Oleh: Rulyanti Susi Wardhani
Dosen FEB, Prodi Akuntansi Universitas Bangka Belitung
___________________________________________
Selama hampir dua dekade, Indonesia dikenal sebagai bintang ekonomi Asia Tenggara. Pertumbuhan stabil, inflasi terkendali, dan nilai tukar yang relatif aman menjadikan negeri ini panutan di antara negara berkembang. Namun, memasuki 2025, narasi keajaiban ekonomi itu mulai menghadapi ujian serius. Defisit anggaran melebar, rasio utang negara mendekati ambang batas aman, dan tekanan demografi semakin terasa ketika lapangan kerja tak mampu menampung ledakan angkatan kerja muda.
Pemerintah kini dihadapkan pada dilema klasik: mempertahankan pertumbuhan ekonomi tanpa memperparah kondisi fiskal. Beban subsidi energi yang masih besar, kewajiban pembayaran utang yang terus membesar, dan kebutuhan pembangunan infrastruktur yang mendesak, menciptakan tekanan kuat terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Di tengah ekspektasi publik yang tinggi dan tekanan sosial akibat ketimpangan yang belum terselesaikan, pemerintah harus memilih antara mengambil langkah berani atau bermain aman secara politik dengan risiko jangka panjang yang berat.
Ironisnya, 2025 juga membawa peluang strategis yang jarang datang dua kali. Harga komoditas global masih cukup tinggi, arus investasi asing tetap stabil, dan posisi Indonesia di tengah rivalitas geopolitik memberi keunggulan diplomatik dan ekonomi. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan untuk memperkuat fondasi fiskal, Indonesia berisiko terjebak dalam stagnasi pertumbuhan dengan tekanan anggaran yang terus meningkat.
Dalam konteks ini, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi cermin menarik dari tantangan yang dihadapi. Ketergantungan yang tinggi terhadap tambang timah membuat perekonomian daerah ini sangat rentan terhadap gejolak harga komoditas. Ketika harga timah turun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) ikut menurun drastis, memaksa pemerintah daerah menggantungkan anggaran pada dana transfer dari pusat. Potensi besar di sektor kelautan, pariwisata, dan ekonomi kreatif belum tergarap optimal, sehingga menjadikan ketergantungan ini bukan hanya risiko fiskal, tetapi juga kegagalan dalam membangun fondasi ekonomi daerah yang berkelanjutan.
BACA JUGA:QRIS Solusi Tingkatkan Penerimaan Daerah
BACA JUGA:Ketika Keuntungan Diatas Segala: Membedah Bisnis Tambang Timah Ilegal di Bangka Belitung
Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah daerah di Babel perlu mengambil langkah-langkah konkret dan terukur. Diversifikasi ekonomi menjadi keharusan. Sektor-sektor seperti pariwisata bahari, perikanan tangkap berkelanjutan, dan industri halal berbasis UMKM perlu didorong sebagai sumber pertumbuhan baru yang dapat memperkuat struktur ekonomi daerah.
Selain itu, Pemprov harus membenahi sistem PAD melalui digitalisasi pemungutan pajak dan perbaikan basis data objek pajak, agar pendapatan tidak hanya mengandalkan sumber-sumber tradisional. Langkah berikutnya adalah mendorong efisiensi belanja publik. Alokasi anggaran hendaknya lebih difokuskan pada kegiatan produktif yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, seperti infrastruktur pelayanan dasar, pendidikan vokasi, dan dukungan untuk pelaku usaha kecil.
Dalam jangka menengah, Babel juga harus mulai membangun kemitraan investasi strategis melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), agar kebutuhan infrastruktur tidak semata membebani APBD.
Di atas semua itu, peningkatan kapasitas fiskal daerah mutlak diperlukan. Pemerintah daerah perlu memperkuat perencanaan anggaran berbasis kinerja, meningkatkan kualitas SDM aparatur sipil negara di bidang fiskal, dan memperkuat koordinasi lintas sektor agar kebijakan pembangunan tidak berjalan sendiri-sendiri.
Tahun 2025 bisa menjadi awal pembaruan ekonomi Indonesia—jika pemerintah pusat dan daerah sama-sama berani menghadapi risiko dan mengambil keputusan strategis. Tanpa itu, peluang yang ada hari ini hanya akan menjadi cerita tentang kesempatan yang terlewat.
BACA JUGA:Optimalkan Penerimaan Daerah dan Kinerja APBD melalui Elektronifikasi Transaksi Pemda