Kelindan Etika Lingkungan dan Tobat Ekologis dalam Sastra

Kelindan Etika Lingkungan dan Tobat Ekologis dalam Sastra

Dwi Oktarina-dok pribadi-

 


sekarang lihat kawan
di atas panggung lautan berpuluh kapal isap yang diam.
tapi kerasukan menyedot dua puluh empat jam
kemilau pasir halus hitam bernama timah
berpuluh-puluh mereka itu bukan lagi satu dua
kapal tanpa suara
mereka mengambil semua tanpa sisa
tinggal anak pulau yang ternganga
… (2021)

 

Nukilan puisi tersebut merupakan karya Prof. Nurhayati, seorang dosen di Universitas Sriwijaya yang berjudul “Lautku yang Sepi Suara”. Puisi tersebut masuk ke dalam antologi puisi bertajuk Tarian Laut: Antologi 222 Puisi Maritim (Kanisius, 2022). Dalam puisi tersebut, tentu saja dengan sangat mudah kita rasakan atmosfer protes seorang “anak pulau” saat memandang kondisi lautan yang ada di hadapannya. Diksi-diksi yang digunakan berkaitan erat dengan alam, terutama berhubungan dengan aktivitas eksploitasi tambang timah di lepas pantai, khususnya yang ada di Pulau Bangka. Dengan segala aktivitas mesin dan kapal isap yang dilakukan, penulis ingin menyimbolkan bagaimana ketamakan manusia saat ini dilakukan secara masif tanpa memedulikan efeknya pada kondisi alam.

 

Oleh Dwi Oktarina (Pascasarjana Ilmu Susastra, FIB UI)

 

Barangkali sejak dahulu, sastra berdiri sebagai sesuatu yang dianggap pinggiran (tidak berada di titik pusat). Padahal, sastra memiliki kekuatan luar biasa untuk menggugat semua fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia. Sastra berfungsi sebagai perekam realitas zaman yang sedang terjadi. Dengan membaca karya sastra, dapat dibayangkan kondisi dunia yang akan selalu dinamis dan berbeda dari masa ke masa.

Salah satu genre sastra yang dianggap relevan dengan kondisi masa kini yakni hadirnya sastra hijau (green literature). Dalam buku berjudul Sastra Hijau di Indonesia dan Malaysia dalam Kajian Ekokritik dan Ekofeminis, Wiyatmi (2021) mengemukakan bahwa persoalan sastra dan lingkungan sudah lama masuk ke dalam radar para penulis di Indonesia. Terdapat beberapa nama sastrawan yang menyediakan gambaran pertarungan antara kepentingan manusia dan alam seperti Ahmad Tohari dalam novel Di Kaki Bukit Cibalak, Korrie Layun Rampan dengan novel Api Awan Asap, Ayu Utami dengan Saman dan Bilangan Fu, Dorothea Rosa Herliani dengan Isinga, atau Faisal Oddang dengan Dari Puya ke Puya.

Tema-tema sastra hijau tidak hanya jadi monopoli dalam bentuk prosa. Cuplikan puisi karya Prof. Nurhayati di atas dapat menjadi salah satu contoh. Permasalahan lingkungan saat ini menjadi sebuah hal yang penting untuk diangkat dan didiskusikan dalam forum-forum diskusi. Tidak hanya itu saja, topik lingkungan juga menjadi salah satu isu penting dalam debat calon wakil presiden Republik Indonesia yang diselenggarakan pada 21 Januari 2022. Dalam salah satu bagian debat, salah seorang calon wakil presiden mengemukakan diksi tobat ekologis dan etika lingkungan. Lantas, bagaimana kelindan antara etika lingkungan dan pertobatan ekologis dalam dunia sastra?

 

Sastra dan Etika Lingkungan

Dalam sastra, cabang ilmu yang secara khusus mempelajari hubungan antara sastra dan lingkungan yakni ekokritik atau ecocriticism. Tidak hanya terbatas pada mencari-cari makna dan peran lingkungan dalam karya sastra, ekokritik berfungsi menjelaskan ketakterpisahan manusia dengan lingkungan sekitar yang melingkupinya.

Salah satu tujuan utama dari pemahaman ekokritik adalah upaya menyadarkan para pembaca sastra tentang pentingnya masa depan lingkungan dan keberlanjutan (sustainability) koneksi antara manusia dan alam. Sebagai sebuah studi transdisipliner, sastra juga bertemu dengan persoalan etika lingkungan saat membincangkan nilai-nilai seperti apa yang harus dilakukan manusia dalam rangka menghormati alam.

Konsep mengenai Etika Lingkungan terdiri atas dua term yang berbeda, yakni “etika” merujuk pada kode etik atau seperangkat aturan yang seharusnya mengatur dan membimbing perilaku seseorang (Callicott & Frodeman, 2009) dan lingkungan (aspek fisik maupun nonfisik di luar manusia).

Ketika isu lingkungan mulai merebak pada dekade 60-an di seluruh dunia, terdapat dua aspek yang kemudian menjadi dominan, yakni sains (sebagai sebuah hal yang mendefinisikan sesuatu secara nyata), dan etika yang menjawab tentang hak dan kewajiban (Barry, 2017).

Dari situ kemudian berkembang etika-etika lain yang harus dilakukan oleh manusia dalam rangka menghormati alam sebagai sebuah entitas di luar dirinya, misalnya etika tanah (land ethics), etika terhadap hewan (animal ethics), atau etika agrikultural (agricultural ethics).

Secara umum, etika lingkungan memberi manusia pegangan dalam beberapa hal, misalnya perlakuan terhadap alam yang penuh dedikasi dan tanggung jawab, pengambilan keputusan berkelanjutan dalam upaya mempertahankan kondisi alam demi generasi di masa depan, serta mendorong partisipasi aktif dalam upaya pemerataan keadilan dan keseimbangan bagi kelompok rentan yang terpapar oleh kebijakan-kebijakan eksklusif dan serampangan.

Ketika berbicara mengenai etika lingkungan, tidak dapat dikesampingkan mengenai penerapan prinsip-prinsip moral sebagai bentuk upaya menjaga lingkungan. Dalam puisi “Lautku yang Sepi Suara”, penulis berupaya memberi gambaran tentang etika lingkungan. Bahwa seharusnya manusia tidak hanya menganggap alam sebagai objek yang dikuras habis-habisan.

Kritik terhadap eksploitasi yang dilakukan para penambang di lautan lepas menggambarkan hubungan erat antara keselarasan nilai-nilai etika yang harus dijalankan dengan upaya pemanfaatan alam bagi kemaslahatan manusia. Tanpa berpijak pada prinsip etika lingkungan, manusia hanya akan habis oleh keserakahannya sendiri. Selain itu, tidak akan ada keberlanjutan di masa depan karena pada akhirnya sumber daya atau resources yang ada di alam akan habis pada satu titik tertentu.

 

Pentingnya Pertobatan Ekologis

Lantas, bagaimana dengan istilah “tobat ekologis” yang disampaikan oleh salah satu cawapres dalam sebuah acara debat? Merujuk pada artikel Mangadar Situmorang (Rektor Universitas Katolik Parahyangan) dalam Pikiran Rakyat (15 April 2017) yang berjudul “Pertobatan Ekologis”, rumusan tentang tobat ekologis hadir dalam Ensiklik Paus Fransiskus yakni Laudato Si’.

Dalam KBBI versi daring, pengertian ensiklik adalah surat edaran Paus untuk gereja yang berisi masalah-masalah penting, tetapi bukan ajaran definitif, sehingga dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan zaman. Laudato Si’ adalah ensiklik yang diterbitkan sudah cukup lama, yakni pada Mei 2015. Sebagaimana tercantum dalam bagian-bagian awal ensiklik ini, Laudato Si’ yang bermakna “Terpujilah Engkau” menjadi pengingat bagaimana seharusnya manusia yang beriman harus menghormati bumi (sebagai sebuah “rumah bersama”) sekaligus memuji dan memuliakan Tuhan lewat cara-cara yang baik.

Di dalam ensiklik ini, Paus Fransiskus juga mengkritik konsumerisme dan pembangunan yang tidak bertanggung jawab. Saat ini, manusia sudah berada di tahapan meratapi degradasi lingkungan dan pemanasan global. Tidak lupa, Paus Fransiskus menyerukan pada semua orang di dunia untuk mengambil aksi global yang cepat dan terpadu (Phan, 2021). Dalam artikel yang berjudul “An Ecological Theology for Asia: The Challenges of Pope Francis’s Encyclical Laudato Si”, Phan juga mengemukakan bahwa pemikiran dan ajakan mengenai pertobatan ekologis tidak hanya datang dari Paus Fransiskus saja.

Konsep Buddhisme juga menolak paradigma teknokratis yang memandang dunia dalam hal subjek-objek untuk tujuan dominasi dan eksploitasi semata (Phan, 2021). Karena asal-usul yang saling bergantung dan tidak terpisah tersebut, manusia dan alam akan saling berinteraksi dan mengembangkan satu bentuk jaringan kehidupan. Oleh seorang biksu Buddhis Vietnam bernama Thich Nhat Hanh, konsep ini disebut sebagai “inter-being”. Konsep ini juga menekankan pentingnya hubungan erat dan keselarasan antara individu dan alam sebagai sebuah sistem holistik (Phan, 2021)

Pada dasarnya, semua agama dan keyakinan akan mengajarkan hal yang sama. Baik Kristen, Buddha, Islam, Hindu, bahkan aliran kepercayaan tradisional dari seluruh penjuru dunia akan menempatkan pentingnya keseimbangan dan penghormatan terhadap alam. Manusia tidak pernah boleh menjadi tamak dan mendominasi alam di sekelilingnya. Tampak jelas terdapat kelindan hubungan antara pertobatan ekologis dan prinsip etika lingkungan yang telah dibahas sebelumnya.

Manusia harus kembali pada level tertinggi kesadarannya untuk bersikap rendah hati dan memperlakukan bumi dengan sebaik-baiknya. Etika lingkungan sebagai sebuah pijakan memberi panduan bagi manusia untuk bertanggung jawab terhadap keberlanjutan bumi sebagai satu-satunya rumah bagi manusia.

Kehadiran sastra hijau (green literature) menjadi penting sebagai cambuk dan pengingat bagi para pembaca yang ada di seluruh dunia. Manusia harus tetap digerakkan dan digugah hatinya lewat kehadiran kata-kata. Pemahaman mengenai kesadaran lingkungan juga harus diinisiasi sejak dini dan dapat dihadirkan dalam bentuk buku cerita bergambar atau puisi anak sederhana. Selain itu, karya sastra hijau yang mengangkat topik-topik lingkungan dapat menjadi sarana advokasi bagi pelestarian alam serta menjadi refleksi atas dampak yang ditimbulkan manusia terhadap lingkungan sekitarnya. Mengutip argumen yang disampaikan Pahn (2021) bahwa no being can exist without the other: one person without all other person, humanity without ecology, and vice versa, ecology without humanity.

Tidak ada makhluk yang dapat bertahan tanpa makhluk lainnya, tidak akan ada kemanusiaan tanpa ekologi, dan sebaliknya tidak akan ada ekologi tanpa kemanusiaan. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: