DARI ANTAGONISME KE AGONISME DEMOKRASI

DARI ANTAGONISME KE AGONISME DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

Bagi Mouffe, agonisme harus meradikalisasi demokrasi tanpa rekonsiliasi akhir. Radikalisasi ini dilakukan dengan mengakui kenyataan keberagaman yang ada, menantang hegemoni, dominasi dan teror, dan memastikan ketersediaan pilihan-pilihan.

Pertama, ketika demokrasi liberal dan deliberatif berusaha membangun konsensus dengan cara menekan pandangan-pandangan berbeda yang kalah dalam proses reasoning, demokrasi radikal tidak hanya menerima perbedaan, ketidaksepakatan, dan antagonisme, tetapi bahkan bergantung sepenuhnya terhadap hal-hal tersebut.

Kedua, demokrasi radikal mengasumsikan bahwa setiap orde selalu merupakan sebuah ekspresi dari konfigurasi partikular sebuah relasi kuasa. Artinya hegemoni akan selalu ada. Adanya relasi kuasa yang bersifat menekan ini harus ditampakkan, dinegosiasikan kembali, dan diubah. Dengan merawat perbedaan dan ketidaksepakatan dalam demokrasi, hegemoni semacam ini dapat menampilkan dirinya secara terbuka sehingga dapat ditantang dan digugat.

Ketiga, pengakuan akan keberbedaan dan hegemoni memberikan pilihan-pilihan bagi warga untuk bernegosiasi bahkan menggugat hegemoni tersebut untuk ditransformasi dan diganti dengan bentuk hegemoni baru yang kemudian secara sirkular akan digugat kembali. Dengan demikian, jika demokrasi menghindari atau menafikan realitas-realitas ini, maka tidak akan muncul kesempatan untuk menantang hegemoni dominan dan mentransformasi relasi kuasa yang sedang berlangsung.

BACA JUGA:Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Menyelamatkan Keberlangsungan Sekolah Swasta

BACA JUGA:Pemilu 2024: Aksi dan Asa Generasi Muda Menentukan Arah Politik Indonesia

Indonesia dalam hal ini, dapat dilihat bagaimana dimensi antagonistik yang sejatinya telah diusahakan oleh pendiri bangsa untuk ditransformasi menjadi agonistik justru dibatalkan dengan dalil keamanan dan penghindaran akan konfrontasi antargolongan, yang sebenarnya justru merupakan salah satu pilar utama berdemokrasi. Setelahnya, hegemoni ini tidak pernah ditampakan secara telanjang sehingga sangat kecil ruang bagi publik untuk menentangnya apalagi mentransformasikannya.

Belum lagi, mereka yang berbeda bahkan dilihat bukan sebagai lawan (adversaries) yang harus dijamin haknya untuk mempertahankan gagasannya, melainkan sebagai musuh (enemies) yang harus dilawan dengan jargon anti-Pancasila, misalnya. Model berdemokrasi semacam ini bahkan tidak memenuhi kriteria model Rawlsian atau An-Na’im yang menghendaki agar argumentasi religius disampaikan dalam bahasa publik/sipil agar deliberasi atau proses reasoning dapat dimungkinkan.

Dalam politik ekonomi, ide pembangunan menjadi yang cukup sentral hampir di setiap era pemerintahan. Namun, tidak berbeda dengan isu sebelumnya, ide tentang pembangunan yang sejatinya berada dalam ruang antagonistik telah dihomogenisasi. Dengan berkiblat pada ide pembangunan Barat yang dominan dalam persaingan global, pembangunan dipahami sekadar dalam isu infrastruktur. Pembangunan manusia yang sering dinarasikan sebagai kebutuhan fundamental yang perlu diprioritaskan justru dipahami sebagai usaha membentuk manusia sebagai individu yang produktif dan mampu diadu dalam persaingan pasar.

BACA JUGA:THE POWER OF “TUKANG ULON” DALAM MERESILIENSI KRISIS MINAT BERORGANISASI

BACA JUGA:Kelindan Etika Lingkungan dan Tobat Ekologis dalam Sastra

Dimensi kultural dari pembangunan dan manusia itu sendiri cenderung terabaikan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pemerataan pembangunan diterjemahkan menjadi penyamaan (homogenisasi) pembangunan. Padahal, setiap daerah di Indonesia memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai pembangunan dan pemenuhan kebutuhan.

Isu lain adalah model pembangunan infrastruktur yang mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan hidup yang sejatinya telah memiliki modal kultural yang besar dari komunitas-komunitas lokal dan kehidupannya yang selalu berorientasi pada keseimbangan kosmos. Namun demikian, oligarki, sebagai faktor paling berpengaruh dari semua isu ini menjadi tak tersentuh, karena keberadaannya selalu tersembunyi dibalik aktor-aktor populis sehingga hegemoninya tidak dapat ditantang secara terbuka, apalagi ditransformasi.

Dengan demikian, telah ditunjukkan urgensi dari sebuah konsensus dan hegemoni dalam demokrasi. Hegemoni dalam pluralisme agonistik ala Mouffe sekilas terlihat tak ada bedanya dengan konsensus ala Rawls yang berujung pada eksklusi. Namun, sebenarnya ada perbedaan yang cukup mendasar, yakni bahwa, yang pertama berusaha untuk mencapai konsensus dengan menafikan hadirnya sebuah hegemoni di antara mereka yang pandangannya disepakati dalam public reasoning dengan mereka yang pandangannya ditolak namun harus menerima konsensus tersebut, sehingga berujung pada pelanggengan hegemoni; sementara dalam pluralisme agonistik, hegemoni itu ditampilkan secara telanjang di hadapan publik, ini sebuah kekeliruan.

Dalam teori politik yang disebut dengan “Political agency” ada kecendrungan dominasi, hegemoni dan teror menjadi penting ada ditengah masyarakat yang lemah. Menghadirkan oligarki misalnya dengan dominasi uang, hegemoni kekuasaan, dan teror aparat atau kelompok tertentu adalah hal yang sangat menakutkan pada dimensi kultural masyarakat. Berapa banyak tanah-tanah rakyat yang dirampas atas nama pembangunan?, penyerobotan wilayah, pembabakan hutan, ilegal mining, ilegal fishing, sengketa agraria---semua itu adalah politik antagonisme.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: