KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Tiga)

 KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Tiga)

Akhmad Elvian--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan

 

PEMINDAHAN kampung kampung ke tepi jalan jalan baru yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda tidak mengubah kebiasaan dan posisi lokasi ladang-ladang Padi (tijdelijke nederzettingen met droge rijstvelden) atau pemukiman sementara dengan penanaman ladang kering milik penduduk. 

----------------

ORANG Darat pribumi Bangka masih tetap membuka ladang padi atau ume di pedalaman hutan yang jauh dari pemukiman karena ketentuan untuk lokasi ladang sudah ditentukan oleh kepala kepala rakyat yaitu pada rimbak cadangan ladang atau ume dan tidak mengganggu kawasan dan fungsi hutan (rimbak) lainnya. Pada bagian belakang rumah penduduk biasanya ditanam juga Pohon Kabung (Aren), Pinang, Bambu dan aneka macam pohon buah buahan (herkenbare boom). Pemerintah Keresidenan Bangka juga mewajibkan setiap rumah penduduk menanap Dua Pohon Kelapa. Biasanya penduduk mengerjakan ladang dan tinggal di pondok yang disebut pondok ume atau memarung selama beberapa hari. Penduduk biasanya pulang pada hari Jumat untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat berjamaah di kampung. Situasi kampung juga akan ramai bila perayaan hari panen padi, panen sahang atau pada hari besar keagamaan dan acara pernikahan yang biasanya dilakukan setelah selesai musim panen Padi atau panen sahang/lada.

BACA JUGA:KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Satu)

Pembentukan kampung-kampung bentukan Kolonial Belanda terus berkembang dan pada tahun 1896 tercatat sekitar 2.000 rumah terbangun dan terkonsentrasi di kiri dan kanan jalan pada perkampungan-perkampungan yang tersebar di pulau Bangka termasuk di Distrik Pangkalpinang. Perkampungan dan jalan bentukan Belanda merupakan prototipe kampung-kampung dan jalan-jalan yang ada di pulau Bangka hingga saat ini. Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda setelah perang Bangka menyebabkan perubahan yang mendasar pagi penduduk pulau Bangka yaitu terjadinya proses interaksi, sosialisasi, asimilasi dan akulturasi antar etnic group yang ada dan kemudian melebur dalam satu identitas (smelt port society) sehingga membentuk orang Bangka seperti yang kita kenal sekarang. Pemerintah Kolonial Belanda merasa berhasil dalam penataan pulau Bangka setelah perang Bangka. Residen Bangka dalam laporannya pada Tahun 1853 dengan bangga menyebutkan pulau Bangka sebagai salah satu keresidenan yang paling teratur (regelmatig) di koloni Belanda

BACA JUGA:KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Dua)

Dalam Schets-Taalkaart atau Peta Bahasa dari Residen Bangka terbitan Tahun 1889 Masehi yang disusun oleh K.F. Holle, seorang penasihat kehormatan penduduk pribumi, melalui data yang diberikan oleh pejabat Administrasi Pemerintahan Dalam Negeri, bekerjasama dengan Biro Topografi di Batavia (Biro didirikan tanggal 25 Februari 1864 Masehi), dinyatakan Administratieve Indeeling van de Districten der Residentie Bangka dengan  10 districten dan 31 underdistricten. Penambahan satu distrik di Keresidenan Bangka dengan adanya pemisahan pulau Lepar dan pulau Leat serta pulau-pulau kecil disekitarnya dari distrik Toboali menjadi distrik Kepulauan Lepar (Lepar Eilanden Districten) pada tahun 1855 Masehi. Dalam Schets-Taalkaart atau Peta Bahasa tersebut, Underdistrik di distrik Pangkalpinang juga diubah yang awalnya terdiri atas underdistrik Pankalpinang, underdistrik Bukit, underdistrik Mundobarat, underdistrik Mundotimur dan underdistrik Panagan menjadi underdistrik Pangkal Pinang, underdistrik Mendo Barat (yang penduduknya banyak menggunakan Bangka Maleisch dialecten atau dialek Melayu Bangka), underdistrik Boekit dan underdistrik Penagan (yang penduduknya banyak menggunakan Daratsche dialecten atau dialek orang Darat). Tampaknya pada Tahun 1889 Masehi kampung-kampung di underdistrik Mendo Timur sudah disatukan atau digabung dengan underdistrik Pangkalpinang atau underdistrik terdekat lainnya di distrik Pangkalpinang. 

BACA JUGA:Ngembaruk

Kondisi kampung kampung di distrik Pangkalpinang pada penghujung abad 19 Masehi salahsatunya dapat dipelajari dari keberadaan orang Cina di Pangkalpinang. Kedatangan orang-orang Cina ke pulau Bangka sejak masa Kesultanan Palembang Darussalam hingga masa kekuasaan bangsa asing kulit putih menandai masa atau priode chineesche di pulau Bangka termasuk di Pangkalpinang. Dari beberapa kampung, beberapa makam tua dan kompleks pemakaman, beberapa kelenteng serta rumah orang Cina di Pangkalpinang dapat diketahui, bahwa keberadaan pemukiman orang Cina menyebar di beberapa tempat di Pangkalpinang. Makam-makam kuno tersebut misalnya yang terletak di sisi Timur Jalan Demang Singayudha (dulu masyarakat menyebutnya dengan Gang Duren) Bukit Besar. Posisi makam saat ini berada di lokasi pemukiman padat penduduk, dengan kondisi makam yang cukup terpelihara. Pada kawasan ini terdapat makam Lay Fong Joe dan beberapa makam keluarganya. Makam Lay Fong Joe diperkirakan diperbaiki pada Tahun 1897 Masehi oleh puteranya yang bernama Lay Nam Sen. Dalam Regeeringalmanak voor Nederlandsch-Indie, 1893 di keresidenan Bangka (Banka en onderhirigheden) Lay Nam Sen diangkat sebagai Kapittien/Luitenant der Chineezen untuk Afdeeling Koba (23 Juni 1802). Salah satu peninggalan Marga Lay yang masih ada hingga saat ini adalah rumah Kapiten Lay di kampung Katak yang berarsitektur perpaduan antara arsitektur Hakka dengan arsitektur Melayu. 

BACA JUGA:Aik Mangkok

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: