MATA GAWE

MATA GAWE

Akhmad Elvian--

BACA JUGA:KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Empat)

Begitu selanjutnya secara bergiliran dilakukan sampai jenis pekerjaan yang sama yang disaling tulongkan selesai semuanya dikerjakan dalam lingkungan kelompok besao. Kewajiban mengerjakan ladang Ume yang dilakukan oleh pribumi Bangka orang Darat (mata gawe), terhadap ladang-ladang milik kepala-kepala rakyat (Pasal Lima hukum adat Sindang Mardika) sebenarnya bukanlah sebagai suatu beban pekerjaan, akan tetapi merupakan “bentuk formal” dari kelompok kerja saling tolong atau besao, karena ada ketentuan tentang jumlah hari wajib kerja dan denda yang harus dibayarkan bila menolak bekerja. Pada kelompok besao kewajiban mengerjakan ladang Ume anggota kelompok wajib dibalas dengan kerja di ladang Ume anggota yang lain sampai selesai, sedangkan sanksi bila tidak bekerja atau menolak bekerja dalam kelompok saling tulong adalah sanksi sosial dikucilkan dari lingkungan kelompok besaonya.  

BACA JUGA: KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Tiga)

Di samping ditolong oleh anggota masyarakatnya yang sudah menikah (mata gawe) dalam membuka dan mengerjakan ladang Ume, para kepala-kepala rakyat mulai dari lengan, gegading, batin dan patih/pateh juga ditolong oleh anggota masyarakatnya dalam hal membangun rumah, membuat balai adat di kampung atau membangun sarana-sarana kepentingan umum untuk kepentingan kampung atau batin. Pengerjaan sarana-sarana tersebut dilakukan dengan cara bergotong royong. Sebenarnya gotong royong tidak hanya dilakukan penduduk kampung terhadap kepentingan kepala-kepalanya saja, akan tetapi gotong royong juga dilakukan untuk kepentingan sesama penduduk kampung, misalnya dalam mendirikan rumah, melaksanakan upacara yang berhubungan dengan daur kehidupan seperti pada saat acara perkawinan dan upacara kematian. Ketentuan terhadap kewajiban penduduk mengerjakan kepentingan kepala-kepala rakyat secara jelas dinyatakan pada Pasal Tujuh hukum adat Sindang Mardika yang berbunyi: “Kepala yang tersebut di atas (Depati/ patieh, batin, gegading dan lengan), kalau ia hendak membuat rumah, harus ditolong oleh anak buahnya, begitu pula membuat balai dalam kampungnya”. Ketentuan kewajiban bekerja bagi kepala-kepala rakyat juga berlaku di pulau Belitung. Dalam ketentuannya disebutkan: “Hamba rakyat masuk kerja kepada depati atau kepada ngabehi-ngabehi tiap-tiap tahun sekali, pergi kerja di jalan satu-satu orang dengan kira-kira 30 hari atau 24 hari lamanya, dengan membawa bekalan beras, buat bikin rumah, ladang atau perahu-perahu depati atau ngabehi-ngabehinya”. Jabatan ngabehi di pulau 

Belitung setara tingkatannya dengan jabatan batin atau krio di pulau Bangka.

BACA JUGA:KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Dua)

Kewajiban bekerja pada lengan, gegading, batin, patih/pateh dan rangga atau depati bagi rakyat yang sudah kawin atau menikah tidak berlaku bagi orang yang masih bujang atau belum mempunyai istri akan tetapi mereka wajib mengerjakan pesuruhan seperti gotong royong, saling tolong atau mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan oleh orangtuanya di ladang atau pekerjaan lainnya yang disuruh oleh kepala-kepala rakyat di atas. Seseorang dalam masyarakat Bangka diakui sebagai anggota masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban secara penuh apabila seseorang sudah dewasa, biasanya ditandai secara umum dengan telah menikah atau kawin serta telah dapat hidup sendiri (membentuk keluarga batih monogamy baru). Anak laki laki atau perempuan berhak dan wajib menjadi penerus atau pengganti keturunan orangtuanya yang tidak mampu lagi atau telah meninggal dunia. Khusus untuk anak kandung harus patuh dan hormat pada orangtuanya serta berkewajiban mengurus orangtuanya sampai akhir kehidupannya, perlakuan yang sama juga harus dilakukan anak yang sudah menikah pada masing masing mertuanya. Bunyi lengkap, pasal yang mengatur tentang pengecualian bekerja sebagai mata gawe terdapat pada Pasal Delapan hukum adat Sindang Mardika yang berbunyi: “Sekalian anak bujang (tiada mempunyai istri) dibebaskan dari pekerjaan yang tersebut di atas, tetapi mereka wajib mengerjakan pekerjaan pesuruhan”.

BACA JUGA:KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Satu)

Hukum Adat Sindang Mardika tidak hanya mengatur tentang perkawinan antar etnic group di pulau Bangka, akan tetapi juga mengatur tentang ketentuan perceraian. Setiap tindakan perceraian di pulau Bangka harus dilaporkan kepada kepala rakyat (Gegading, lengan dan Batin) karena terkait dengan hak dan kewajibannya sebagai mata gawe. Pribumi Bangka yang mengaku pura-pura bercerai untuk menghindari tugas sebagai mata gawe (bekerja untuk kepentingan kepala rakyat) akan mendapatkan hukuman berat dengan menjadi mata gawe kembali, serta dikenakan denda yaitu sebesar 12 ringgit. Selengkapnya ketentuan tentang perceraian dan mata gawe tersebut terdapat dalam Pasal Sebelas Hukum Adat Sindang Mardika yang berbunyi: “Jikalau orang mau bercerai dengan istrinya, lebih dahulu masing-masing harus membayar kepada kepalanya setengah rupiah, barulah Ia sah lepas dari pekerjaan (mata gawe). Jika kedapatan ia bercerai pura-pura saja, maka Ia didenda 12 ringgit dan kemudian dijadikan mata gawe kembali. Sebagian denda itu untuk kepalanya”.*** 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: