Fiskal Infus, Janji Melimpah Menakar Kepemimpinan Baru Pangkalpinang Di Tengah Napas APBD yang Sesak

Eddy Supriadi --Foto: ist
Oleh: Eddy Supriadi
Akademisi Universitas Pertiba Bangka Belitung
___________________________________________
Kota Pangkalpinang kembali menulis babak baru kepemimpinan dengan semangat perubahan. Di atas panggung kampanye, jargon dan janji bertebaran seperti bintang di langit malamterang tapi belum tentu bisa dijangkau.
Dalam suasana fiskal yang “infus dari pusat”, pasangan Prof. Udin & Cece Dessy tampil membawa visi populis yang menggugah harapan: menurunkan pajak bumi dan bangunan (PBB), memberi santunan Rp5 juta per keluarga, bantuan usaha mikro hingga Rp100 juta, serta berobat gratis hanya dengan KTP. Janji-janji yang manis, namun realitas anggaran berbicara lebih getir.
Kota Bertabur Janji, Kas Daerah Masih Kering
Kondisi APBD Pangkalpinang hari ini dapat diibaratkan seperti pasien rawat jalan bisa bergerak, tapi tergantung selang infus dari pemerintah pusat. Lebih dari 80% pendapatan daerah masih bersumber dari transfer dana pusat (DAU, DAK, dan DBH). Ruang fiskal untuk program baru menjadi terbatas, apalagi untuk janji populis bernilai miliaran rupiah per tahun.
Jika tidak hati-hati, visi mulia bisa terjebak menjadi beban struktural keuangan daerah. Sebab, berobat gratis, santunan hidup layak, dan kenaikan honor perangkat lingkungan bukan sekadar wacana moral, tetapi angka yang harus dikelola dengan presisi fiskal.
Realitas Fiskal
Dalam kacamata akademis, Prof. Udin dan Cece Dessy membawa gaya kepemimpinan transformasional ingin mengubah wajah kota dengan semangat inklusif dan keberpihakan pada rakyat kecil. Namun, dalam konteks fiskal terbatas, kepemimpinan seperti ini harus berpadu dengan karakter entrepreneurial governance pemerintahan yang kreatif menggali sumber daya lokal, bukan hanya menunggu transfer pusat.
Pemimpin Pangkalpinang ke depan bukan sekadar aktor panggung politik, melainkan manajer keseimbangan (manager of balance). Ia harus menyeimbangkan janji dan realita, idealisme dan neraca, antara politik rasa ingin menolong dan kewajiban akuntabilitas publik.
BACA JUGA:QRIS Tap: Jelajah Rasa dengan Kecepatan Digital
BACA JUGA:Mendorong Pariwisata Babel: Kunci Pertumbuhan Ekonomi dan Transformasi Daerah
Janji Harus Bertumpu pada Aturan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: