Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Satu)

Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Satu)

Oleh: Dato’Akhmad ElvianDPMP - Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Penerima Anugerah Kebudayaan 

PADA Tahun 1803 Masehi sultan Kesultanan Palembang Darussalam Muhammad Bahauddin (masa pemerintahan Tahun 1776-1803 Masehi) digantikan oleh Raden Hasan bergelar Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin II (masa pemerintahan Tahun 1803-1821 Masehi) dan kekuasaan atas pulau Bangka penguasaannya diserahkan kepada Abang Muhammad Tajib bergelar Tumenggung Kerta Wijaya (anak Abang Ismail bergelar Tumenggung Kerta Menggala). 

Dalam Semaian 2, Carita Bangka, Het Verhaal van Bangka Tekstuitgave Met Introductie en Addenda, E.P. Wieringa, 1990, Vakgroup Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie Rijksuniversiteit te Leiden, halaman 119, dinyatakan ”...Tumenggung Kerta Wijaya dan di bawahnya satu saudaranya dari Tumenggung Kerta Menggala nama Abang Muhammad Saleh diangkat serta digelar rangga citra nindiata dan anak dari datuk Kumbang bernama abang Yunus diangkat serta digelar demang wirada perana, di bawahnya satu iparnya nama abang Muhammad menjadi jurutulis”. 

Bersamaan dengan pengangkatan jabatan tumenggung diangkat juga oleh Sultan Palembang Darussalam Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin II seorang depati di pulau Bangka yaitu Bahrin (putera Depati Karim atau Depati Anggur) sebagai penguasa di daerah Djeroek (menurut H. Amsan A. Rahman Jr dalam makalah Perjuangan Depati Bahrin dan Perlawanan Amir Terhadap Belanda di Bangka, Depati Bahrin lahir antara Tahun 1770-1775 Masehi). 

Kemudian pada masa itu diangkat Tikal sebagai Batin di wilayah Bangkakota, menurut A.A. Bakar, jabatan batin diperolehnya dari sultan Palembang dahulu sebelum Belanda berkuasa di pulau Bangka (Bakar, 1969:59). 

Gelar batin ini kemudian selalu melekat pada diri Tikal dan dikenal masyarakat dengan batin Tikal dan dalam kepustakaan nerlandocentris sering disebut dengan batin Tikal dari Penyampar. 

Berdasarkan aturan dan tradisi di Bangka sejak masa kesultanan Banten berkuasa di Bangka, jabatan batin diangkat dari pribumi Bangka dan sering juga disebut dengan kepala rakyat.

Jabatan Depati adalah Jabatan baru yang ditetapkan oleh Sultan Palembang Ahmad Najamudiin I Adikusumo (Tahun 1757-1776 Masehi) menggantikan jabatan patih atau proatin pada saat pulau Bangka dikuasai oleh Kesultanan Banten sekitar pertengahan abad 17 Masehi. 

Pada saat itu Panembahan Serpu dan Bupati Nusantara melaksanakan pemerintahan di pulau Bangka dengan mengangkat 7 orang patih dan proatin (wakil patih) serta  37 orang batin yang berasal dari penduduk pribumi pulau Bangka. 

Kemudian ditetapkan pula batas-batas wilayah masing-masing batin. Di samping penataan pemerintahan dilakukan juga penataan kembali peraturan adat istiadat berdasarkan pada adat kebiasaan masyarakat setempat. 

Pada masa pulau Bangka di bawah kekuasaan Kesultanan Banten, rakyat pulau Bangka sangat tentram dan sejahtera karena pengaturan masyarakat dan hukum adat dilaksanakan dengan baik oleh kepala-kepala rakyat yang disebut patih dan proatin. 

Jabatan ini merupakan jabatan tertinggi dalam sistem politik di pulau Bangka yang berasal dari pribumi Bangka (Elvian, 2016:12). 

Pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi) diangkatlah jabatan-jabatan politik kesultanan mulai dari tumenggung, depati (pengganti patih/pateh), hingga ke jabatan batin, keriya, gegading dan lengan sebagai kepala rakyat dan kepala pemerintahan.

 Jabatan-jabatan ini diangkat harus melalui izin dan restu dari sultan Palembang, sesuai dengan bunyi dari pasal 1 Undang-undang atau hukum adat Sindang Mardika yang menyatakan bahwa, “segala patih (kemudian menjadi depati) atau batin pesirah dan batin-batin tanah Bangka tiada boleh jadi melainkan dapat izin dari sultan Palembang” (De Clercq, 1895).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: