Menggempur Korupsi dari Akar: Urgensi Pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset untuk Menyelamatkan Uang Rakyat

Sarkawi --Foto: ist
Oleh: Sarkawi, S.H
Ketua Umum DPD IMM Bangka Belitung
___________________________________________
Indonesia telah lama bergelut dengan persoalan korupsi yang mengakar dalam berbagai sektor kehidupan. Meski berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penguatan perangkat hukum, praktik korupsi masih merajalela. Salah satu tantangan utama dalam menindak para pelaku korupsi adalah pemulihan kerugian negara yang ditimbulkan. Dalam konteks ini, Undang-Undang Perampasan Aset menjadi instrumen hukum yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan pemulihan aset negara.
Undang-Undang Perampasan Aset memungkinkan penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tanpa bergantung pada putusan pidana terhadap pelaku. Mekanisme ini dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture (NCB), yang memungkinkan negara mengambil alih aset ilegal meski pelaku belum atau tidak terbukti bersalah dalam pengadilan pidana. Konsep ini menjadi penting mengingat dalam banyak kasus korupsi, pembuktian pidana sering kali menghadapi kendala teknis, administrasi, dan politik yang memperlambat proses hukum.
Pengesahan undang-undang ini menjadi sangat mendesak mengingat lemahnya mekanisme pemulihan aset dalam sistem hukum Indonesia saat ini. Berdasarkan data yang ada, tingkat pengembalian kerugian negara akibat korupsi masih jauh dari optimal. Aset hasil kejahatan sering kali disamarkan melalui berbagai modus, seperti penyamaran aset (asset concealment) dan pencucian uang (money laundering). Ketiadaan perangkat hukum yang memadai membuat negara kehilangan potensi pemulihan aset dalam jumlah yang sangat besar.
Lebih lanjut, absennya Undang-Undang Perampasan Aset memperlihatkan kekosongan hukum yang berdampak pada ketidakmampuan negara menindak secara efektif aset yang diduga hasil kejahatan. Mekanisme yang ada saat ini, seperti penyitaan dalam hukum acara pidana, mensyaratkan pembuktian melalui putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (in kracht). Proses ini sering kali memakan waktu lama dan membuka peluang bagi pelaku untuk menghilangkan atau menyembunyikan aset. Dengan adanya Undang-Undang Perampasan Aset, negara akan memiliki instrumen yang lebih fleksibel dan cepat dalam mengamankan aset yang diduga berasal dari tindak pidana.
BACA JUGA:Bangka Harus Di-Pucak, Siapa Pacak?
BACA JUGA:Roy..., Pangkalpinang Memanggilmu!
Dari perspektif hukum internasional, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang mengamanatkan pentingnya mekanisme pemulihan aset yang efektif. Sejumlah negara yang telah menerapkan konsep NCB, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, menunjukkan efektivitas perampasan aset tanpa putusan pidana dalam mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan. Dengan demikian, pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi langkah penting dalam menyelaraskan hukum nasional dengan standar internasional.
Urgensi pengesahan undang-undang ini juga berkaitan erat dengan pemulihan kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dalam beberapa tahun terakhir, kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum, terutama KPK, mengalami penurunan akibat berbagai polemik dan pelemahan kewenangan. Melalui penguatan instrumen hukum seperti Undang-Undang Perampasan Aset, negara menunjukkan komitmen serius dalam memerangi korupsi dan mengembalikan aset yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik.
Kendati demikian, pengesahan undang-undang ini tidak terlepas dari tantangan dan potensi kontroversi. Salah satu kekhawatiran yang sering muncul adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), khususnya terkait asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Mekanisme NCB dinilai membuka peluang bagi tindakan sewenang-wenang karena memungkinkan perampasan aset tanpa melalui putusan pidana. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas dan ketat terkait mekanisme pembuktian, perlindungan hak pemilik aset, serta pengawasan yang transparan dan akuntabel dalam implementasi undang-undang ini.
Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. Dalam konteks sistem hukum Indonesia yang masih diwarnai praktik korupsi di lembaga penegak hukum, mekanisme perampasan aset tanpa putusan pidana bisa menjadi alat untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, penting untuk memastikan adanya mekanisme pengawasan yang kuat, baik melalui lembaga independen maupun partisipasi publik, guna mencegah potensi penyimpangan.
Selain itu, kesiapan infrastruktur hukum dan kapasitas sumber daya manusia juga menjadi faktor kunci dalam keberhasilan implementasi Undang-Undang Perampasan Aset. Penegak hukum, seperti jaksa, hakim, dan penyidik, perlu dibekali dengan pemahaman mendalam mengenai konsep NCB dan teknik investigasi keuangan yang kompleks. Pelatihan dan peningkatan kapasitas ini menjadi esensial untuk memastikan proses perampasan aset berjalan sesuai dengan prinsip hukum yang adil dan proporsional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: