Demi Menjadi 'Tuan' Rela Jadi 'Pelayan'

Demi Menjadi 'Tuan' Rela Jadi 'Pelayan'

Syahril Sahidir--

POLITISI itu kadang manusia seribu muka.  Ia rela menjadi 'pelayan', demi mencapai tujuan menjadi 'Tuan'.

Oleh: Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup

"UNTUK menjadi tuan, politisi menampilkan diri seperti pelayan."  Demikian dikemukakan Charles de Gaulle, Presiden Prancis.  

Dengan pesan ini ini, berarti rakyat harus sadar jangan bandingkan antara ketika kandidat itu kampanye dengan ketika ia sudah terpilih.  

Karena jika itu yang dijadikan tolok ukur, maka semua Pemilu/Pilkada itu mengecewakan.  

Tapi, lihatlah kinerja sang calon terpilih itu, realistiskah tujuannya?  Tapi, jangan dulu menuntut hasilnya.  Karena semua butuh proses. Jika memang realistis, maka dukunglah.  Jika tidak, kritiklah.

Banyak kadang gagal paham di tengah publik yang muncul.  

''Untung saya tidak ikut memilih, kalau saya ikut, berarti saya ikut berdosa...'' Kerap komentar seperti ini muncul begitu calon terpilih dinilai mengecewakan. Padahal, bisa jadi kalaulah yang berpandangan demikian ikut memilih, bukan calon itu yang keluar sebagai pemenang.  

Ingat, dalam setiap kampanye semua calon pasti menjanjikan yang indah-indah bahkan kadang tidak realistis.  Cukuplah, jadikan soal realistis atau tidaknya ini yang dijadikan patokan dipilih atau tidak. Calon juga jangan menjanjikan yang muluk-muluk, karena kadang demi agar terpilih kerap pula menjanjikan yang tidak masuk diakal.

"Politisi itu sama saja di mana-mana. Mereka berjanji membangun jembatan bahkan di tempat yang tidak ada sungai".  Demikian dikatakan ~Nikita Khrushchev, Perdana Menteri Uni Soviet.

Para politisi mulai bermunculan.  Bahkan yang -mempolitisi-kan diri juga banyak. Persoalannya, akankah Pemilu dan Pilkada itu akan tetap semarak? Bukanlah partisipasi masyarakat semakin lama semakin menurun?  

Bagaimanapun, hal yang paling dikhawatirkan dalam menghadapi pesta demokrasi adalah  adalah, semakin menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam mengikuti pesta demokrasi yang kadang dinilai 'membosankan' itu.  

Tidak jarang karena warga sudah jenuh dengan janji-janji para kandidat yang hanya berada di laci ketika sudah terpilih.

Apakah karena rakyat yang meminta keinginannya terwujud terlalu cepat?  Atau memang sang kandidat terpilih yang ingkar janji?  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: