Tiko, Tauke, Kapthai Sampai Kapitan

Tiko, Tauke, Kapthai Sampai Kapitan

Oleh: Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan --

SETELAH pulau Bangka berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam akibat perkawinan politik antara Sultan Abdurrahman dengan puteri Bupati Nusantara, Juwaraja Kesultanan Banten yang berkedudukan di Bangkakota pada Tahun 1666 Masehi, dan kemudian pulau Bangka menjadi wilayah Sindang yang berstatus merdeka atau bebas (vryheren).

Tiap sultan dari Kesultanan Palembang Darussalam yang berkuasa di pulau Bangka kemudian menjadikan Timah sebagai sumber utama kekayaan kesultanan dan untuk mengelola Timah di pulau Bangka masing masing Sultan Palembang membuat satu kebijakan khusus yang berbeda. 

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam diperintah Sultan Mahmud Badarudin I Jayo Wikramo (memerintah pada 1724-1757 Masehi) Sultan membuat kebijakan mendatangkan pekerja-pekerja Cina yang terampil untuk menambang Timah guna meningkatkan produksi Timah di pulau Bangka dan untuk memenuhi kontrak perdagangan Timah dengan VOC yang secara awal telah ditandatangani pada Tahun 1710 Masehi masa sultan Muhammad Mansyur Jayo Inglago.

Selanjutnya pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo (memerintah pada 1757-1776 Masehi), untuk meningkatkan produksi Timah dan mengatur distribusi Timah sebagai penghasilan utama Kesultanan Palembang Darussalam, didirikanlah beberapa Pengkal atau Pangkal di pulau Bangka untuk tempat kedudukan Demang.

Para demang diangkat dari kerabat dekat atau keluarga sultan dan mereka berhubungan langsung dengan sultan. Para demang berada di luar sistem dan mekanisme pemerintahan yang ada. Pangkal sebagai tempat kedudukan demang yang didirikan pada masa itu adalah Pangkal Pinang, Pangkal Bendul, Bijat, Bunut, Rambat, Parit Sungai Buluh, Tempilang, Lajang, Sungailiat, Cengal, Pangkal Koba, Balar, dan Toboali.

Di samping mengurus distribusi Timah, para demang juga mengurus kewajiban membayar konsesi berupa Timah Tiban-Tukon setiap tahunnya oleh orang pribumi Bangka kepada sultan Palembang sebagai pajak.

Kewajiban membayar pajak Timah Tiban-Tukon hanya berlaku kepada penduduk pribumi Bangka, sedangkan orang-orang Melayu yang berasal dari Siantan terbebas dari membayar pajak Timah Tiban-Tukon. 

Pekerja tambang dari Cina sengaja didatangkan oleh sultan Palembang, mengingat penduduk pribumi Bangka terutama orang Darat lebih terkonsentrasi pada kehidupan berladang atau berume serta orang Laut dengan kehidupan di laut, pulau-pulau kecil dan di pesisir pantai.

Sejak masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo mulailah berdatangan orang-orang Cina dari Siam, Malaka, Malaysia dan dari Cina Selatan ke pulau Bangka. Kebanyakan mereka berasal dari suku Hakka (Khek) dan Hokkian (Hoklo) dari Provinsi Guang Xi.

Karena keahlian dari orang-orang Cina di bidang pertambangan Timah, maka produksi Timah dari pulau Bangka kemudian terus meningkat. Pada Tahun 1740 produksi Timah dari pulau Bangka mencapai sekitar 25.000 pikul, harga 1(satu) pikul kemudian dibeli Sultan Palembang Darussalam dengan harga sekitar 6-8 ringgit.

Pada masa Sultan Kesultanan Palembang Darussalam selanjutnya, Muhammad Bahauddin (Tahun 1776-1803) dibuatlah kebijakan mengangkat jabatan-jabatan kepala pada orang Cina dengan pangkat Tiko atau Tauke, kemudian mulai dibentuknya kongsi-kongsi penambangan Timah serta diizinkannya masing-masing kongsi penambangan Timah menggunakan Pitis Timah sebagai alat pembayaran yang berlaku dalam Satu distrik.

Kepala Kongsi dipanggil Tiko atau Taiko (PY:dage) atau Tauke yaitu saudara tua, nampaknya di bawah pengaruh Belanda abad 19, nama ini diubah menjadi Kapthai atau Kapitan (Heidhues, 2008:39). Berdasarkan Beknopte Encyclopaedie van Nederlansche Oost-Indie, “kongsi” adalah kata Cina untuk mengidentifikasikan sebuah firma, persekutuan, atau perkumpulan dengan makna yang sangat luas.

Kata kongsi berasal dari dialek Hokkien. Di dalam dialek Hakka, kongsi dibaca Kung-sze. Pada masa ini pula penambangan timah di Bangka mengenal istilah “kuli” dalam ejaan lama “koeli” berasal dari bahasa Tamil yang artinya orang yang disewa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: