Mimpi Hijau Anak Negeri Timah

Mimpi Hijau Anak Negeri Timah

Hafizha Syifa Al Fajri --Foto: ist

Oleh Hafizha Syifa Al Fajri

Siswa SMA Muhammadiyah Pangkalpinang

___________________________________________

Bangka Belitung sering disebut sebagai “negeri timah”, sebuah julukan yang seharusnya identik dengan kemakmuran. Namun kenyataannya, di balik kekayaan alam itu, banyak masyarakat justru hidup dalam keterbatasan. Lubang-lubang tambang kini menjadi pemandangan biasa di sekitar desa, sementara sungai dan laut yang dulu menjadi sumber kehidupan perlahan kehilangan maknanya. Kekayaan yang seharusnya membawa kesejahteraan justru melahirkan ketimpangan sosial dan luka ekologis.

Sebagai generasi muda yang lahir dan besar di tanah ini, saya sering bertanya: mengapa kekayaan alam tidak selalu berarti kesejahteraan bagi rakyatnya? Pertanyaan sederhana itu membawa kita pada kenyataan bahwa pembangunan di daerah ini masih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek. Politik dan ekonomi berjalan beriring, tetapi sering kali melupakan masyarakat kecil yang paling terdampak oleh keputusan-keputusan besar.

Masyarakat pesisir kehilangan hasil tangkapan karena laut tercemar lumpur tambang. Petani kehilangan lahan karena tanah berubah menjadi kawasan eksploitasi. Sementara itu, keuntungan besar dari tambang justru mengalir ke kelompok tertentu yang memiliki akses terhadap izin dan kekuasaan. Di sinilah letak persoalan politik ekonomi Bangka Belitung: distribusi manfaat yang tidak adil dan lemahnya keberpihakan terhadap rakyat.

BACA JUGA:Koperasi Merah Putih: Jalan Tengah Ekonomi Rakyat Timah di Era Prabowo

BACA JUGA:Fiskal Infus, Janji Melimpah Menakar Kepemimpinan Baru Pangkalpinang Di Tengah Napas APBD yang Sesak

Kondisi ini menimbulkan berbagai konflik sosial, baik antara warga dengan perusahaan, antarwarga yang berebut lahan tambang, maupun antara masyarakat dan aparat penegak hukum. Dalam banyak kasus, konflik tersebut bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal harga diri dan rasa keadilan. Rakyat merasa kehilangan ruang hidup, sekaligus kehilangan suara dalam menentukan nasibnya sendiri.

Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang arah pembangunan daerah. Bangka Belitung perlu beralih dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi berkelanjutan yang lebih adil dan manusiawi. Potensi perikanan, pertanian organik, hingga pariwisata berbasis alam dan budaya lokal dapat dikembangkan sebagai sumber ekonomi alternatif. Namun, semua itu membutuhkan komitmen politik dan keberanian moral dari para pemimpin untuk tidak lagi menutup mata terhadap kerusakan dan ketimpangan yang terjadi.

Sebagai pelajar, saya percaya perubahan besar berawal dari kesadaran kecil. Generasi muda tidak boleh diam. Kami harus berani bersuara, menjaga alam, dan menuntut keadilan sosial bagi masyarakat. Kami ingin mewarisi masa depan yang hijau, adil, dan bermartabat—bukan deretan lubang tambang yang menjadi saksi bisu dari kesalahan masa lalu.

Bangka Belitung memiliki potensi luar biasa untuk bangkit. Namun, itu hanya mungkin jika kekayaan alam dikelola dengan hati nurani, bukan sekadar hitung-hitungan ekonomi. Kekayaan sejati bukan terletak pada timah yang digali, tetapi pada manusia yang hidup damai di atas tanahnya sendiri.

BACA JUGA:QRIS Tap: Jelajah Rasa dengan Kecepatan Digital

BACA JUGA:Mendorong Pariwisata Babel: Kunci Pertumbuhan Ekonomi dan Transformasi Daerah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: