BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Enam)

 BENTENG PENUTUK   DI PULAU LEPAR  (Bagian Enam)

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

DALAM berita pada “Kolonien” di Nieuwe Rotterdamsche Courant,  30 Juli 1846, lembar ke-2, selanjutnya dinyatakan, perompakan yang dilakukan oleh Panglima Dapan, kemudian disusul dengan perompakan lainnya.

---------------

TERDAPAT Sembilan kapal perompak Solok yang kemudian bertambah jumlahnya menjadi Empat belas, menunjukkan keberanian untuk berlabuh di ibukota distrik Bangka di Kota Muntok. Residen Bangka saat itu telah mengirimkan kapal pemerintah De Haai untuk melawan keempatbelas kapal perompak itu. Berhubung kapal sekoci tidak mampu untuk meringkus gerombolan perompak, kemudian dikerahkan bantuan Lima perahu jelajah dan sampan jelajah milik kepala penduduk pulau Belitung (Depati Belitung) dan Pulau Lepar (Kepala pulau Lepar Mas Agus Muhammad Assik). Juga Demang tua dari Kurauw di distrik Koba yang salah seorang warga perempuannya ditangkap oleh perompak, atas inisiatif sendiri mengirimkan Lima perahu bersenjata dengan 100 personil  untuk melawan para perompak itu. Tampaknya perompakan yang dilakukan oleh kapal perompak dari 

Solok sudah murni pada upaya mencari harta kekayaan yang ada di pulau Bangka yang menyebabkan keamanan dan kententraman masyarakat terganggu.

BACA JUGA:BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Satu)

Setelah perompakan yang dipimpin oleh Panglima Dapan berakhir, dengan hasil Panglima Dapan tetap bebas berkeliaran di perairan pulau Bangka, jumlah perompak di laut Bangka pada Tahun 1847 semakin banyak jumlahnya. Pihak pemerintah daerah di Bangka memberikan  perhatian dengan melakukan pengawasan  di mana-mana, dengan melibatkan para penduduk di darat. Para penduduk di darat maupun kapal penjelajah pemerintah di laut, saling memberikan informasi tentang gerakan para perompak ini. Dalam catatan sejarah, Depati Amir putera sulung Depati Bahrin yang berkuasa di wilayah Djeroek bersama dengan 30 orang pengikutnya, berhasil menumpas para perompak yang mengganas di perairan pulau Bangka dan memulihkan keamanan serta ketentraman rakyat (Elvian, 2012:82). Depati Amir disuruh oleh Bapaknya Depati Bahrin bersama 30 orang pengikutnya pergi ke daerah pesisir untuk memenggal kepala beberapa orang pemimpin Bajak laut yang sedang bermaharadjalela didaerah tersebut. Kepala kepala itu (Bajak laut) kemudian diserahkannya kepada Belanda (Bakar, 1969:25)

BACA JUGA: BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Dua)

Serangan Bajak Laut terhadap kawasan wilayah Bangka Selatan, pulau Belitung dan perairannya terus berlanjut, menjelang pertengahan bulan Maret 1847, perahu perompak pertama muncul di Selatan pulau Belitung. Mereka itu dikejar oleh perahu-perahu Depati Belitung. Pada Tanggal 21 Maret terjadi peristiwa yang luar biasa, karena para perompak dengan 22 perahu yang diawaki oleh 300 orang mendarat di pulau Lepar dan menyerang Benteng Penutuk. Penguasa setempat yang bernama Mas Agus Mohammad Assik yang dikenal sebagai pejabat yang setia kepada pemerintah Belanda, dengan sangat berani menangkis Tiga kali serangan perompak, sehingga memaksa mereka untuk mundur dengan kerugian yaitu Sembilan orang perompak meninggal. Kepala para perompak itu dipenggal, kemudian dikirimkan ke Toboali. Sementara itu, penduduk Lepar, sebaliknya tidak seorangpun yang terbunuh atau tertangkap. Saat menerima berita ini, 25 orang serdadu garnisun di Muntok dikirim ke Pangkal Pinang dan Koba sebagai bantuan, dengan tujuan untuk memberikan pertolongan dari sana jika diperlukan sebagai titik strategis. Setelah serangan yang begitu buruk dampaknya bagi mereka terhadap pulau Lepar, para perompak tampaknya terbagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Dalam sejarah lisan atau tutur lisan masyarakat di Penutuk pulau Lepar, perlawanan penduduk pulau Lepar dipimpin oleh Dua tokoh masyarakat yaitu  Abuk Ambuk dan Abuk Jamilah (abuk berarti kakek). Pertempuran sengit terjadi di wilayah pesisir pulau yang disebut masyarakat dengan kawasan Tanah Merah (mungkin karena banyaknya korban yang terluka dan Sembilan orang perompak laut meninggal dengan cara terpenggal, maka kawasan tanah pertempuran menjadi berwarna merah akibat genangan darah).

BACA JUGA:BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Tiga)

Selanjutnya berdasarkan Inofficieele gedeelte, dalam Javasche Courant, 28 April 1847, lembar ke-2, dinyatakan, bahwa pada Tanggal 14 Maret 1847, Empat warga Olim atau Oelin (Toboali) yang sedang dalam perjalanan ke ibukota Toboali, diserang oleh sebuah sampan yang mengangkut beberapa orang awak kapal. Akan tetapi mereka berhasil lolos dengan meninggalkan perahu dan muatannya. Pada Tanggal 23 Maret, Sembilan perahu perompak besar berkumpul di teluk Dusun (Toboali) di dekat ibukota, sementara di Dua kampung besar masing-masing telah siap 25 orang perompak. Namun akhirnya mereka segera kembali ke perahu mereka ketika melihat kampung yang lebih besar sudah dilengkapi dengan benteng. Usaha administrator untuk mencegah para perompak dengan penduduk kampung bersenjata dan beberapa anggota militer ternyata sia-sia, mereka tidak berhasil memotong laju perompak  di laut dengan perahu-perahu besar yang mereka miliki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: