RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Dua)

RIMBAK, REBAK, PEMITAK,   KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK  (Bagian Dua)

Akhmad Elvian--

(3) Belukar Muda sering disebut dengan Bebak atau belukar lama adalah hutan belukar yang pernah ditanami oleh penduduk untuk berladang atau berume, tetapi telah ditinggalkan (hutan sekunder bekas ladang ume). 

(4) Rimbak Alas adalah hutan yang penuh dengan pepohonan yang luas dan belum pernah dieksplorasi termasuk di dalamnya hutan rawa gambut. Empat wilayah rimbak atau hutan ini merupakan lahan-lahan yang dikuasai oleh Depati, Batin, gegading dan lengan dan hanya boleh digunakan dengan izin dari kepala kepala rakyat di atas. Di samping itu para Depati yang berkuasa di Bangka dan Belitung juga memiliki lahan tersendiri yang terlarang bagi masyarakat untuk mengelolanya. Lahan milik depati, salah satu fungsinya adalah untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan geografi duniawi dan rohani. Penguasaan atas lahan dan hutan juga bertujuan untuk pengaturan terhadap cadangan hutan/lahan dan pengaturan bagi mereka yang tidak mempunyai tanah garapan namun tetap dipergunakan untuk kepentingan bersama.

BACA JUGA:KAMPUNG LIUKFUNTHEEUW ATAU LAKFOETOE

Pengelolaan rimbak atau hutan termasuk pewarisan lahan dilakukan dengan konsep tradisional dimulai dari rimbak, rebak, pemitak, bebak, kubak dan sampai ke kelekak. Rimbak di pulau Bangka sangat erat hubungannya dengan mata pencaharian hidup masyarakat yaitu berladang atau berume. Hampir semua rumah tangga melaksanakan pertanian padi secara beume dan memperoleh bahan kebutuhan pangan utama dari hasil usaha beume. Ume adalah tempat menanam padi dan berbagai jenis sayur-sayuran dan umbi umbian. Sedangkan padi merupakan jenis tanaman yang terpenting. Kegiatan bercocok tanam di ume disebut beume.

Padi memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Masa tanam, pertumbuhan dan saat panen padi menjadi wahana penting dalam berbagai aspek interaksi sosial dan budaya masyarakat. Setiap keluarga biasanya melaksanakan pertanian padi secara beume pada lahan seluas antara 8-16 petak (2-4 ha) pada saat satu kali musim tanam. 

Sebelum berangkat mencari hutan atau Rimbak untuk lokasi lahan ume, karena akan berjalan jauh dan untuk kepentingan yang besar, maka pada tiga langkah pertama waktu meninggalkan rumah membacakan; 

Salammualaikum bumi Ma’ Alla; Asalammualaikum langit sendiri bapaku Alla; Dum Alla; Bua ban darikum jangan kau makan ka disumpah rasulullah; berkat lailahaillah, 

kemudian berjalan lagi tujuh langkah lalu membaca; 

Kasbi-kasbi Alla imanduri jibrail tongkat ku; Nabi Muhamad sinar ku; Alla payung ku; berkat laila, 

Selanjutnya untuk pelindung badan membaca;

Aku bergantung tiada bertali; Aku bertija’ tiada bertiang; Aku menyandar batu menunggul; Aku bertudung batu layang-layang; Batu keliling kiri kanan; Alla di atas; Muhammad berdiri berdampe’; Belis setan dari kiri, kanan, takkan rusak badan ku lagi dalam kandung nabi Muhammad; berkat laila muhammad rosullah. 

Sebelum membuka ume biasanya dilakukan pekerjaan mencari lahan atau tempat untuk beume yang disebut nyarik utan. Pada saat pertama melangkahkan kaki masuk ke dalam hutan biasanya mengucapkan salam kepada penghuni hutan, dilakukan dengan cara meratap meminta izin mau nyarik utan untuk beume. Pantangan yang dilakukan pada saat masuk hutan adalah menyebutkan makanan yang enak-enak seperti cacak, dodol, panggang ayam dan sebagainya karena dikhawatirkan akan kepunen atau mendapat musibah yang tidak terduga pada saat melakukan pekerjaan. Kegiatan nyarik utan biasanya dilakukan secara berkelompok. 

BACA JUGA:BRIEVENBUS DI PANGKALPINANG

Lokasi yang akan dijadikan sebagai lahan beume harus benar-benar memenuhi syarat agar hasil ume nanti dapat memenuhi kebutuhan pangan selama satu tahun. Bila menemukan lahan yang diperkirakan cocok untuk beume biasanya ditandai dengan mengikat sebatang pohon dengan tali dan dedaunan dengan cara disiret atau disimpul dengan kencang, pada saat menyimpul biasanya diucapkan kata-kata apakah hutan ini boleh dibuat ume atau tidak, biasanya setelah tiga hari, lokasi hutan dilihat kembali dan bila simpul atau ikatan tidak terlepas artinya lahan boleh dibuat ume, akan tetapi bila ikatan lepas atau hilang sama sekali berarti hutan tersebut tidak boleh dibuat ume atau hutan tersebut sangat rit karena banyak makhluk halus penunggunya dan bisa berbahaya karena bisa kehalen atau mendapat musibah karena berbuat kesalahan yang menyebabkan penunggu hutan marah tempat tinggalnya diganggu. Dalam mencari lahan harus diperhatikan beberapa hal yang menjadi pantangan seperti lahan tidak boleh bertanjung atau menjorok ke lahan ume milik orang lain, kemudian posisi lahan tidak boleh berkait atau tidak sepias atau simetris dengan lahan milik orang lain serta yang paling penting lahan tersebut bukan merupakan lahan yang sudah dirintis atau diberi tanda sebagai milik orang. 

Tanda lahan milik orang lain adalah adanya uma-uma terbuat dari kayu yang dikelus atau dikelupas kulitnya, biasanya uma-uma dibangun di tengah-tengah lahan. Ciri lain sebuah lahan sudah menjadi milik orang lain adalah pada tiap sudut lahan diberi dengan tanda arah terbuat dari kayu. Apabila ume yang dibuat, bertanjung atau berkait maka dikhawatirkan tidak mendapatkan hasil bahkan bisa membuat celaka bagi pemiliknya seperti jatuh sakit atau selalu mendapat musibah yang beruntun. Setelah ditemukan lokasi yang cocok lahan tersebut diberi tanda-tanda bahwa lokasi hutan tersebut sudah ada yang akan menggarapnya. Tanda-tanda yang diberikan terdiri atas sebatang kayu yang dikelus atau dikelupas bagian atasnya, lalu dibelah dan disipkan ranting atau kayu kecil penunjuk arah keempat penjuru mata angin, utara, selatan, barat dan timur. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: