Membentuk Karakter Generasi Muda Lewat Sekolah Berasrama: Belajar 24 Jam Tentang Hidup

Membentuk Karakter Generasi Muda Lewat Sekolah Berasrama: Belajar 24 Jam Tentang Hidup

Feni Yulianti --Foto: ist

Oleh: Feni Yulianti

Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Bangka Belitung

___________________________________________

Di era yang serba cepat ini, banyak orang tua merasa khawatir: bagaimana anak-anak mereka akan tumbuh di tengah derasnya arus teknologi, media sosial, dan budaya instan? Gawai yang tak pernah lepas dari genggaman, informasi tanpa saring yang membanjiri layar, dan pergaulan yang makin kompleks kerap membuat pembentukan karakter menjadi pekerjaan rumah yang rumit.

Di sinilah pendidikan karakter menemukan urgensinya. Bukan sekadar slogan, melainkan kebutuhan mendesak. Salah satu pendekatan yang terbukti efektif adalah sistem pendidikan berasrama atau boarding school, di mana peserta didik tidak hanya belajar di kelas, tetapi juga menjalani kehidupan sehari-hari dalam lingkungan yang terkendali, penuh pembiasaan positif, dan teladan nyata.

Pendidikan Karakter: Bukan Teori, Tapi Kebiasaan

Banyak yang mengira pendidikan karakter cukup diajarkan lewat mata pelajaran khusus atau nasihat guru. Padahal, karakter dibentuk bukan hanya melalui kata-kata, tapi lewat pembiasaan yang konsisten, suasana yang kondusif, dan interaksi sehari-hari. Berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan dengan judul Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Berbasis Boarding School menunjukkan bahwa sekolah berasrama memiliki keunggulan dalam hal ini. Peserta didik hidup dalam lingkungan yang “hidup” dengan nilai-nilai karakter. Lima nilai utama menjadi fondasi: religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas. Nilai-nilai karakter ditanamkan melalui kebiasaan-kebiasaan selama di asrama dan sekolah.

Nilai religius, misalnya, dibentuk melalui rutinitas ibadah berjemaah, tadarus sebelum belajar, puasa sunah, dan pembiasaan berpakaian sopan sesuai nilai-nilai agama. Nilai nasionalis ditanamkan setiap hari dengan menyanyikan lagu kebangsaan sebelum memulai pembelajaran, lewat upacara rutin, peringatan hari-hari besar nasional, serta diskusi tentang empat pilar kebangsaan dan Sejarah Indonesia.

Kemandirian muncul karena siswa bertanggung jawab atas kebutuhan pribadi dan tugas-tugas asrama, mulai dari membersihkan kamar hingga mengatur jadwal belajar. Nilai gotong royong hadir lewat kegiatan kebersihan bersama, mengelola taman sekolah, hingga proyek daur ulang sampah yang dilakukan disekolah. Sementara integritas tumbuh melalui pembiasaan jujur, disiplin, dan menghargai aturan.

 

BACA JUGA:Aplikasi SIPD untuk Reformasi Birokrasi Pengelolaan Keuangan Daerah

BACA JUGA:Pelayanan Kepegawaian Memadai (LAYANI) di DKP Provinsi Kepulauan Babel: Inovasi Internal Berbasis Kepedulian

Belajar di Kelas, Belajar di Kehidupan

Sekolah berasrama mengintegrasikan pendidikan karakter di tiga basis: kelas, budaya sekolah, dan keterlibatan masyarakat. Di kelas, pendidikan karakter tidak berdiri sendiri, tapi melekat pada proses belajar. Guru tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga menanamkan sikap. Misalnya, metode diskusi mengajarkan cara menghargai pendapat orang lain, pembelajaran kelompok melatih kerja sama, dan pengelolaan kelas mendorong disiplin. Di luar kelas, budaya sekolah menjadi media pembentuk karakter. Peraturan jelas, tradisi salam dan senyum, budaya minta maaf dan berterima kasih, hingga kegiatan ekstrakurikuler yang membangun kreativitas, kepedulian lingkungan, dan semangat kebersamaan.

Yang tak kalah penting adalah basis masyarakat. Sekolah bekerja sama dengan orang tua, tokoh masyarakat, dan pihak luar untuk mengadakan kegiatan seni, pengajian, festival, dan pelatihan. Dukungan ini memperluas pengalaman siswa, menghubungkan mereka dengan dunia nyata, dan memperkuat pesan karakter yang sudah ditanamkan di sekolah.

Hidup 24 Jam Bersama Karakter

Keunggulan sekolah berasrama terletak pada keberlangsungan proses pembentukan karakter selama 24 jam penuh. Di sinilah bedanya dengan sekolah umum. Di sekolah umum, pembiasaan berhenti ketika bel pulang berbunyi. Siswa kembali ke lingkungan rumah yang mungkin tidak mendukung proses tersebut. Di sekolah berasrama, setiap waktu adalah kesempatan belajar. Waktu subuh diisi ibadah berjemaah, siang dengan kegiatan akademik, sore hingga malam dengan berbagai aktivitas pembiasaan, baik akademik maupun nonakademik. Bahkan saat santai pun, siswa tetap berada dalam pengawasan dan bimbingan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: