KRITIK & PEMBAKARAN BUKU NAJWA SHIHAB
Saifuddin --Foto: ist
Selain itu, catatan penting tentang penghancuran buku di abad 21 juga terekam dalam kekuasaan militer di Spanyol, Cile dan Argentina. Di Spanyol ketika Jendral Franco berkuasa, buku-buku Marx, Engels, dan Mao dilarang keras selain karya-karya erotika. Di Cile, Jendral Pinochet yang mengkudeta pemerintaha sosialisme di bawah Salvador Allende, melakukan kontrol ketat atas terbitan-terbitan yang dalam pemerintahan sebelumnya mencoba menjangkau massa melalui terbitan-terbitan murah.
Sedangkan di Argentina, penghancuran buku dilakukan dengan sasaran terbitan-terbitan yang membahas pemikiran seperti Marx, Hegel, Freud, Sartre, dan Camus. Selain kekuasaan militer, peristiwa penting tentang penghancuran buku juga terjadi dengan dalil kebencian etnis dan religius. Beberapa contoh dari kasus ini adalah kasus Bosnia dan Chechnya.
Dalam konteks Indonesia, buku Baez ini tidak akan cukup memuaskan untuk menjawab problem penghancuran buku yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam buku ini, Baez hanya membahas bahwa pernah terjadi sensor terhadap buku-buku pelajaran yang tidak mencantumkan nama ‘PKI’ setelah kata ‘G30S’ dan pelarangan terhadap buku-buku yang menyebarluaskan gagasan marxisme-leninisme dalam beberapa kalimat saja.
Padahal, sejarah penghancuran buku di Indonesia memiliki sejarah yang juga panjang, yaitu telah terjadi pada zaman kerajaan-kerajaan nusantara. Sebagaimana menurut Minanuddin (1992), sensor atau pelarangan buku lazimnya dilakukan dibawah perintah atau kuasa raja yang tercatat pertama kali pada abad ke 17, yang dilakukan oleh kerajaan Aceh atas karya Hamzah Fansuri, seorang ulama mistik. Pelarangan, atau penghancuran, atau sensor terhadap buku terus terjadi seiring dengan pergantian corak pemerintahan: dari masa kerajaan, masa kolonialisme Belanda, masa pendudukan Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Selain penghancuran/pelarangan/sensor terhadap buku di Indonesia juga dibukukan melalui hasil penelitian Iwan Awaluddin Yusuf (et al) berjudul Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, yang selain membahas sejarah pelarangan buku sejak zaman kerajaan hingga pasca orde baru, juga membahas bagaimana gerakan melawan pelarangan buku tersebut, baik dari jalur litigasi maupun non-litigasi. Kedua hasil penelitian ini dapat menjadi bacaan tambahan setelah membaca karya Baez.
BACA JUGA:Aksi Kemanusiaan PMI Babel dalam Mitigasi Krisis Iklim, Nyawa Pasien DB Banyak Terselamatkan
BACA JUGA:Gen-Z Lebih Lemah Dari Generasi Sebelumnya, Benarkah?
Merespon dengan pembakaran buku-buku Njawa Shihab yang bermuatan kritik dengan dasar meminjam hasil penelitian dari Baez yang berkisah panjang tentang sejarah penghancuran buku-buku dari masa ke masa adalah tragedy yang memilukan sekaligus memalukan ditengah masyarakat terdidik. Ditengah melek digital, seharusnya kritik harus dibalas dengan kritik bukan dengan cara membakar karya-karya, pikiran, ide, gagasan yang tertuang dalam buku-buku. Perilaku pembkaran buku itu adalah wujud kemunduran peradaban dan kemanusiaan. Sekalipun motif pembkaran itu selalu disematkan pada sensistivisme politik (dengan cara mpengkultusan terhadap seseorang) bukan karena pikirannya. Ini tentu berbahaya bagi keberlangsung demokrasi dan kemajuan peradaban ummat manusia.
Karena itu sangat disayangkan kalau kemudian pembakaran buku-buku Najwa Shihab hanya karena sentilan politik---bagaimana dengan perilaku korupsi misalnya, apakah kalau kita tidak sepakat dengan itu lalu kita akan membakar orangnya (manusianya)?...tentu itu anomali dalam kehidupan kita sebagai manusia dan juga sebagai manusia yang ber-peradaban. Bukankah buku itu adalah jendela ilmu pengetahuan? membakrnya sama saja membakar rumah dan diri sendiri.
“Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan membakar manusia”-(Heinrich Heine)
BACA JUGA:Keterampilan Esensial Seorang Akuntan agar Sukses di Era Digital
BACA JUGA:Hilangnya Rasa Keadilan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: