Tiko, Tauke, Kapthai Sampai Kapitan

Tiko, Tauke, Kapthai Sampai Kapitan

Mulai dipekenalkan pula istilah “tauke” atau “towkay” atau tauke yang artinya bos dan istilah “sinkeh” yang artinya kuli Cina yang terikat pada tahun pertama dan bebas pada tahun kedua dan seterusnya.

Picis Timah yang dibuat oleh kongsi dan berlaku pada Satu distrik dapat ditukarkan di masing-masing kongsi dengan uang Tembaga dan uang Perak yang berlaku umum di semua distrik. Pada koleksi Museum Timah Indonesia Pangkalpinang terdapat beberapa jenis uang picis kongsi yaitu: Token kongsi sungai An dan (Antan) Jebus, token kongsi Ma nao, Belo, token kongsi Tan pie, Tempilang, token kongsi Bing lang/Pin long, Pangkalpinang.

Token kongsi terdiri dari salah satu permukaan dari picis kongsi bertuliskan akasara Cina yang menyatakan nama dari kongsi bersangkutan serta semboyan harapan, antara lain: nasib baik, subur, sejahtera dan sebagainya, dan permukaan yang lain bertuliskan huruf Arab. Di samping itu terdapat juga token picis kongsi untuk judi.

Pekerja tambang yang hendak membuka satu tambang Timah pada masa itu harus membentuk satu kongsi (kung-sze) pertambangan lebih dulu. Setiap kongsi biasanya terdiri dari Empat sampai Lima pemilik saham.

Salah seorang di antara pemilik saham kemudian dipilih menjadi kepala tambang atau kepala parit, sering juga disebut dengan kepala kongsi dan dalam bahasa Cina Bangka sering dipanggil “paritheeuw” (berasal dari kata bahasa Melayu “parit” dan kata bahasa Cina Bangka (hakka) “tou” yang berarti kepala).

Kepala tambang berperan ganda, di samping mengurus rumah tangga tambang juga menjadi perantara antara kongsi tambang dan staf perusahaan. Kepala tambang menerima barang-barang kebutuhan dan uang untuk keperluan anggota kongsinya dari staf perusahaan dan kemudian bertanggungjawab untuk mendistribusikannya.

Sebaliknya kepala tambang wajib menyerahkan Timah yang dihasilkan oleh tambangnya kepada staf perusahaan dengan harga yang telah ditetapkan. Dalam menjalankan tugasnya kepala tambang dibantu oleh sekretaris atau dalam bahasa Cina hakka disebut dengan “lo foen soi foe”. 

Berdasarkan ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda ke pulau Bangka yang dimulai pada 18 Juli 1803 sebagaimana dikutip Marihandono, dkk. (2019;209-210), bahwa dalam ekspedisi pemerintah Hindia Belanda yang mengikutsertakan beberapa kapal perang antara lain kapal perang Maria Rijgersbergen bersama dengan kapal-kapal layar eks VOC Maria Jacoba dan Beschermer dan dengan menggunakan beberapa kapal perang serta dikawal oleh beberapa kapal jenis panjajab, pada Tanggal 17 Agustus 1803 komandan ekspedisi yang menaiki kapal perang Maria Rygersbergen menuju ke Bangka.

Selanjutnya pada Tanggal 19 Agustus 1803 ekspedisi tiba di pulau Bangka. Dari hasil pengamatan diketahui,  bahwa jumlah teko atau tiko dan demang yang terbagi di tambang timah tidak lebih dari Tujuh orang.

Mereka itu antara lain; Kimas Tumenggung Astra Dikara, teko raja, yang membawahi distrik Bangka Tampelang, mempekerjakan 10 kuli tambang Cina. 

Kemudian juga distrik Bangka Nira (Nyireh), Bangka Kebu (Bangkakota) dan Bangka Toboali. Pada ketiga tempat ini tidak ada tambang timah, juga tidak ada penduduk orang gunung yang tinggal di sini; Sekanjutnya Nyai Ranga Bulo, yang bertindak sebagai teko dari raja dari distrik Marawang, yang mencakup 12 tambang timah dan 33 kuli tambang Cina.

Kemudian Ingabei (Ngabehi) Angsa Sedana, atau di luar dikenal dengan nama Ingabei Ismael, sebagai teko raja memegang kekuasaan atas distrik Jebus, yang mencakup 7 tambang timah dan 300 kuli timah Cina (di Bangka Jebus ada lebih banyak kuli tambang Cina daripada di tempat lain. Orang bisa mempertimbangkan bahwa tambang-tambang di sini digali lebih dalam daripada di tempat lain, yang umumnya lebih dangkal karena kurangnya tenaga penggali); Selanjutnya Ki Demang Bing, kepala bangsa Cina di Palembang yang bertindak sebagai teko bagi raja di distrik Blinyu dan Panji dengan cakupan tiga tambang timah, yang dikerjakan oleh 46 kuli timah.

Selanjutnya Saudagar Baba, teko raja yang membawahi empat tambang timah di distrik Bangka Lumut, yang dikerjakan oleh 40 orang kuli Cina dan kemudian ada Nyai Demang Jaya Layana, teko atau tiko putra mahkota di distrik Belo, di mana hanya ada satu tambang timah yang dikerjakan oleh 18 orang kuli Cina. 

Selanjutnya di laporkan bahwa wilayah Klabat memiliki empat tambang timah dan di sana bekerja 70 orang Cina. Layang memiliki empat tambang timah dengan 21 orang kuli Cina. Songie Liat memiliki 5 tambang timah dan di sana terdapat 45 orang kuli Cina dan Pankal Pinang yang memiliki 7 tambang timah yang mempekerjakan 35 pekerja Cina.

Terakhir Pangeran Adi, putra kedua raja tidak memiliki teko, mengelola sendiri tambang timahnya di Songaibulo yang dikerjakan oleh 52 orang kuli Cina (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: