Bukan Cuma Pintar, Anak Perlu Cerdas Mengelola Emosi

Bukan Cuma Pintar, Anak Perlu Cerdas Mengelola Emosi

Feni Yulianti --Foto: ist

Peningkatan kecerdasan emosional tidak bisa dilakukan secara instan. Lingkungan sekolah dan keluarga harus menjadi ruang latihan yang konsisten. Guru PAI, misalnya, dapat mengintegrasikan pembelajaran agama dengan kegiatan refleksi diri, diskusi kelompok, atau permainan peran yang melatih empati dan pengendalian diri. Contoh sederhana, saat membahas ayat tentang sabar, guru bisa meminta siswa menceritakan pengalaman ketika mereka harus bersabar, lalu mengajak teman-teman memberi masukan positif. Atau ketika membahas ayat tentang persaudaraan, siswa diajak membuat kegiatan sosial seperti bakti lingkungan atau penggalangan dana untuk korban bencana. Orang tua juga memegang peran penting. Menghargai pendapat anak, mendengarkan keluh kesah mereka tanpa menghakimi, dan memberi teladan dalam bersikap akan memperkuat pembelajaran emosional. Selain itu, pembiasaan kecil seperti mengucapkan terima kasih, meminta maaf dengan tulus, dan mengekspresikan perasaan secara sehat perlu dibudayakan di rumah maupun sekolah.

Menjawab Tantangan Era Digital

Di era digital, anak-anak sering dihadapkan pada konten yang memicu emosi negatif: berita hoaks, ujaran kebencian, atau perundungan daring. Tanpa kecerdasan emosional, mereka akan mudah terprovokasi atau terjebak dalam perilaku yang merugikan. Pendidikan Agama Islam yang dipadukan dengan pembinaan kecerdasan emosional bisa menjadi benteng yang kokoh. Siswa tidak hanya diajarkan mana yang benar dan salah, tetapi juga dilatih untuk menenangkan hati, berpikir jernih, dan bertindak bijak dalam menghadapi situasi sulit. Mereka akan terbiasa memeriksa kebenaran informasi sebelum membagikannya, menghindari komentar kasar di media sosial, dan lebih bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat di dunia maya.

Kita sepakat bahwa pembaruan dalam dunia pendidikan adalah hal yang penting. Salah satu pendekatan yang patut diapresiasi adalah pembelajaran yang tidak hanya menajamkan kemampuan berpikir, tetapi juga menumbuhkan kecerdasan emosional. Tulisan ini merupakan tulisan yang bersumber dari penelitian saya yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan dan Motivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam” SMP PGRI Kota Bengkulu, yang telah dipublikasikan di jurnal SINTA 5 yang Bernama jurnal INNOVATIVE: Journal of Social Science Research Volume 5 Nomor 3 Tahun 2025, halaman 2807–4246. Terbukti bahwa keberhasilan belajar agama tidak hanya diukur dari nilai ujian, tetapi dari sejauh mana siswa mampu menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan. Kecerdasan emosional adalah jembatan yang menghubungkan pengetahuan dengan pengamalan. Jika kita ingin mencetak generasi yang tidak hanya pintar tetapi juga mampu menebarkan kedamaian, keadilan, dan kasih sayang, maka membangun kecerdasan emosional adalah tugas bersama. Guru, orang tua, dan masyarakat harus bergandengan tangan membentuk lingkungan yang mendukung lahirnya insan berilmu dan berakhlak mulia.

Harapannya, gagasan ini dapat menginspirasi para guru, pembuat kebijakan, orang tua, dan seluruh elemen masyarakat untuk memberi porsi yang seimbang antara pembelajaran akademik dan pembinaan kecerdasan emosional. Dengan keseimbangan tersebut, kita akan melahirkan generasi yang tak hanya unggul dalam pengetahuan, tetapi juga berkarakter mulia, berpikir arif, dan mampu menjadi panutan di lingkungan sekitarnya.

BACA JUGA:Pendidikan yang Gagal Merawat: Bullying, Trauma, dan Nyawa yang Terenggut

BACA JUGA:Bukan Deep Learning, Pendidikan Indonesia Butuh Perbaikan Supervisi dan Kompensasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: