RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Tujuh)

RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK  (Bagian Tujuh)

Akhmad Elvian-Dok-

OLEH: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

LAHAN dan Kelekak diwariskan oleh orangtua kepada anak-anak mereka apabila yang bersangkutan telah meninggal. 

-----------------------

PROSES pemanfaatan dan pewarisan lahan dari rimbak ke kelekak terus berlangsung sampai pewarisan terhadap Kelekak terputus dan kemudian lahan dan Kelekak kembali menjadi milik komunal (bersama). Dalam konsep di masyarakat Bangka dikenal proses pewarisan hingga sampai Tujuh turunan dan dimulai dari hitungan anak (turunan 1), cucu(turunan 2), cicit(turunan 3), uning-uning(turunan 4), tangkai labu(turunan 5), tali kelambu (turunan 6) dan papan pengarem(turunan 7). Setelah turunan ketujuh atau fase setelah turunan papan pengarem, lahan dan kelekak kemudian kembali menjadi milik komunal. Kelekak yang telah menjadi milik komunal sering disebut kelekak usang, kelekak budel, kelekak kek Antak dan setiap individu anggota masyarakat boleh memanfaatkan hasil kelekak untuk kepentingannya.

BACA JUGA:RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Lima)

Pola kepemilikan dan pengelolahan lahan yang berlangsung turun menurun pada masyarakat, yang awalnya kepemilikan lahan diperoleh dari kegiatan membuka lahan pertama melalui pemberitahun (izin) kepada kepala-kepala rakyat (lengan, gegading, batin, depati) dan penanda kepemilikan melalui tanam tumbuh (rimbak-rebak-pemitak-kubak-bebak-kelekak) berangsur angsur  mulai diabaikan (diganti dengan surat penguasaan atas tanah, surat tanah atau sertifikat tanah). Selanjutnya perubahan pola kepemilikan lahan terjadi karena berubahnya fungsi lahan dari lahan ladang ume ke ladang pertanian dan perkebunan rakyat (smallholding) kepada lahan untuk pertambangan Timah dan untuk lahan perkebunan Kelapa Sawit berskala besar (milik satu perusahaan). 

Karena alasan dan kepentingan ekonomi, masyarakat melakukan penambangan terhadap Timah secara serampangan dan ilegal yang berakibat sering terjadinya konflik dalam pemanfaatan lahan. Lebih parah lagi penambangan dilakukan pada daerah yang dijadikan sebagai tanah yang difungsikan untuk hal-hal tertentu seperti lahan untuk kuburan, lahan untuk cadangan ladang atau ume, tempat yang dikeramatkan, tanah untuk perluasan kampung, tanah untuk konservasi alam seperti rabeng, bakau, baruk, amau, berok, hulu, hilir, aik, lelap, tumbek, hutan larang, kubak, kelekak, kebun, ladang rumbia, ladang kabung, dan sebagainya. Penambangan Timah secara ilegal tersebut tidak hanya melibatkan komunitas masyarakat lokal, melainkan dilakukan juga oleh masyarakat pendatang dari luar Pulau Bangka yang kurang memahami aturan dan kebiasaan budaya setempat. 

Kerusakan terhadap lahan hutan sesuai dengan fungsinya di atas akibat penambangan Timah tidak hanya berakibat pada rusaknya fungsi lahan dan hutan, bahkan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat. Sementara itu untuk perkebunan Kelapa Sawit dengan alasan investasi, Pemerintah Daerah sering mengabaikan hak-hak masyarakat terutama hak masyarakat adat dalam kepemilikan lahan dan hutan termasuk lahan turunannya seperti kubak dan kelekak. Konflik pemanfaatan lahan ini merupakan masalah serius yang harus dihadapi pemerintah daerah dan masyarakat Bangka saat ini maupun pada masa yang akan datang.

BACA JUGA:RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Empat)

Pada saat perlawanan rakyat Bangka melawan penjajahan Belanda, kawasan dan kelekak juga dijadikan sumber rantai makanan dan wilayah geografis kelekak menjadi salah satu dari mata rantai alur pertahanan pasukan Depati Amir yang harus dikuasai oleh pasukan militer Belanda. Berdasarkan surat korespondensi dari Komandan militer Belanda tentang garis wilayah pertahanan Depati Amir di wilayah Layang Bakem–Kelaka (maksudnya Kelekak Besar–Teluk Klabat), yang berhasil diamankan, disatukan dan dikuasai oleh militer Belanda, selengkapnya surat tersebut berbunyi: 

“Geheim Muntok, den 14 Agustus 1850 La H Aan: Den Majoor Militaire Kommandant van Banka Ik heb de Eer Gehad Uwele gestiengd bij mande de noodzakelijk Amir door door Militaire maatregelen te bedwingen, zoo hij blijft weigeren om toe te treden tot de hem gestalde voorwaarden. Uwele gesh: heeft die noodzakelijkheid beaamd, en na den hood djaksa te hebben geraad pleegd, is het ons gebleken dat dat de offensieve operatien zonden dienen aan tevangen uit Laijang Bakem en Klakka Besaar aande rivier Semoeboer, omdat troepen en vivres uit de Klabat baai te water kunnen worden over naar Laijang en Klakka gevoerd en zoo doen de met hrt minst mogelijk aantal koelies den meesten spoed kan worden betracht, vermist de lijnen die de Drie genoemde plaatsen vereeningen, het tereein insluiten naar Amir met zijne bende zich op houdh– Ten einde ik dien geest voorstellen aan de Regering te kunnen doen, neem ik de vrij heid Uwelegest te verzoeken mij te willen opgeven hoe vele troepen en andre middelen tot volvoering van het bedoeldeplan van Java moeten worden aan gevraagd, daarbij in aanworking neemende dat het hoogst moejeljk zel wezen op Java koelies aanteserven en dat op Banka volgen opgave van den hoofd djaksa maarschijnlijk 200 a 300 koelies kunnen worden verkregen. De Inspecteur Belast met eene zending naar get Eiland Banka (w.g.) Hoesebroek” (ANRI; Surat dari Inspektur Hoesebroek kepada Mayor Militer Komandan Bangka tertanggal Muntok 14 Agustus 1850, La. H. 173). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: