BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Tujuh)

BENTENG PENUTUK   DI PULAU LEPAR  (Bagian Tujuh)

Akhmad Elvian--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

PERAMPOKAN oleh Bajak laut atau Perampok laut terhadap pulau Bangka masih terus berlanjut, dalam berita pada Koran Belanda, “Kolonien” dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant,  tanggal 30 Juni 1847, lembar ke-1, bahwa pada Tanggal 2 April 1847, terdapat  12  sampan atau perahu yang mengangkut 100 perompak di kampung Klabat Laut (Jebus) berhasil mendarat, akan  tetapi para perompak hanya berhasil menangkap Seorang Cina. 

-------------------

SAAT itu sampan yang dikirim dan kapal jelajah Pemerintah Nomor 56 tidak berhasil menyita perahu perompak, sementara itu aktivitas Tiga kapal jelajah lainnya yang bertemu di sekitar Teluk Klabat di Distrik Belinjoe masih belum diketahui laporannya. Pada  Tanggal 4 April 1847, kapal jelajah Nomor 56, berada di dekat Tanjung Layang (Sungai Liat) mengejar dan menembaki Empat perahu perompak. Akhirnya pada Tanggal 9 April 1847, Sembilan perahu milik Depati Belitung bersama Empat perompak yang berhasil ditangkapnya tiba di Muntok. Ketika semua usaha perlawanan terhadap perompak berlangsung, tidak ada akibat yang ditimbulkannya,  karena kecepatan dan kegesitan bergerak para perompak. Namun dengan keberaniannya itu, mereka terbentur oleh tindakan yang diambil secara berani dan berkat kegigihan para juragan berbagai kapal jelajah yang ditempatkan di sepanjang pantai.

BACA JUGA: BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Enam)

 

Tampaknya aktivitas dan gerakan para perompak laut mulai menjauhi perairan Pulau Bangka, Pulau Lepar dan Pulau Belitung. Aktifitas perampokan kemudian meluas sampai ke perairan Kalimantan (Borneo) dan bahkan sampai ke Pulau Madura. Untuk mengamankan wilayah Selat Karimata, Selat Gelasa, dan Laut Jawa, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan kapal kapal Uap militer yang cukup canggih pada masa itu. Kapal uap Merapi dan kapal Windhond dan Aruba dikirim ke perairan antara Borneo dan Bangka, dengan tujuan menjelajahinya; sementara kapal Bromo berlayar ke Kepulauan Kangean untuk mengejar para perompak laut yang juga muncul di sana dan di dekat pulau Sapudi dan Geli Labak (dekat pantai Pulau Madura). Mereka telah menculik banyak orang. Usaha terus menerus dilakukan oleh para perompak untuk mengganggu kapal uap besi Onrust. Sementara itu, kapal uap Borneo juga mulai diserang. Pada Tanggal 20 April 1847 kapal Mercator yang membawa material juga diserang oleh para perompak. 

BACA JUGA:BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Lima)

Untuk merampok, para bajak laut atau perompak laut biasanya menggunakan perahu yang bermacam-macam bentuknya. Tetapi dalam laporan kolonial selalu disebut Tiga jenis perahu, yaitu penjajap, lanong dan kakap. Perahu penjajap berukuran sedang, mempunyai 20 sampai 30 pendayung yang duduk di atas bangku kecil beralaskan tikar. Perahu dilengkapi dengan beberapa meriam dan lela. Perahu lanong berukuran 60 sampai 70 kaki, perahu jenis lanong ini banyak digunakan untuk mengangkut orang dan barang daripada untuk bertempur. Sedangkan perahu kakap adalah perahu kecil sekitar 20 sampai 25 kaki dengan awak sekitar 8 sampai 10 orang. Perahu kakap digunakan sebagai perahu perintis atau pengintai. Jenis perahu ini tidak pernah berlayar sendirian, selamanya ada perahu besar yang menemaninya. Jadi apabila menjumpai perahu semacam ini, pasti di perairan sekitarnya ada penjajap atau lanong yang menunggu di tempat persembunyian (Lapian, 2009:152,153). Jenis-jenis perahu inilah yang kebanyakan merampok dan merampas Timah, harta benda serta merampas penduduk di kampung-kampung dan batin yang umumnya terletak di dekat tepian sungai dan pesisir pantai di Pulau Bangka, Belitung dan Kepulauan Lepar. 

BACA JUGA:BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Empat)

Perampokan oleh bajak laut memang sangat menakutkan bagi penduduk, apalagi tujuan perampokan tersebut tidak hanya merampok harta benda dan Timah hasil penambangan, akan tetapi manusia juga mereka rampok untuk dijadikan budak yang kemudian diperjual belikan, dipertukarkan, disewa atau dipinjam, disiksa dan menjadi pekerja paksa oleh majikannya. Kondisi para budak yang dirampok bajak laut seperti digambarkan oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi: “...orang yang empunya hamba-hamba itu kelakuannya seperti binatang yang tiada bermalu dan tidak takut kepada Allah...” (Abdullah, 1966:224,225). Menjadi budak menyebabkan seseorang tidak merdeka dan berada dalam stratifikasi sosial yang paling rendah. Umumnya penduduk pulau Bangka, pulau Belitung dan pulau Lepar untuk menghindari perampokan bajak laut menyingkir dari kampung-kampung mereka di pesisir dan tepian sungai ke wilayah pedalaman di dalam rimba dan hidup dalam kesengsaraan, sementara beberapa orang yang berani bersama dengan kepala rakyatnya ada yang melawan bajak laut atau perompak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: