DARI ANTAGONISME KE AGONISME DEMOKRASI

DARI ANTAGONISME KE AGONISME DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Kekuasaan

___________________________

Chantall Mouffe dengan Jean Baudrillard dalam “Agony of power” nya tentu berbeda dalam memahami sebuah makna maupun realitas yang ada dalam kehidupan masyarakat. Ala Baudrillard dengan mengetengahkan tentang “Dominasi, Hegemoni, dan Teror” adalah bagian penting bagi Baudrillard untuk melihat aspek-aspek lain dalam kuasa. Tetapi Mouffe berbeda dalam meresponnya terutama dalam ketegori politik dan kekuasaan.

Maka dapat disimak---Agony artinya sebuah situasi konflik yang diperbolehkan, tidak disangkal keberadaannya, dan tidak perlu diatasi demi sebuah konsensus. Tujuan Mouffe disini adalah menghindari eksklusi dan mengusahakan inklusi semaksimal mungkin. Hal ini berkaitan dengan rasionalitas yang menjadi basis pluralisme Rawlsian, yang dengan mengistimewakan rasionalitas telah mengabaikan faktor sentral dari passions dan emotions dalam mewujudkan kesetiaan terhadap nilai-nilai demokrasi.

Bagi Mouffe, penekanan pada penalaran (reasoning) yang mewujud dalam pembedaan antara yang reasonable dan unreasonable adalah penegasan tembok batas antara mereka yang menerima prinsip-prinsip liberal dan mereka yang menolaknya. Selain itu, penekanan yang berlebihan pada konsensus dan, pada saat yang sama, keengganan untuk berkonfrontasi akan berakibat pada ketidakpuasan dan sikap apatis terhadap partisipasi politik.

BACA JUGA:Green Leadership untuk Generasi Mendatang

BACA JUGA:Optimalisasi UMKM Keberlanjutan

Lebih jauh, Mouffe memetakan pembedaan antara yang politis (the political) dan politik (politics) itu sendiri untuk menguji kembali model politik demokrasi liberal. Baginya, the political adalah dimensi antagonisme yang selalu ada dalam interaksi manusia sehingga tidak boleh dihapus dengan konsensus. Sementara itu, politics adalah seperangkat praktik, diskursus, dan institusi yang mengatur kehidupan dalam kondisi yang selalu konfliktual. Fungsi dari politik adalah berhadapan dengan ‘lawan’ (adversary) dan bukan menyingkirkan mereka. Politik berusaha untuk mewujudkan persatuan (unity) atau apa yang disebut sebagai ke-kita-an (an us) dalam konteks keberagaman yang konfliktual itu.

Jika antagonisme melihat yang lain sebagai musuh (enemies), agonisme melihat yang lain sebagai lawan (adversaries) yang idenya dapat didebat, tetapi haknya untuk mempertahankan ide tersebut tidak boleh diganggu. Untuk itu, the political harus berusaha untuk menyediakan sarana berekspresi demi mengubah antagonisme menjadi agonisme. Dengan demikian, terwujudnya sebuah demokrasi tergantung pada konfrontasi agonistik yang terjadi di dalamnya.

Dalam demokrasi, konsensus hanya diperlukan untuk hal-hal yang bersifat prinsipil seperti konsep keadilan, kebebasan, dan kesetaraan. Selain daripada itu, konsensus konfliktual harus menyediakan ruang bagi beragam model interpretasi seperti interpretasi liberal, konservatif, sosio-demokratis, dan lain-lain. Bahaya dari ketiadaan konflik-konflik politis semacam itu adalah timbulnya bentrokan politik identitas. Sebagaimana ditegaskan Mouffe, setiap identitas mesti dipahami sebagai suatu hal yang relasional dan afirmasi terhadap perbedaan adalah sebuah prasyarat bagi eksistensi sebuah identitas.

BACA JUGA:PEREMPUAN, POLITIK MELAWAN MITOS

BACA JUGA:PESTA, SIMULACRA DAN DEMOKRASI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: