Menjaga Motivasi Pegawai Pemerintah Ditengah Kebijakan Efisiensi

Andi--Foto: ist
Oleh: Andi
Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Bangka Belitung
___________________________________________
Sejak awal tahun 2025, Pemerintah telah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Kebijakan ini lahir dari urgensi untuk mengelola anggaran pemerintah di tingkat pusat maupun daerah secara lebih akuntabel dan responsif terhadap dinamika ekonomi nasional maupun global. Selain itu, efisiensi anggaran tersebut juga dimaksudkan untuk mendorong percepatan pelaksanaan program prioritas pemerintah yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik, khususnya di bidang penguatan ekonomi masyarakat oleh Pemerintah Daerah.
Pemerintah daerah pada lingkup wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, telah merespon kebijakan ini melalui berbagai langkah strategis. Langkah-langkah tersebut diantaranya mencakup pembatasan terhadap Belanja Non-Prioritas seperti pengurangan kegiatan yang bersifat seremonial, pembatasan Perjalanan Dinas, pemotongan TPP (Tambahan Penghasilan Pengawai) bagi PNS, hingga penerapan skema kerja Paruh Waktu dengan konsekuensi pengurangan penghasilan bagi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Jika dilihat dari prinsip good governance, kebijakan efisiensi anggaran tersebut pada dasarnya merupakan langkah positif pemerintah yang diarahkan pada keseimbangan fiskal untuk menjamin terlaksananya program prioritas pada sektor publik. Namun di sisi lain kebijakan ini justru berpotensi menimbulkan resistensi pada level individu Pegawai/ASN. Pemotongan TPP bagi PNS dan pengurangan penghasilan bagi PPPK ini jika tidak diimbangi dengan strategi yang tepat, maka berpeluang menurunkan semangat kerja dan motivasi Pegawai. Dalam konteks jangka panjang, kondisi ini pada akhirnya dapat berkontribusi pada melemahnya kinerja birokrasi dan menurunnya kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah.
Fakta ini juga diperkuat oleh riset M. Kukuh Dharma Utama (2023) dengan judul Pengaruh Pemotongan Tunjangan Selama Masa Pandemi Covid 19 Terhadap Kinerja dengan Motivasi Sebagai Variabel Intervening di Perum LPPNPI Cabang Palembang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemotongan Tunjangan bukan sekedar persoalan finansial, tetapi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi kerja Pegawai dan berdampak serius pada penurunan kinerja pada Perum LPPNPI Cabang Palembang. Dengan kata lain, aspek finansial juga merupakan faktor yang berperan penting dalam menjaga motivasi kerja Pegawai.
Motivasi pada dasarnya merupakan faktor pendorong pada diri seseorang untuk bertindak dan melakukan sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks birokrasi, Frederick Herzberg (1959) melalui Two-Factor Theory (Motivation-Hygiene) membagi motivasi kerja pegawai menjadi dua faktor utama yaitu Faktor Higienis (motivasi ekstrinsik) dan Faktor Motivator (motivasi intrinsik). Teori tersebut menjelaskan bahwa Faktor Higienis merupakan dorongan dari luar diri pegawai untuk bekerja yang meliputi gaji dan tunjangan, fasilitas kerja, kebijakan organisasi, serta keamanan kerja. Sementara itu, Faktor Motivator merujuk pada segala dorongan yang berasal dari dalam diri seorang pegawai untuk bekerja yang mencakup prestasi, pengakuan, tanggung jawab, dan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi. Kedua faktor tersebut berperan sangat penting dalam menentukan sikap dan tindakan pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya.
BACA JUGA:Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Pulau Gelasa Ibarat Pisau Bermata Dua
BACA JUGA:Reshuffle Kabinet Prabowo: Apakah SDM Ekonomi Indonesia Sudah Siap Menghadapi Tantangan Global?
Terpenuhinya Faktor Higienis dan Faktor Motivator bagi pegawai secara akumulatif diyakini mampu meningkatkan motivasi pegawai itu sendiri sehingga lebih produktif yang tentunya dapat mendukung pelayanan publik secara optimal. Namun demikian, kondisi Pegawai Pemerintah di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini yang dihadapkan dengan situasi pemotongan penghasilan (pengurangan Faktor Higienis / motivasi ekstrinsik) dampak dari efisiensi anggaran merupakan tantangan bagi Kepala Daerah dan Pimpinan OPD dalam mengelola motivasi kerja pegawainya.
Kondisi bahwa berkurangnya Faktor Higienis seperti gaji dan tunjangan sebagai pemicu ketidakpuasan yang dapat menurunkan motivasi Pegawai sebenarnya adalah persoalan yang realistis. Pada titik ini menjadi penting bagi Pimpinan Organisasi untuk dapat mengeksplorasi faktor pendorong lainnya dari dalam diri pegawai agar tidak mengalami demotivasi. Situasi ini memperlihatkan pentingnya strategi kompensasi non-finansial dalam gagasan Herzberg tentang Faktor Motivator.
Beranjak dari pemikiran Herzberg seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara Faktor Higienis dan Faktor Motivator bagi seorang Pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya. Jika Faktor Higienis dapat terpicu oleh fasilitas dan finansial, Faktor Motivator justru muncul ketika adanya stimulus yang bersifat psikologis dan non-material.
Dalam konteks organisasi publik seperti birokrasi pemerintahan, penerapan Faktor Motivator berarti menciptakan iklim kerja yang memberikan tantangan dan peluang bagi Pegawai untuk menunjukkan kinerja terbaik dengan mengesampingkan sementara Faktor Higienisnya. Misalnya, dengan memberikan tugas yang sifatnya strategis, mengumumkan hasil kerja yang maksimal melalui forum internal secara terbuka, melibatkan Pegawai dalam perumusan kebijakan organisasi, serta memastikan ketersediaan jalur karier dan program pengembangan kompetensi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: