KECEMASAN KEKUASAAN ALA SIGMUND FREUD
Saifuddin --Foto: ist
Fenomena pembredelan demokrasi bukan hanya ditingkat yang paling rendah dalam politik nasional—tetapi praktek saling memotong dan memenggal terjadi justru ditingkat yang paling tinggi yakni ketika “hukum mengatasnamakan demokrasi” akhirnya MK memutuskan batas calon presdien dan wakil presiden yang kemudian mengalami gelombang protes. Belum lagi terkait putusan MK 60 dan 70 yang memberikan syarat pnecalonan partai politik di angka 7,5% di mana memungkinkan partai nonparlemen dapat mengusulkan calon kandidat dalam kontekstasi pilkada serentak tahun 2024.
Demokrasi kembali terbuka dengan melepaskan “politik segel” ambang batas 20% dukungan partai. tetapi itu lalu menjadikan demokrasi berjalan dengan baik dan elegan, justru hiruk pikuk semakin ramai---karena koalisi menaglami keretakan sehingga partai-partai memiliki kesempatan untuk mengusung calon, contoh seperti PDIP di DKI Jakarta secara tunggal mengusung Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada DKI Jakarta. Tentu serupa juga terjadi diberbagai daerah di Indonesia sejak adanya ptutusan MK 60 tahun 2024.
BACA JUGA:Aksi Kemanusiaan PMI Babel dalam Mitigasi Krisis Iklim, Nyawa Pasien DB Banyak Terselamatkan
BACA JUGA:Gen-Z Lebih Lemah Dari Generasi Sebelumnya, Benarkah?
Kecemasan ala Sigmund Freud misalnya mencatat beberapa kecemasan dalam kekuasaan, salah satu diantaranya kecemasan neuriticisme yakni semacam kecemasan dengan kegoncangan yang tinggi secara psikologis---seseorang akan membayangkan hidupnya setelah ia tidak berkuasa. Post Poower syndrome, ia pernah dihargai lalu kemudian ia menjadi jelata dan tak dihargai. Kegilaan pada kekuasaan pada seseorang apalgi dengan sudah membayar demokrasi dengan harga mahal, maka psikologi-kebatinannya akan terus terganggu, apalagi kalau dimasa kepemimpinannya banyak hal yang dialkukan dengan cara yang keliru atau bertentangan dengan konstitusi negara.
Di banyak tempat realitas seperti ini kadang kita jumpai bagi yang pernah berkuasa tiba-tiba tidak lagi berkuasa. Kecemasan itu manusiawi---tetapi juga begitu mengganggu psikologi seseorang. Kalau ia baik maka akan selalu menemukan kebaikan-kebaikan setelahnya. Tetapi ketika ia jahat maka akan sebaliknya menemukan hal-hal yang mengganggu kepribadiannya. Seperti bagaimana mantan presiden korea misalnya setelah ia mangkat ia justru diadili oleh seorang hakim dinegara itu karena kejahatannya di masa lalu.
Sebagai negara hukum tentu semua warga negara sama dimata hukum, tak ada hak imunitas yang melekat pada diri seseorang sehingga hukum mengabaikannya. Ini soal penegakan hukum dan keadilan---kalau seseorang mantan pejabat publik melakukan pelanggaran lalu ia memiliki hak imunitas hukum, maka secara otomatis ia melakukan tindakan kejahatan dibenarkan oleh negara. Artinya hukum hanya miliki penguasa bukan untuk semua warga negara.
Karena itu negara hukum harus menjadikan hukum sebagai panglima di dalam rangka penegakan hukum tanpa harus tebang pilih. Tentu menjadi soal bagi hukum ketika ada hak imunitas yang di miliki oleh pejabat publik sehingga ia tidak bisa di proses secara hukum. Di beberapa tempat seperti Singapura mantan menteri harus di penjara karena menerima gratifikasi. Maka sangat terbalik di Indonesia jusrtu KPK jangankan untuk memenjarakan seseorang, mengumumkan pun juga tidak punya nyali dan keberanian.
BACA JUGA:Keterampilan Esensial Seorang Akuntan agar Sukses di Era Digital
BACA JUGA:Pemanfaatan IPAH Sebagai Solusi Kekurangan Air Bersih di Desa Saing
Itulah fenomena hukum yang harus mati di tangan penegak hukumnya. Mau bicara keadilan? Ius summa ius Umaniora (keadilan adalah ketifdak adilan itu sendiri)---dan kita sedang menikmati itu selama kurang lebih lima tahun terakhir ini. Indeks demokrasi yang turun drastis, indeks penegakan hukum juga demikian—revolusi mental yang diharapkan justru melahirkan mental bajingan nan korup.
Pada akhirnya ada semacam kecemasan yang luar biasa dipenghujung kepemimpinan Jokowi---IKN mislanya yang berpotensi mangkrak, hutang luar negeri, korupsi dan jejaraing bsinis anak, menantu dan keluarga, cuitan Fufufafa, semua itu adalah ancaman sekaligus kecemasan bagi Jokowi setelah lengser. Mungkinkha kesetiaan dengan Prabowo akan berakhir?, karena pemerintahan Prabowo tidak akan kompromi dengan korupsi artinya ada upaya bersih-bersih dipemerintahan Prabowo. Sekalipun diakhir jabatan Jokowi melakukan manuver yang dianggap sebagai skenario “licik” untuk menjebak Prabowo agar menandatangani kepres tentang pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan. Tentu Prabowo tak sebodoh itu untuk terjebak dalam skenario politik “Cuci Tangan Jokowi”.
Sebab terlalu banyak warisan yang rusak yang akan diwariskan ke Prabowo---sehingga pemerintahan di masa depan butuh kehati-hatian untuk mengambil kebijakan terkait hal-hal yang sifatnya strategis bagi kemajuan bangsa, Tantangan Prabowo tidaklah mudah, ia harus menambal kebocoran-kebocoran yang ada selama ini.
Maka dengan demikian sekali lagi Jokowi berada dalam situasi kecemasan yang mengkhawatirkan---mungkinkah semua akan baik-baik saja setelah ia mangkat, bagaimana posisi anak dan menantu, akankah tetap terjaga dipanggung kekuasaan Prabowo?. Pada intinya hukum harus tegak dan keadilan harus diciptakan demi menyelamatkan marwah konstitusi dalam bernegara,
“The law must be upheld for anyone who is quilty And justise must be created for anyone in humanity” yakni Hukum harus tegak pada siapa pun yang bersalah, dan keadilan harus diciptakan kepada siapa pun pada manusia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: