MATA GAWE

MATA GAWE

Akhmad Elvian--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

PADA pasal Lima Hukum Adat Sindang Mardika yang berlaku di Pulau Bangka disebutkan tentang Instructie voor depati, de batin-pasirah's  en de batin-pengandang's of batin-ketjil (De clercq, 1895:157-163) yaitu tentang hak-hak yang diperoleh atau dimiliki oleh para kepala rakyat di Pulau Bangka yaitu para Depati/Pateh, Batin Pesirah serta Batin Pengandang dan Gegading dan Lengan terhadap pengerjaan Ladang Padi miliknya yang dilakukan oleh penduduk pribumi Bangka yang sudah menikah. Kewajiban mengerjakan Ladang Padi milik kepala kepala rakyat oleh tiap-tiap pribumi pulau Bangka yang sudah menikah disebut dengan mata gawe

--------------

DEPATI/PATEH dan Batin Pesirah memperoleh hak yaitu tiap-tiap pribumi Bangka yang sudah menikah, wajib mengerjakan Ladang Umenya selama 10 hari dalam setahun, selanjutnya Batin Pengandang memperoleh hak yaitu tiap-tiap pribumi Bangka yang sudah menikah, wajib mengerjakan ladang Umenya selama 5 hari dalam setahun, sementara kepala rakyat yang lain seperti Gegading dan Lengan memperoleh hak yaitu tiap-tiap pribumi Bangka yang sudah menikah wajib mengerjakan Ladang Umenya selama Satu hari dalam setahun. Di samping mengerjakan Ladang Ume milik kepala kepala rakyat, tentunya mereka harus juga mengerjakan Ladang Ume miliknya sendiri sebagai sumber pangan bagi kehidupan selama setahun. Bunyi lengkap Pasal Lima hukum adat Sindang Mardika adalah: “Tiap-tiap tahun, kepala harus dibantu oleh rakyat yang telah kawin masing-masing akan mengerjakan ladangnya yaitu Pateh dan batin Pesirah dapat 10 hari, batin Pengandang 5 hari, kepala yang lain di bawahnya dapat sehari dalam setahun, tiap seorang mata gawe”. Apabila pribumi Bangka yang sudah menikah tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ketentuan pada Pasal Lima hukum adat Sindang Mardika, maka Ia harus menggantinya dengan Padi atau uang setengah ringgit dalam satu hari sebagai denda. Hal ini diatur dalam Pasal Enam hukum adat Sindang Mardika yang berbunyi: “Barang siapa yang tidak menurut, ia harus mengganti dengan Padi atau uang setengah rupiah tiap hari”, suatu beban pengganti yang cukup besar pada masa itu.

BACA JUGA:DARI KAPITULASI TUNTANG KE TRAKTAT LONDON

Padi yang ditanam di ladang menghasilkan beras Mirah atau beras Cerak sering disebut dengan beras Darat. Padi atau beras memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Masa tanam, pertumbuhan dan saat panen padi menjadi wahana penting dalam berbagai aspek interaksi sosial dan budaya masyarakat. Setiap keluarga biasanya melaksanakan pertanian padi secara beume pada lahan seluas antara 8-16 petak (2-4 ha) pada saat satu kali musim tanam. Sebagai kebutuhan pokok, beras menjadi hal yang penting sehingga perladangan harus dirawat dan dipelihara dengan baik. Gagal panen bagi masyarakat Bangka, tentu saja menjadi bahaya dan kelaparan akan mengancam. Mata gawe atau kewajiban bekerja di ladang Padi milik kepala-kepala rakyat sesungguhnya adalah untuk menjaga cadangan Padi di satu kampung atau batin agar bila terjadi gagal panen di peladang, masih tersedia sumber cadangan beras dari gudang tempat penyimpanan Padi milik kepala-kepala rakyat. 

BACA JUGA:KAMPUNG LIUKFUNTHEEUW ATAU LAKFOETOE

Pada saat perang rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir hampir di seluruh penduduk kampung di pulau Bangka yang umumnya petani peladang menyimpan padi di lumbung lumbung rahasia di dalam hutan. Kebiasaan ini dilakukan karena takut pada pencurian yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan yang berkeliaran dan takut juga terhadap pemerasan yang dilakukan oleh para kepala kepala rakyat. 

Pengerjaan ladang Padi atau Ume, mulai dari kegiatan awal mencari dan membuka hutan atau rimbak, membakar lahan, menanam dan merawat Padi hingga sampai panen (ngetem) Padi, dilakukan oleh masyarakat pribumi Bangka orang Darat dengan cara “saling tulong atau besao” antar keluarga batih monogami. 

BACA JUGA:Penjara Negara (Standegevangenis)

Besao adalah salah satu bentuk organisasi sosial tradisional saling tolong pada masyarakat Bangka. Untuk mengatasi tantangan lingkungan alam dan hutan rimba yang berat dan sulit, maka pekerjaan akan menjadi lebih ringan dan mudah diselesaikan bila dikerjakan secara bersama-sama dalam kelompok masyarakat peladang dengan saling tulong atau besao. Setiap rumah tangga keluarga batih peladang yang giliran ladangnya dikerjakan oleh kelompok besao, memiliki kewajiban untuk menyiapkan makan dan minum serta tempat sholat dan istirahat bagi anggota-anggota keluarga kelompok besaohnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: