Babel Dalam Masa Transisi, Ego Sektoral Jadi Penghambat
Ego sektoral yang kemudian berkembang di Babel telah mengganggu kinerja secara keseluruhan. Keputusan yang membutuhkan kecepatan dan ketepan dalam bertindak menjadi lambat. Surat menyurat pemerintahan daerah yang seharusnya bisa diselesaikan dalam sehari membutuhkan waktu berminggu-minggu. Alasan pun bisa timbul bermacam ragam. Apalagi internet di Babel sering lemot atau error, dan sebagainya.
Dan itu fakta yang terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Belum lagi ego para Bupati yang tidak pernah menganggap bahwa Gubernur bukanlah atasan mereka. Belum lagi soal perdebatan ego sektoral tadi yang kemudian menjadi mata rantai panjang, terus berlangsung dalam kurun waktu lama.
Sehingga hampir kita bisa mengatakan bahwa manajemen daerah berjalan secara 'auto pilot'. Kehadiran para pemimpin daerah semata sekedar unsur de jure. Sedangkan secara de facto tidak berjalan sempurna.
Problematika seperti ini menghantui dan berjalan tahun-tahun depan dalam problematika kepemimpinan di Babel. Banyak fasilitas yang dibangun di Babel tidak berfungsi dengan baik. Ada yang sudah selesai tetapi tidak berfungsi. Ada yang sedang berjalan akan berhenti ditengah jalan. Ada yang seharusnya Babel mendapat proyek, malah tidak jadi, kalah dengan daerah lain yang kepemimpinannya lebih kompak.
Bahkan pernah suatu ketika beberapa provinsi dipanggil Kementerian PUPR untuk pengajuan proyek di Babel. Provinsi Sumatera Selatan, mulai dari Gubernurnya dan seluruh Bupati yang ada di Sumsel ikut hadir, sehingga seluruh proyek yang diajukan dikabulkan oleh PUPR. Sedangkan Babel tidak demikian, banyak Bupati tak datang, sehingga proyek untuk daerahnya dicoret oleh PUPR.
Itulah resiko eko sektoral dan ego kepemimpinan yang tidak berjalan harmonis dan sepaham di Babel. Bahkan banyak acara-acara penting di Babel, undangan sang Gubernur diabaikan, dan hanya mengirim utusan.
Babel Perlu Perhatian Khusus
Dalam kondsi dan situasi seperti ini, sebenarnya kepemimpinan di Babel perlu pendampingan. Yang paling cocok melakukan sebenarnya Forum Pejuang Provinsi Babel. Karena mereka seharusnya bekerja secara profesional, sebab mereka memiliki emosional yang amat dalam memperjuangkan Babel agar sesuai dengan cita-cita bersama.
Seharusnya forum ini merupakan kumpulan orang-orang yang tidak punya kepentingan apa-apa. Semata untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung. Tetapi belakangan, organisasi kumpulan para pejuang kini terpecah. Pihak lain ada yang berjuang untuk membangun Babel, pihak lain lagi ada yang menggunakan organisasi untuk mencari penghidupan.
Melalui tulisan ini, penulis menghimbau agar sebaiknya para pejuang Babel berkumpul dan melakukan introspeksi bersama untuk merumuskan Babel pada masa transisi seperti sekarang ini.
Selain organisasi presidium para pejuang Babel, berbagai organisasi kemasyarakatan lain pun harus mulai sadar untuk bersatu padu membantu agar dapat menyatukan langkah, agar semua kekhawatiran itu dapat terhindarkan. Presidium pejuang terbentuknya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus menempatkan diri sebagai perjuangan moral, bukan perjuangan politik atau bukan gerakan politik. Karena organisasi para pejuang sekarang ini adalah Ormas (organisasi kemasyarakatan), bukan partai politik.
Kalau dulu waktu memperjuangkan terbentuknya provinsi menjadi gerakan politik adalah sebuah keharusan. Sekarang organisasi para pejuang terbentuknya provinsi menjadi wadah pemersatu dari semua komponen yang ada di Babel bukan milik orang perorang. Salah jika organisasi forum pejuang melakukan gerakan politik. Dan, menjadi sebuah kejumudan, jika kemudian organisasi ini dibawa ke arah dukung mendukung seorang tokoh seperti yang ada sekarang.
Kondisi dan situasi ini, jika dibiarkan, maka Babel hanya akan berjalan ditempat dengan sejumlah kegiatan rutin yang sudah dianggarkan oleh Pemerintah Pusat. Karena Pemerintah Pusat juga terlalu bersikap pasif, apatis, dan memberikan pelayanan standar ganda dalam menerapkan pola pembangunan. Satu sisi Pemerintah Pusat ingin agar daerah mandiri dalam mengelola daerahnya.
Tapi pada sisi lain, semua kekuasaan daerah mulai dipreteli satu demi satu, khususnya dalam dunia pertambangan. Sehingga daerah mulai kehilangan kendali atas wewenang dan wilayahnya. Sikap mendua Pemerintah Pusat ini, membuat daerah manapun di Indonesia menjadi vakum. Kalaulah tidak disebut “alami stagnan”.
Mimpi buruk ini akan menghantui Babel, sehingga diperlukan kepemimpinan yang progresif dan aktif dengan kecepatan dan ketepatan tinggi dalam penanganan dan sentuhan yang membawa berkah. Tiga anggota DPR RI yang mewakili Babel harus mulai konsen terhadap pandangan ini. Ketiga anggota dewan yang terhormat dari Nasdem, dari PDIP, dan dari Golkar, tak semata memperjuangkan partainya. Juga tak semata hanya melakukan program sunatan masal atau bagi-bagi sembako, tetapi bagaimana Babel berkiprah juga harus dipikirkan sehingga pencapaian kemakmuran masyarakat Babel betul-betul tercapai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: