Menerima Mahasiswa Internasional di Bangka: Peluang dan Tantangannya

Menerima Mahasiswa Internasional di Bangka: Peluang dan Tantangannya

Vindi Kaldina, M.A. ,Dosen Universitas Bangka Belitung--

Mengapa ini penting? Jika pendidikan internasional merupakan ladang bisnis yang menjanjikan dan dapat menguntungkan bukan hanya institusi melainkan juga masyarakat di sekitarnya, maka kita bisa menganalogikannya dengan sebuah restoran. Jika pengalaman yang didapat pengunjungnya baik, maka restoran itu akan semakin terkenal dari mulut ke mulut, sedangkan jika pengunjungnya kecewa, restoran itupun akan mendapat reputasi buruk sehingga semakin jarang orang mengunjunginya. No customer, no business. Jika kita dapat meniru hal-hal yang dilakukan perguruan tinggi lain dengan benar, maka kita juga harus belajar dari kesalahan mereka sehingga kita memiliki daya saing yang tinggi. 

Di Amerika saja, universitas-universitas terbaiknya juga dikenal sebagai universitas yang menerima MI terbanyak di negaranya, dan bahkan di dunia. New York University, Columbia University, Boston University, dan Arizona State University hanyalah sebagian kecil dari daftar panjang tersebut. Menerima MI menjadi strategi mereka untuk go international, dan mereka bersungguh-sungguh memberikan pelayanan terbaik agar MI yang bersekolah di sana tidak kecewa dan dapat menyebarkan reputasi baiknya ke seluruh dunia.

BACA JUGA:Empat Pantai di Toboali Jadi Fokus Pengamanan Sat Polairud Polres Basel

Lalu bagaimana dengan perguruan tinggi di Indonesia? Mengulik temuan dari beberapa studi terkait hal-hal yang menjadi masalah terbesar bagi seorang MI di Indonesia, bisa ditebak bahwa bahasa selalu menjadi tantangan terbesar yang sulit untuk dikalahkan, tidak hanya oleh mahasiswa kita di luar negeri, tetapi juga oleh MI di Indonesia. Namun, ternyata perbedaan bahasa bukan satu-satunya yang dapat membuat seorang MI merasa “sengsara” di negeri kita tercinta. Kurangnya sarana, prasarana, dan pemahaman lintas budaya juga menjadi penghambat terbesar. 

Di tahun 2018, Alexander Macgregor and Giacomo Folinazzo menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kendala terbesar yang dihadapi MI di Kanada adalah kurangnya penjelasan tentang ekspektasi dosen, penyampaian materi di kelas, kendala bahasa, isolasi, dan perbedaan budaya. Menariknya, hasil yang sama ditemukan oleh Taiwo Temitayo Emehinola, Ilfiandra, dan Saripah, hanya saja masalah yang dihadapi MI di Indonesia lebih banyak dan lebih kompleks. Selain yang disebutkan di atas, MI di Indonesia juga menghadapi masalah ketidaktepatan waktu, kesulitan finansial, dan kesulitan teknis, yang pada akhirnya berujung pada masalah psikologis, kendala dalam memahami penjelasan, ketidakmampuan bersosialisasi, tekanan akademik, dan kesulitan untuk memercayai orang lain. Mengapa ini terjadi? Mari kita bedah hasil temuan di atas lebih dalam. 

BACA JUGA:Naik Dibanding 2022, Segini Total Kasus Lakalantas di Basel Pada 2023

Ekspektasi menjadi permasalahan yang dihadapi hampir seluruh MI dalam dua studi yang telah disebutkan di atas. Kebanyakan dari kita mungkin menduga bahwa yang dimaksud adalah ekspektasi MI yang berlawanan dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan. Jika Anda menduga hal yang sama, maka dugaan Anda salah. Yang dimaksud dengan ekspektasi di sini adalah ekspektasi dosen terhadap mahasiswanya. Mahasiswa sering tidak mendapat kejelasan akan apa yang diharapkan dosen terhadap dirinya.  Lebih tepatnya, MI tidak mendapatkan penjelasan konkret tentang apa yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan nilai yang diharapkan. Terkadang, dosen tidak merancang tugas yang menonjolkan pengetahuan dan keterampilan MI, dan seringkali menumpukan nilai pada kemampuan MI berkomunikasi, yang jelas merugikan MI karena keterampilan komunikasi terkait erat dengan kemampuan bahasa. Untuk mengatasinya, menurut Macgregor dan Folinazzo, sebaiknya dosen sejak awal menunjukkan apa saja yang harus dilakukan MI sepanjang semester, lengkap dengan rubrik penilaian yang rinci dan konkret. Dengan demikian, MI mendapat kepastian tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai target nilai.

Dalam konteks kegiatan belajar mengajar sehari-hari, penyampaian materi menjadi kendala terbesar kedua yang dihadapi MI, karena dosen Indonesia terbiasa mengajar dengan metode ceramah. Lebih jauh, ceramah tersebut dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Yang perlu kita ingat di sini adalah, kualitas penyampaian materi tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan kita berbahasa Inggris. Tentu, keahlian berbahasa Inggris sangat membantu dalam berkomunikasi dengan MI. Namun, dosen tidak perlu banyak berbicara untuk menyampaikan gagasan. Penggunaan alat bantu visual seperti salindia dan pemutaran video bisa jadi metode efektif yang membantu MI memahami berbagai konsep tanpa dosen harus mengeluarkan banyak kata.

BACA JUGA:Jaga Kualitas Hidup, BRI Peduli Ajak Masyarakat Jaga Ekosistem Sungai dan Lingkungan

Dalam konteks pergaulan sosial, kendala bahasa menjadi permasalahan yang cukup menguras emosi, terlebih lagi jika kendala ini membawa MI menuju masalah lainnya, yaitu isolasi sosial. Ternyata, kebanyakan mahasiswa domestik yang tergabung dalam kelas internasional enggan untuk bergaul dengan MI dikarenakan perbedaan bahasa. Jika ada tugas kelompok, mahasiswa domestik cenderung memilih kelompoknya sendiri berdasarkan bahasa yang sama, sehingga meninggalkan MI sendirian atau sekelompok dengan rekan dengan bahasa yang sama. Ini dapat diatasi oleh dosen dengan cara mengelompokkan mahasiswa berdasarkan diversitas. Setiap kelompok harus memiliki anggota yang beragam, sehingga masing-masing anggotanya mendapat kesempatan untuk belajar mengakomodasi perbedaan tersebut. Sebelum menerima MI, universitas juga harus memastikan bahwa dosen, staf, dan mahasiswa domestik mendapatkan pelatihan lintas budaya yang cukup.

Bagaimana dengan pengalaman MI di luar kelas? Di sinilah Kantor Urusan Internasional (KUI) berperan. KUI dapat membentuk dan menjalankan program buddy system atau yang terkadang dinamakan buddy beyond borders, di mana KUI menawarkan kesempatan pada mahasiswa domestik yang tertarik dengan pertukaran budaya untuk menemani MI di luar kampus, memperkenalkan kebudayaan lokal, dan melatih MI untuk berbahasa Indonesia. Program buddy beyond borders juga memastikan bahwa MI dapat mempelajari berbagai nuansa budaya yang tidak diajarkan di kelas pertukaran budaya yang ia ikuti sebelum berangkat ke Indonesia. Ada banyak hal yang berpotensi menimbulkan gesekan budaya dan ketersinggungan, baik dari pihak MI maupun dari masyarakat setempat. Belajar menavigasi budaya lokal dengan terjun langsung ke masyarakat akan menjadi pengalaman bermanfaat yang bukan hanya memperkaya perspektif MI, namun juga perspektif komunitas lokal. 

BACA JUGA:Simpang Nanas dan Kolong Bakung Menjadi Tempat Keramaian Malam pergantian Tahun Baru, Riza; Wajah Baru Toboali

Kehadiran seorang buddy juga sangat membantu ketika MI berhadapan masalah finansial. Menurut hasil survei Temitayo, Ilfiandra, dan Saripah di tahun 2020, banyak MI mengalami masalah finansial karena terkadang mereka berbelanja di warung-warung di mana harga seringkali tidak dicantumkan dengan jelas pada barang yang akan dibeli. Tidak jarang penduduk lokal menaikkan harga secara sepihak hanya karena pelanggannya terlihat seperti turis manca negara. Kasus yang sama terjadi pada saat mereka mencari akomodasi atau tempat tinggal sendiri. Tentu saja ini menimbulkan kesan yang buruk ketika, setelah beberapa waktu berlalu, MI menyadari bahwa ia telah tertipu, dan anggaran yang seharusnya cukup untuk satu periode waktu tiba-tiba habis sebelum waktunya. Seorang buddy dapat memastikan ini tidak terjadi dengan menemani dan membimbing MI dalam konteks-konteks tersebut.

BACA JUGA:Tahun 2023 Kasus Kriminal di Basel hanya Turun 1,26 Persen, Kapolres: Tidak Begitu Signifikan

Kesulitan teknis menjadi tantangan berikutnya yang dihadapi oleh MI. Yang dimaksud di sini adalah kesulitan teknis terkait akademik, seperti misalnya situs universitas yang tidak informatif dan kurang ramah pengguna, kurang lengkapnya sumber fisik dan non-fisik pada perpustakaan universitas, dan kurangnya sarana prasarana yang mendukung pembelajaran MI. Nah, masalah ini terkait dengan pendanaan. Tentunya sebuah perguruan tinggi harus memiliki dana yang cukup sebelum memutuskan untuk menyelenggarakan pendidikan internasional. Pengalaman saya bersekolah di Amerika Serikat membuat saya mengerti bahwa ternyata yang membedakan universitas Ivy League dengan universitas pada level di bawahnya bukanlah sumber daya manusianya, karena SDM di perguruan-perguruan tinggi di AS rata-rata memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda. Ternyata, pembeda utamanya adalah kelengkapan dan kemutakhiran sarana dan prasarana pada universitas tersebut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: