KEJUJURAN PEMILU DALAM SENGKETA

KEJUJURAN PEMILU DALAM SENGKETA

Saifuddin --Foto: ist

Dinamika demokrasi di Indonesia menjadi satu pembelajaran untuk kita tentang demokrasi langsung dan perwakilan. Seperti yang kita ketahui, reformasi menjadi gerbang bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan demokrasi sepenuhnya. Ditandai dengan adanya multipartai, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat serta pemilihan pemimpin langsung oleh rakyat menjadi contoh bahwa Indonesia menjalankan sistem demokrasi secara langsung pasca reformasi. Walau kenyataannya, semua itu menjadi pepesan kosong, sebab demokrasi yang dipahami sebagai kebebasan justru dengan arogansi pemerintah membungkam dengan membatasi media sosial, adanya tuduhan hoax, serta terjadinya kriminalisasi atas kelompok yang tak sependapat dengan jalan pikiran pemerintah. Padahal esensi demokrasi adalah terbukanya daya kritis dari rakyat. Dan ini ciri sebuah pemerintahan yang despotik.

Bisa dikatakan demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang ‘unik’ dimana kita mencari sebuah bentuk demokrasi yang sesuai dengan tata nilai dan sistem sosial yang ada di negara ini. Pancasila sebagai landasan negara turut memengaruhi sistem demokrasi di Indonesia dimana kita kenal sebagai demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila yang menitikberatkan pada musyawarah mufakat dijalankan pada masa Orde Baru dan lebih dikenal dengan demokrasi terpimpin. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945. 

Hajatan pemilihan legislatif (pileg) hingga pemilihan presiden (pilpres) yang digelar tahun 2024 untuk beberapa waktu yang lalu secara langsung cukup menjadi pembelajaran menarik bagi bangsa Indonesia dalam hal demokrasi. Meskipun tak sesempurna pada Pemilu 2019 lalu, tetapi hajatan besar demokrasi tersebut cukup menarik antusiasme dan partisipasi politik dari masyarakat. Terlepas dari berbagai permasalahan seperti black campaign, money politics, hingga dugaan-dugaan kecurangan dalam pemungutan suara, setidaknya masyarakat dapat mencicipi hak istimewanya untuk menentukan pemimpinnya secara demokratis. Setelah hajatan tersebut selesai, publik kembali dihadapkan pada satu langkah politis yang diputuskan oleh para pemimpin yang mereka pilih.

BACA JUGA:LIBIDO POLITIK DAN KATARSIS PUBLIK

BACA JUGA:DARI ANTAGONISME KE AGONISME DEMOKRASI

Tapi sayang drama politik kita berhenti di sengketa ditingkat Mahkamah Konstitusi (MK), itu artinya, bahwa proses politik kemarin tidak memiliki keabsahan, bisa dibilang penuh dengan kecurangan. Kita tidak tahu yang mana yang curang, atau bisa saja kedua-duanya curang. Kalau seandainya kedua-duanya curang, maka proses demokrasi kemarin itu telah menghianati suara rakyat. Sengketa politik terjadi karena adanya indikasi kecurangan, logikanya, kecurangan berarti terjadi ketidakjujuran. 

Secara ekstrim bisa dibilang bahwa proses politik adalah panggung kebohongan atas rakyat. Sebab, MK seakan dianggap sebagai institusi negara yang paling berhak untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Memang aneh, sebab dagelan politik telah dipertontonkan diruang sidang MK, yang muncul adalah gaya politis-elitis, terus dimana suara rakyat? Bahkan ada pameo menyebut seperti ini, mana ada politisi yang jujur, tetapi masalahnya adalah rakyat jujur menyerahkan suaranya di bilik suara. 

Dan mungkin kita bisa menyaksikan sidang sengketa di MK, pada prinsipnya bahwa sengketa politik tersebut adalah sengketa “kejujuran”, apakah semua yang terkait dengan perkara sengketa tersebut dapat berlaku jujur? Atau hanya sekedar melakukan pembelaan terhadap kebohongan biar terlihat “sedikit jujur”, atau MK menjadi ruang untuk melahirkan kejujuran atas hasil Pemilu. Itu fase Pilpres 2019 yang lalu penuh onak dan duri, terlihat dengan jelas indikasi kecurangan-kecurangan hingga masuk pada ruang sidang MK. 

BACA JUGA:PEREMPUAN, POLITIK MELAWAN MITOS

BACA JUGA:Green Leadership untuk Generasi Mendatang

__________________ 

Bagaimana dengan Pilpres 2024?

Pemilu 2024 suhunya semakin meninggi. Mulai proses deklarasi capres dan cawapres hingga proses pendaftaran di penuhi berbagai respon baik yang positif maupun negatif. Koalisi yang bubar, retak hingga hingar-bingar penghianatan. Tetapi di balik itu semua, rupanya ada skenario yang terselubung yang nyaris tak terpantau. 

Mahkamah konstitusi (MK) sebagai agency penegakan hukum setelah melalui gugatan atas batas usia capres cawapres yang sekian bulan mengalami masa sidang yang demikian panjang setelah kedua bakal capres dan cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mhafud MD mendaftarkan diri di KPU tepatnya 19 Oktober 2024. Tetapi Prabowo Subianto belum menentukan cawapresnya hingga di menit-menit terakhir pendaftaran. Publik bertanya ada apa?, apa yang di tunggu?, karena koalisinya gemuk sehingga sulit untuk menentukan?, berbagai macam pertanyaan spekulasi yang muncul. 

Namun di situasi yang tak terduga, MK pada putusan nomor 90/PPU-XXI/2023 yang secara eksplisit menyebutkan batas usia cawapres 40 tahun dan pernah menjadi kepala daerah yang dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum. Keputusan ini kemudian menciptakan pro-kontra di masyarakat. Berbagai respon bermunculan menyikap keputusan MK terkait batas usia cawapres. Respon pertama ; keputusan MK itu final dan mengikat. Respon kedua ; kalau di katakan keputusan itu untuk anak muda, tentu anak muda siapa yang di maksud, tentu yang punya privilege. Dan itu tiket untuk Gibran (Putera Presiden).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: