BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Lima)

BENTENG PENUTUK   DI PULAU LEPAR   (Bagian Lima)

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

MAS Agoes Moehamad Assik, yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kepala Pemerintahan di Kepulauan Lepar atau Lepar Einlanden adalah masih kerabat dekat dari Kesultanan Palembang Darussalam. 

---------------

MAS Agoes Moehamad Assik adalah putra dari Raden Ahmad yang merupakan saudara dari Raden Badar, Raden Keling dan Raden Ismail. Raden Ahmad adalah anak dari Raden Praboejaya bin Adipati Paninjauan bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago bin Sultan Abdurrahman, sultan Pertama Kesultanan Palembang Darussalam. Kebijakan pengangkatan kerabat kesultanan Palembang Darussalam pada jabatan pemerintahan dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mengurangi tindak perlawanan yang dilakukan setelah penaklukan Kesultanan Palembang Darussalam oleh Belanda Tahun 1821, misalnya pemerintah Hindia Belanda mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (Tahun 1821-1823) sebagai Sultan Palembang dan berada di bawah kontrol kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dengan diberikan gaji. Kesultanan Palembang Darussalam kemudian dihapus secara resmi oleh Pemerintah Hindia Belanda. pada Tanggal 7 Oktober Tahun 1823

BACA JUGA:BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Satu)

Upaya untuk merebut kembali Pulau Bangka, Pulau Belitung dan Kepulauan Lepar dari kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda tetap berlanjut melalui gerilya laut dan perampasan terhadap kapal kapal yang berlayar di kawasan Selat Lepar, Selat Gelasa (Selat Gaspar), Selat Bangka, Selat Karimata dan perairan sekitar Pulau Belitung. Dalam Konteks penulisan sejarah Belanda (nerlandosentris) atau sejarah Eropa (eropasentris) upaya yang dilakukan oleh pejuang pejuang tradisional Pulau Bangka dan Pulau Pulau di sekitarnya melalui gerilya laut dipersepsikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Perompak Laut atau Bajak Laut. Upaya perampokan dan gangguan keamanan di laut melalui gerilya laut dan upaya dari pemerintah Hindia Belanda untuk menumpas perlawanan bersenjata dapat dipelajari dalam Utrechstche Provinciale en Stads courant,  9 Oktober 1844, lembar ke-1, bahwa pada Bulan April Tahun 1844, beberapa perahu perompak muncul di perairan Belitung. Oleh pemerintah keresidenan Bangka, tindakan segera diambil untuk melacak perampok dan jika mungkin memeranginya. Perahu pemerintah Niobe, yang mengangkut satu kesatuan infanteri dan artileri di samping dua perahu jelajah, segera dikirim dan selanjutnya perintah diberikan kepada perahu jelajah ketiga, yang mengontrol Kepulauan Lapar, untuk bergabung dengan pasukan ekspedisi dengan semua perahu pribumi yang dikumpulkan oleh kepala penduduk kepulauan ini (maksudnya oleh Mas Agoes Moehamad Assik di Pulau Lepar). Meskipun menurut berita yang diterima dari nahkoda kapal pemerintah Niobe pada tanggal 20 April 1844, dalam perjalanannya dengan gabungan kapal-kapal jelajah itu di sepanjang pantai timur Pulau Bangka, dan dari Pulau-Pulau yang terletak di sana, tidak ada perompak yang ditemui. Dengan demikian  terbukti dari keterangan yang diterima dari pihak lain, bahwa para perompak beberapa hari lalu telah menyerang kampung Ranghau (Rangau terletak di distrik Koba dan di posisi pesisir Timur Pulau Bangka), tidak jauh dari Koba, dan menangkap serta membawa pergi secara tiba-tiba beberapa nelayan pribumi dan orang Cina di sana. Sementara pemerintah kolonial tidak berhasil membebaskan mereka yang malang yang memerlukan bantuan.

BACA JUGA: BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Dua)

Selanjutnya di ibukota Keresidenan Bangka (di Mentok) beredar informasi, bahwa pada malam tanggal 16 dan 17 Februari 1844, sebuah wangkang dari Siam,  Kim Soen Gek, terdampar di pulau Sambong atau pulau Turan di celah karang, yang termasuk Kepulauan Belitung.  Para pelautnya sebanyak 34 orang telah meninggalkan kapal dalam kondisi rusak. Para pelaut itu dengan menggunakan sampan menuju pulau yang terletak di dekatnya yang bernama Sampirak.  Pada Tanggal 23 Februari, perahu mereka yang terdampar itu ditemukan oleh para nelayan dari Karimata, yang sibuk mencari ikan di dekat sungai Linggang (Belitung).  Mereka segera memberitahukan keberadaannya kepada penduduk pribumi baik yang tinggal di Karimata maupun di Belitung. Mereka juga mengabarkan kejadian itu kepada semua kapal nelayan yang sedang menangkap ikan. Mereka secara beramai-ramai berangkat menuju ke perahu yang kandas itu dengan menggunakan perahu mereka. Dalam peninjauan itu, juga terdapat  Panglima Dapan dari Lingga dan seorang ulama penyebar Islam (en eenen zendeling van tenen) Arab bernama, Said Abas, seorang petugas yang bekerja untuk mengelola perdagangan barter. (Makam Said Abas dapat ditemukan terletak di kaki bukit Penyengat, benteng Penutuk, Pulau Lepar dan pada nisan makamnya tertulis Said Abas bin Ali Al Athas dan bertarikh 1265 Hijriah. Pada lokasi makam di pesisir pantai pulau Lepar tersebut terdapat lagi 2 makam tanpa keterangan di nisannya). Selengkapnya dalam Javasch  couranten de navolgende bijzonderheden: Omniddelijk gaven zij van hunne ontdekking kennis aan andere inboorlingen, zoo van karrimata als van belliton ,die zich meds voor de vischvangst bij de zelf de rivier ophielden, en allen Stevenden daarop met hunne praauuwen naar het verongelukte vaartuig, derwaarts vergezeld wordende door zekeren Panglima Dapan ,van lingga, en eenen zendeling van tenen Arabier Said Abas genamd, die zich ,om ruilhandel te drijven destrijds al daar bevond (Utrechstche Provinciale en Stads courant, 9 Oktober 1844). 

BACA JUGA:BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Tiga)

 

Saat melewati Sampirak, mereka menemukan awak kapal yang kandas. Panglima Dapan memaksa nahkoda dari wangkang dan seorang kelasi menyertainya ke sana, dengan tujuan untuk bisa memudahkan perampokan melalui pencarian barang-barang yang masih tersisa di perahu. Setelah memenuhi perintah itu, mereka dibunuh oleh panglima Dapan dan mayatnya dilemparkan ke laut. Setelah itu perahu mengikuti penjarahan itu sebagian besar tercerai-berai. Terhadap orang-orang Cina yang masih tertinggal di Sampirak, semua hartanya dirampas, termasuk busana yang mereka kenakan. Dalam kondisi kekurangan dan menyedihkan, ketika mereka menderita akibat terjadinya perampokan di Sampirak, mereka beruntung bisa lolos dan dengan sampannya mencapai daratan Belitung. Namun di sana mereka segera bisa ditemukan jejaknya dan dengan janji akan membawa mereka ke suatu tempat di mana bangsa mereka tinggal, asalkan mereka bersedia membayar 50 real Spanyol, mereka diangkut dalam sebuah perahu dan atas hasutan panglima tersebut, di laut setelah agak jauh dari daratan Belitung, dibunuh dengan perkecualian hanya dua orang dari mereka yang berhasil lolos berenang mencapai pantai Belitung. Kedua orang ini kemudian dikirimkan oleh Depati Belitung ke Bangka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: