mekanisme kontrol dari penguasa, serta memberi kebebasan berserikat dalam lingkup kecil maupun besar bagi masyarakat. Namun, di sisi lain demokrasi tidak menjamin hal yang disebutkan tadi berjalan semestinya serta bebas dari tirani penguasa dalam pusparagam bentuknya. 

Dengan demikian kebebasan yang dipunyai demokrasi menjadikannya sebagai pisau bermata dua yang mungkin bisa menyayatkan sejarah tiran Timothy Snyder melalui karyanya On Tyranny (Tentang Tirani) ini menyuguhkan pelajaran ihwal cara antisipasi dari kebijakan menuju kuasa-kuasa tirani yang sangat memungkinkan terjadi di ruang demokrasi. Profesor dari Yale University ini membawa pikiran dan nalar kita untuk melihat ke belakang, pada tahun-tahun demokrasi tersabotase oleh otoritarianisme. Sejarah akan mengungkapkan momen terburuk dalam wajah demokrasi yang bunuh oleh politik kapitalisme yang membeli hukum dan politik untuk melanggengkan kekuasaan. 

Memahami satu momen adalah melihat kemungkinan turut menciptakan momen berikutnya. Hari ini kita hidup di lingkungan modern, kompleks, serta rekursif yang mengandung banyak feedback loop (suatu peristiwa disebabkan oleh peristiwa sebelumnya), yang mengakibatkan kemungkinan akan apa saja bisa terjadi, termasuk berkuasanya otoritarianisme dan matinya demokrasi---sebagaimana yang di tulis oleh Daniel Zilbatt dalam bukunya “How Democracie die” bagaimana demokrasi mati. 

 BACA JUGA:PEREMPUAN, POLITIK DALAM ETALASE PATRIARKI

BACA JUGA:Metaverse dan Tantangan Bagi Generasi Alpha

Dengan memahami narasi sejarah tentang otoritarianisme memungkinkan kita untuk bisa belajar dan menghindarinya. Pada 1938, ketika Hitler berkuasa, ia mengancam akan menyerbu negara tetangga, Austria. Hal ini berakibat menyerahnya kanselir Austria dan kepatuhan warganya untuk mengantisipasi, menentukan nasib orang-orang Yahudi Austria. Awalnya, kepatuhan untuk mengantisipasi berarti menyesuaikan diri secara naluriah kepada situasi baru, namun hal ini sia-sia dan tetap terjadi pemusnahan besar-besaran atas orang-orang Yahudi tersebut serta semakin langgengnya kuasa otoritanisme Nazi di Jerman dan negara sekitarnya. 

Stanley Milgram, seorang ahli psikologi Amerika mengungkapkan, "Orang sangat mudah menerima aturan baru dari latar baru. Orang ternyata bersedia menyakiti dan membunuh orang lain demi suatu tujuan baru bila diperintahkan demikian oleh otoritas baru. Dari situ Snyder memberi kita satu pelajaran penting, "Jangan patuh begitu saja, sebagian besar kekuasaan otoriterianisme diberikan dengan gratis. Pada zaman seperti itu, orang-orang berpikir mengenai apa yang akan diinginkan pemerintah yang lebih represif, lalu menawarkan diri tanpa diminta.

Seorang warga yang menyesuaikan diri dengan demikian berarti mengajari kekuasaan mengenai apa yang bisa dilakukan." "Kehidupan itu politis, bukan karena dunia peduli mengenai yang kita rasa, melainkan karena dunia bereaksi terhadap apa yang anda lakukan. Setiap pilihan, baik sikap maupun kepercayaan kita sangat mungkin berpengaruh untuk masa depan. Pada masa kekuasaan Stalin, penggunaan simbol seperti petani kaya yang digambarkan sebagai babi, atau pada masa kekuasaan Hitler yang memberlakukan label "Yahudi" dan "Arya" untuk warganya berujung pada maut. 

Sehingga beberapa warga awalnya menerima semua (simbol kebencian) itu sebagai tanda kesetiaan, namun ketika kesadaran itu sudah menjadi kesadaran kolektif dan ranah publik dipenuhi dengan simbol yang sama, perlawanan menjadi terlupakan serta melanggengkan kekuasaan. "dengan menerima ritual, menerima penampilan sebagai realitas, menerima aturan permainan yang ada, sehingga memungkinkan permainan berlangsung dan berlanjut. Dan dibelahan negara dunia ketiga seperti Indonesia mengalami hal serupa dengan menerima ritual politik lima tahunan dalam kontkes pemilihan umum—dengan menodai demokrasi dengan cara-cara kotor seperti politik uang, kecurangan dalam pemilu, dan berbagai praktek politik koruptif yang dibungkus dalam lebel demokrasi. 

BACA JUGA:Bulan Ramadan, Belajar Lancar Pahala Mengalir

BACA JUGA:Mencegah Perilaku Bullying di Sekolah

Namun Timothy Snyder juga menyampaikan, "Kita tunduk kepada tirani ketika kita menyangkal perbedaan antara apa yang ingin kita dengar dengan apa yang sebenarnya dilakukan”. Penyangkalan atas realitas seta melanggengkannya bias konfirmasi itu mungkin saja terasa menyenangkan, tetapi hasilnya adalah kemusnahan kita sebagai individu. Dalam lingkup negeri ini, belakangan kita sering melihat bagaimana simbol-simbol kebencian kita biarkan dan menjadi hal lumrah di setiap perhelatan politik, serta munculnya media alternatif dadakan yang validitas informasinya tak dapat dipertanggungjawabkan sudah menjadi konsumsi sehari-hari. Perselisihan secara politik dalam ruang demokrasi adalah satu bentuk “mendesain prilaku politik agar tetap terlihat baik” walau sesungguhnya itu sebuah kejahatan dalam politik yang mengatasnamakan demokrasi. 

Karena itu, demokrasi akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja, dan sedang bergerak menuju otoriatarianisme. Dan pada akhirnya kita akan dihadapkan pada kepatuhan atau perlawanan. Eric Fromm ; dalam sebuah pandangan tentang kepatuhan, ia mengungkapkan “Bahwa sejarah ummat manusia lahir dari ketidakpatuhan, dan boleh jadi sejarah ummat manusia akan berakhir karena kepatuhan”. Dan dititik ini, kita akan dihadapkan pada pilihan yang krusial untuk memilih antara “ketidakpatuhan terhadap demokrasi, dan kepatuhan hepada otoritarianisme”.

Semoga bermanfaat.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: