KRITIK & PEMBAKARAN BUKU NAJWA SHIHAB

KRITIK & PEMBAKARAN BUKU NAJWA SHIHAB

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku : Politik Tnapa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Ccat-an Demokrasi, Legak Targedi Dalam Politik, Hukum dalam Pusaran Politik, Politik Mahar, Mahar Politik Anacaman Demokrasi

“Bakar saja setia buku, hanguskan setiap halaman, hancurkan setiap kata menjadi abu. Namun gagasan tak dapat dibakar, dan mungkin itulah ketakutanmu yang sesungguhnya”----Ellen Hopkins (Novelis)

__________________________________________ 

Sejarah memang selalu berubah dalam masa kurun waktu tertentu. Setiap peristiwa sejarah selalu punya kecendrungan mengulangi peristiwa yang pernah terjadi di masa itu. Sehingga seringkali muncul pertanyaan, kenapa demikian? apakah ini memang adalah bagian dari hukum causalitas atau takdir—sunnatullah atas perjalanan ummat manusia sebagai bentuk perwujudan dari dialektika manusia. Mungkin jawabannya bisa (ya) bisa (tidak) tergantung ingatan sejarah yang pernah mendahuluinya. 

Tulisan kali ini adalah bentuk reponsif atas tragedy beberapa hari terakhir ini yang terlihat di laman media sosial Tiktok---adanya pembakaran buku-buku Najwa Shihab (Mbak Nana) yang didasari oleh sentilan Najwa Shihab (Pendiri Narasi) atas cuitannya yang menyentil Jokowi saat pualng ke Solo dengan memakai pesawat TNI AU---dalam cuitan tersebut dideskripsikan “tentang kalimat nebeng”. Ternyata sebagian orang merasa terganggu dengan cuitan tersebut hingga terjadilah pembullyan terhadap Mbak nana dibeberapa akun media sosial dengan perkataan yang sedikit rasis hingga aksi pembakaran buku-buku Mbak Nana. Ini fenomena kritikan menjadi kemarahan---tentu ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi. 

Terkait dengan itu dalam sejarahnya, penghancuran buku sama tuanya dengan ditemukannya buku itu sendiri (tentu bukan dalam bentuk yang kita ketahui sekarang). Merunut sejarah, penghancuran buku sudah terjadi di Sumeria Kuno, sekitar 4000 tahun sebelum masehi. 

BACA JUGA:REFLEKSI SUMPAH PEMUDA UNTUK PEMUDA BANGKA BELITUNG

BACA JUGA:Mahasiswa ; Demokrasi Yang Belum Mati

Dalam konteks Indonesia, penghancuran buku telah ada semenjak masa kolonial, dan masih terjadi bahkan hingga hari ini. Kebencian terhadap buku ini seringkali diekspresikan dalam beragam bentuk, mulai dari pelarangan dan sensor hingga diekspresikan dengan cara langsung membakar buku, menghancurkan perpustakaannya, hingga membakar orang yang membuat buku tersebut bersama karyanya. 

Sejarah pembakaran buku dengan berbagai kompleksitasnya ini, yang tidak lain merupakan sejarah kebencian satu ke kebencian lainnya, direkam dengan baik dan amat lengkap oleh Fernando Baez, seorang kepala Perpustakaan Nasional Venezuela dalam bukunya Penghancuran Buku Dari masa Ke Masa. Paling tidak buku ini menjadi penting sebab, selain karena merupakan kajian yang masih sedikit diangkat oleh para peneliti, juga bertentangan dengan pendapat umum bahwa para pelaku librisida (istilah untuk penghancuran buku) bukanlah vandalis yang bodoh, melainkan orang-orang terdidik dengan motif ideologis, politik, agama dan ras. 

Mengapa orang menghancurkan buku? Jawabannya, demikian Baez, untuk menghabisi memori penyimpannya, artinya warisan gagasan-gagasan dari suatu kebudayaan secara keseluruhan. Buku sebagai media penyimpan gagasan si penulis sendiri pertama kali ditemukan di wilayah Sumeria, sekarang Irak Selatan, diantara aliran sungai Efrat dan Tigris sekitar 5.300 tahun yang lalu. Buku, dalam konteks ini, berbentuk tanah liat yang dikeringkan yang disebut ‘Tablet.’ Penghancuran buku pada waktu itu terjadi pada tahun 4000-an sebelum masehi (SM), yang dibuktikan dengan temuan arkeologis berupa banyaknya tablet yang ditemukan pecah atau hancur sama sekali.

Usaha untuk melestarikan ingatan melalui buku, selain mengganti bahan baku tanah liat menjadi kayu, juga dilakukan melalui merawat dan menyalin buku-buku oleh golongan tertentu yang disebut ‘para penyalin kitab,’ yang merupakan golongan fungsionaris istana. Perawatan serta penyalinan buku ini pada akhirnya menciptakan perpustakaan pertama kali dalam sejarah umat manusia, yaitu pada tahun 3300 SM dimasa raja Uruk III dari Sumeria. Buku ini sendiri terdiri dari buku tentang flora, fauna, mineral, puisi, pepatah, hingga mantra sihir. Pendirian perpustakaan pertama ini kemudian diikuti oleh pendirian perpustakaan-perpustakaan ditempat lain, seperti perpustakaan di Lasagh, Isin, Ur, dan Nippur. Ketika Sumeria runtuh dan digantikan dengan Babilonia (sekarang Baghdad), Sang penguasa baru, Hammurabi, kemudian mengambilalih koleksi-koleksi perpustakaan dan dikumpulkan dalam perpustakaan besar dalam istananya. Perpustakaan ini terkenal dengan nama Perpustakaan Babilonia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: