Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Satu)
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (Tahun 1803-1821 Masehi), pulau Bangka dikuasai oleh Kerajaan Inggris (Tahun 1812-1816 Masehi) dan ditandai juga dengan berkuasanya kembali Belanda di pulau Bangka setelah ditandatangani Traktat London (serah terima kekuasaan antara Inggris dan Belanda dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 1816 Masehi di Kota Muntok).
Dalam Kaart van het Eiland Banka 1819 dan Kaart van het Eiland Banka en de rivier van Palembang, Majoor Adjhaff, atau pada awal awal kekuasaan pemerintahan Belanda di pulau Bangka, tampaknya distrik Toboaly tempat kedudukan batin Tikal pada masa ini terbagi atas tiga depati yaitu Depati Permesang, Depati Balar dan Depati Pako. Wilayah Bangkakota dan sekitarnya sebagai wilayah kekuasaan Batin Tikal pada masa ini berada di wilayah Depati Permesang
Berkuasanya kembali Belanda atas pulau Bangka memicu perlawanan rakyat Bangka. Untuk memperbaiki kondisi keuangan Kerajaan Belanda yang porak poranda akibat perang, pada Tahun 1819 Masehi dikeluarkan Tin Reglement yang berisi: Penambangan Timah di Bangka langsung berada di bawah wewenang dan kekuasaan residen; Timah adalah monopoli penuh Belanda dan tambang Timah partikelir dilarang sama sekali beroperasi.
Tin Reglement, kemudian memicu berbagai perlawanan rakyat Bangka. Pada bulan Mei 1819 kepala-kepala rakyat di Toboali beserta dengan “Lanun” menyerbu parit-parit Timah di sekitar daerah sungai Kepoh dan kemudian merebut kembali Toboali dari tangan Belanda.
Lanun, Ilanun, atau Iranun dalam kepustakaan Barat sering dieja pula sebagai Illanun, Illano, Illanaon dan lain-lain berasal dari bahasa Mangindano I-lanao-en, yang berarti ‘orang dari danau’, yaitu Lanoa yang terletak di tengah pulau Mindanao, mereka seasal dengan suku bangsa Maranao yang sekarang masih mendiami daerah di sekitar Lanao (Lapian, 2009:137).
Akibat serangan kepala-kepala rakyat di Toboali dan Lanun, Letnan Biery dengan pasukannya lari tunggang langgang ke Pangkalpinang. Demikian pula kedudukan tentara Belanda di Jebus diserbu oleh kepala-kepala rakyat dan Lanun berkali-kali dan sebuah kapal perang Belanda dapat dirampas (Bakar, 1969:15).
Berdasarkan catatan Santosa, pada bulan Mei 1819, gerombolan bajak laut menyerbu pos militer di pesisir pantai dekat Kota Toboali yang dipertahankan 40 prajurit di bawah Letnan Biery. Serangan bajak laut juga terjadi atas sejumlah pos militer di pesisir Barat Laut Bangka. Kota Toboali dikosongkan karena militer Hindia Belanda tidak dapat menahan serbuan gerombolan bajak laut (Santosa, 2011:133,135).
Serangan terhadap Koba, Toboali, Keppo dan Djebus oleh rakyat Bangka digambarkan oleh P.H. van der Kemp tentang masa setelah pengambilalihan Belanda atas pulau Bangka dari tangan Inggris dan masa-masa awal kekuasaan Belanda di pulau Bangka: “Inspecteur-Generaal Smissaert had in den ous bekendeu brief van 12 Maart 1817, een ongunstig tafereel opgehangen over sommige toestanden in Banka's binnenlanden,üe volkshoofden, de batin schreef hij,lachten om alle orders en het hoofd van Koba, op de oostzijde des eilauds, werd als een nietswaardig voorwerp beschouwd, dat het gouvernement met open oogen bedroog.
De staat van zaken verergerde allengs; zelfs werd den 15 Mei 1819 het aan de zuidzijde gelegen mijndistrict Toboali aangevallenen afgelo open. De inueming van onze benting aldaar was toeteschrijven aan de wankelmoedige houding van den commandant, 2" luitenant Bury, die aan liet hoofd van 40 man den hem toevertrouwden post eenvoudig prijs gaf en op Pangkal-Pinang terugtrok, zouder éen man te hebben gewaagd.
Weinige dagen daarna werd het dicht bij Toboali gelegen Kappo aangetast, doch de aanval door het hoofd aldaar, den kapitein der Chiueezen, afgeslagen Eenderde aanval had in Juni plaats in het district Djeboos ook die werd afgeslagen, doch de vijaud maakte zich meester van een onzer kanonneerbooten” (Kemp, 1900;544-545), maksudnya "Inspektur Jenderal (residen) Smissaert dalam suratnya yang tertanggal pada 12 Maret 1817, sebuah situasi yang tidak menyenangkan terjadi di beberapa bagian wilayah pedalaman Banka, para kepala rakyat yang disebut dengan batin, menolak semua perintah Inspektur atau kepala distrik Koba, yang terletak di sisi Timur pulau Bangka.
Mereka menentang secara terbuka pemerintah. Keadaanpun semakin memburuk; bahkan pada tanggal 15 Mei 1819, distrik pertambangan Toboali, yang terletak di sisi Selatan, diserang.
Pemberontakan terjadi di sana disebabkan oleh sikap sang komandan yang gigih di wilayahnya, Letnan Dua Bury, dengan 40 orang pasukannya, berusaha mempertahankan wilayah dan jabatan yang dipercayakan kepadanya, dan kemudian mundur ke Pangkal-Pinang, salah satu wilayah yang telah ia jelajahi.
Beberapa hari kemudian, Kappo (maksudnya Kepoh), yang dekat dengan Toboali, diserang, tetapi serangan dapat dipertahankan oleh kepala pasukan di sana, kapten Chiuese.
Serangan Ketiga kalinya juga terjadi pada bulan Juni terhadap wilayah di distrik Djeboos, tetapi musuh ditangkap oleh salah satu pasukan bersenjata kami" (Kemp, 1900;544-545). (***/Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: