Ketika Dunia Maya Jadi Ladang Kolonialisme Baru: Cyber Crime Sebagai Alat Kuasa Global

Sarkawi --Foto: ist
Oleh : Sarkawi, S.H.
Ketua IMM Babel
___________________________________________
Selama ini kita memandang Cyber Crime sebatas sebagai kejahatan digital: peretasan akun, pencurian data, penipuan daring, atau serangan ransomware. Tapi jika kita tarik lebih jauh dan melihat dari lensa geopolitik, kejahatan siber sebenarnya adalah bagian dari pertarungan kuasa global di mana negara-negara maju dan korporasi teknologi besar memperluas dominasi mereka atas negara-negara berkembang. Dalam konteks ini, dunia maya tak ubahnya ladang kolonialisme baru. Dan Cyber Crime? Adalah alat dan gejala dari sistem yang lebih besar: penguasaan digital.
Dalam dunia fisik, kolonialisme muncul lewat penaklukan tanah, eksploitasi sumber daya, dan pengendalian pasar. Di dunia digital, kolonialisme hadir lewat dominasi atas data, algoritma, infrastruktur internet, dan tentu saja, keamanan siber. Negara-negara dengan teknologi canggih memiliki kapasitas intelijen dan pertahanan siber yang kuat, sekaligus bisa melancarkan serangan siber ke negara lain tanpa pernah menyentuh batas fisik. Sementara itu, negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali hanya jadi "pengguna" tanpa kuasa dengan data warga negaranya tersimpan di server luar negeri, perangkat digital bergantung pada sistem operasi asing, dan minimnya kedaulatan terhadap apa yang terjadi di ruang siber mereka sendiri.
Cyber Crime, dalam banyak kasus, bukan hanya kejahatan personal, tapi juga cermin dari ketidakadilan struktural. Banyak serangan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dari negara miskin ke negara kaya bukan hanya karena niat jahat semata, melainkan karena dorongan ekonomi dan ketiadaan akses pada pekerjaan formal di industri digital legal. Di sisi lain, banyak pula kejahatan digital yang dilakukan oleh negara atau korporasi besar dengan cara “legal seperti penyedotan data pengguna, pelacakan aktivitas daring, hingga manipulasi opini publik melalui algoritma. Tapi karena mereka punya kekuatan politik dan infrastruktur teknologi, perilaku tersebut tidak pernah dianggap sebagai kejahatan. Inilah bentuk lain dari cyber colonialism di mana yang berkuasa menentukan apa yang disebut "kejahatan" dan apa yang dianggap "inovasi."
BACA JUGA:BERDAYA MEMIMPIN, BABEL MAKIN BERDAYA
BACA JUGA:Bagi THR dengan QRIS, Solusi Lebih Mudah dan Cepat!
Jika dulu koloni punya batas fisik, maka hari ini koloni hadir dalam bentuk ruang data. Kita bisa ambil contoh bagaimana aplikasi media sosial global memiliki kuasa besar terhadap narasi publik Indonesia. Bagaimana server penyimpanan data terbesar tidak berada di dalam negeri. Bagaimana algoritma global bisa mendorong hoaks politik, mengamplifikasi ujaran kebencian, atau mempengaruhi hasil pemilu tanpa satu pun pelaku yang bisa ditindak secara hukum di dalam negeri. Sementara itu, hukum siber kita tertinggal, penegak hukum gagap teknologi, dan pendidikan digital belum menyentuh masyarakat lapisan bawah. Maka tak heran jika warga hanya jadi korban dari kejahatan siber, tanpa pernah benar-benar memahami akar permasalahannya.
Dunia telah berubah. Penjajahan tak lagi datang dengan senapan dan kapal dagang, tapi lewat aplikasi dan jaringan internet. Jika kita tidak waspada, maka Indonesia hanya akan jadi pasar digital raksasa tanpa kontrol, ladang eksploitasi data tanpa perlindungan, dan korban Cyber Crime yang terus berulang tanpa penyelesaian. Sudah waktunya kita melihat Cyber Crime bukan hanya sebagai kejahatan, tapi juga sebagai panggilan untuk menata ulang relasi kuasa di dunia digital. Karena kedaulatan masa depan tidak lagi hanya soal batas wilayah, tetapi soal siapa yang menguasai data dan algoritma.
BACA JUGA:Dua Pilar Utama Dalam Meningkatkan Prestasi di SD Negeri 6 Pangkalpinang
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: